Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 10 April 2018

RENUNGAN – Antara Simbol dan Substansi


Islamindonesia.id – RENUNGAN – Antara Simbol dan Substansi

 

Oleh: Abdillah Toha

 

Dalam beragama, topik diatas sudah sering dibahas. Antara kemasan dan isi. Tetapi tetap saja maknanya masih belum dihayati sepenuhnya oleh umat Islam. Jilbab, peci, sarung, gamis umpamanya, bagi sebagian muslim dianggap substansial karena disebut sebagai bagian dari Sunah Rasul SAW.

Mayoritas menganggap jilbab bagi muslimah wajib berdasarkan dalil-dalil agama dan di beberapa negara bahkan diwajibkan dalam hukum nasionalnya. Di kelompok Taliban berjenggot diharuskan bagi setiap muslim.

Kita tidak akan berdebat disini apakah jilbab dsb itu hukumnya wajib, Sunah, atau mubah. Tetapi kita akan bertanya apabila kita ingin menonjolkan identitas kita sebagai muslim, bagian apa dari katateristik muslim yang bisa kita pertontonkan dengan bangga di zaman ini.

Saat ini harus diakui tidak banyak hal-hal positif yang bisa dibanggakan di Dunia Islam. Ilmu pengetahuan, akhlak, keberhasilan ekonomi, kekuatan militer? Hampir tidak ada. Justru yang menonjol adalah sisi-sisi negatif yang sebaliknya dari semua itu. Paling kita kemudian mencoba membanggakan sejarah kejayaan Islam dengan nama-nama besar di masa lalu seperti Ibnu Sina, Ibn Rusyd, Ibn Khaldun, Alkhawarizmi, Rumi, Alghazali, dan lainnya. Dimana nama-nama besar seperti itu bisa kita dapati saat ini?

Substansi Islam tentang keteladanan dan keadaban Rasul SAW serta pengajaran dan pemikirannya yang jauh lebih maju dari zamannya, nyaris tak tampak lagi di dunia Islam. Tatkala simbol dan identitas menjadi yang utama, maka kita akan marah besar, bila perlu dengan demo besar – besaran, ketika ada yang melecehkan agama dan keyakinan kita, tapi akan diam dan tidak banyak bereaksi ketika penguasa muslim korupsi atau menindas yang lemah, atau politisi busuk berkonspirasi meruntuhkan kekuatan anti korupsi seperti KPK.

Kita akan marah ketika mazhab kita dikritik tapi diam seribu bahasa ketika umat terus dikangkangi oleh penguasa otoriter di berbagai sudut dunia Islam.
Simbol dan identitas agama menjadi bagian dari diri kita sehingga ketika simbol-simbol itu diserang, kita merasa diri kita sedang diserang.

Kita juga dengan mudah mengatasnamakan dan menggunakan nama Islam pada upaya dan kegiatan kita tanpa memperhitungkan risiko rusaknya kesucian Islam ketika kita gagal mewujudkan hasil yang positif.

Disini barangkali kita harus merenung kembali dan terus mencari dimana letak kegagalan kita dalam mewujudkan umat Islam yang substansial dalam arti umat yang tidak sekadar mengenakan baju Islam tetapi juga berisi tubuh, otak, spirit, dan hati yang mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan, Ilahiyah, dan kemajuan yang sebenarnya.

Apakah sebaiknya khotbah-khotbah kita kurangi dulu atau kita arahkan agar muslim memberi prioritas pada pembangunan ekonomi? Atau kita kirim anak-anak kita lebih ke pendidikan modern daripada ke madrasah dan pesantren? Atau kita dirikan lebih banyak sekolah dan lembaga pendidikan daripada mengumpulkan dana untuk mendirikan masjid-masjid baru. Kita isi sekolah-sekolah itu dengan pendidikan yang menjamin keunggulan anak didik muslim di hari depan yang penuh tantangan.

Tentu saja anak-anak kita yang berpendidikan umum harus tetap dibekali dengan pemahaman agama yang benar agar memiliki pegangan yang kuat untuk menghadapi berbagai cobaan hidup.

Hanya inilah sisa harapan kita untuk masa depan ummat bila kondisi umat saat ini tidak mau kita biarkan berlarut-larut dan menjadi lebih buruk. Atau semua ini barangkali pandangan saya yang terlalu pesimis dan keadaan umat sebenarnya tidak seburuk itu? Wallah a’lam

 

 

 

YS/islamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *