Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 24 May 2018

Pengetahuan Sejati dan Makna Kesabaran Menurut Imam Ghazali


islamindonesia.id – Pengetahuan Sejati dan Makna Kesabaran Menurut Imam Ghazali

 

Ketahuilah wahai pembaca, bahwa kesabaran adalah tahapan penting dalam agama dan terminal bagi para pejalan di jalan agama. Tahapan dalam agama dikendalikan oleh tiga hal: pengetahuan, kondisi, dan tindakan. Pengetahuan adalah akar, dan kondisi muncul dari pengetahuan, dan tindakan adalah buah dari kondisi.

Jadi, pengetahuan itu seperti pohon, kondisi adalah cabangnya, dan tindakan adalah buahnya. Ketiga hal ini tertanam dalam semua tahapan orang yang sedang berjalan di jalan agama. Kesabaran adalah ciri dari manusia dan malaikat saja, burung atau hewan-hewan tidak memiliki ciri seperti itu. Malaikat tidak membutuhkan kesabaran karena dia tidak punya sifat jahat.

Makhluk yang lebih rendah seperti hewan hidupnya dipandu oleh naluri dan keserakahan. Mereka tidak perlu kesabaran. Para malaikat selalu terbenam dalam cinta Allah dan mereka tidak memiliki kecenderungan jahat. Manusia memiliki kecenderungan seperti hewan di masa kecilnya. Kemudian dia merasa rakus akan makanan, lalu menginginkan permainan dan olahraga, kemudian datanglah keinginan untuk menikah.

Pada awalnya dia tidak memiliki kemampuan untuk bersabar, kemudian setelah datangnya akal budi, pertikaian dimulai, dan pada saat itulah kesabaran diperlukan. Pada saat dewasa, dia dikawal oleh dua malaikat. Satu menunjukkan kepadanya bimbingan dan yang lain memberinya kekuatan.

Oleh dua malaikat ini, dia dinaikan dari derajat hewan yang lebih rendah ke derajat seorang manusia. Pada saat itu, dia diberikan dua kualitas: satu kualitas adalah pengetahuan tentang Tuhan dan Nabi-Nya, dan yang lainnya adalah pengetahuan tentang kebaikan dalam pertimbangan mengenai kebaikan yang hakiki. Kedua hal ini diperoleh dari dua malaikat: malaikat pembimbing dan pengetahuan.

Hewan yang lebih rendah tidak memiliki pengetahuan atau pertimbangan untuk kebaikan hakiki. Mereka dibimbing oleh kesenangan jangka pendek. Manusia tahu melalui cahaya yang membimbingnya bahwa pada akhirnya dia akan menderita jika dia mengikuti keinginan rendahnya, tetapi itu bahkan tidak cukup untuk menghilangkan hasrat jahatnya.

Ada banyak hal berbahaya yang tidak dapat dia hindari karena kurangnya kekuatan. Jadi, untuk menghilangkan keinginan rendah dan keserakahan yang negatif, kekuatan diperlukan. Untuk itu, Allah menempatkan malaikat lain yang membantu dan memberinya kekuatan untuk mengendalikan keserakahan bagaikan prajurit yang tidak terlihat.

Kemudian terjadi pertempuran antara malaikat keserakahan dan malaikat penekan keserakahan. Perjuangan ini terjadi di antara dua kekuatan ini. Pikiran adalah medan perang. Inspirasi untuk kebaikan datang dari malaikat, dan kecenderungan akan nafsu datang dari setan.

Untuk memantapkan naluri akan kebaikan, diperlukan kesabaran yang dapat mengendalikan kecenderungan akan kejahatan. Jika kesabaran diperoleh, maka datanglah Marifat atau pengetahuan tentang Allah yang merupakan penyebab keberuntungan baik di dunia maupun akhirat.

Pengetahuan tentang Allah yang mendalam dan berakar disebut keyakinan atau iman. Dua malaikat yang disebut di atas berada dalam kendali dua malaikat yang disebut Raqib dan Atid, atau pencatat yang mulia. Mereka ditugaskan kepada setiap orang. Mereka menulis dosa dan kebajikan di halaman-halaman pikiran yang disebut catatan perbuatan atau amalnama.

Catatan tentang perbuatan ini akan dibuka dua kali: sekali pada saat kematian dan kemudian pada hari penghakiman. Nabi berkata: “Ketika seseorang meninggal, kebangkitannya terjadi. Dia tetap sendiri pada saat itu, dan Dia berkata: ‘engkau akan datang kepadaku sendiri sebagaimana Aku menciptakanmu pertama kali.’ Dia kemudian berkata: ‘jiwamu sudah cukup untuk dimintai pertanggungjawaban.’ Pada hari besar kebangkitan, Dia akan dihadirkan di antara orang-orang.”

 

PH/IslamIndonesia/Sumber: Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din Vol.4, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Fazl-Ul-Karim, (Karachi: Darul-Ishaat, 1993), hlm 62-64

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *