Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 23 November 2021

Opsi Pahala Meninggalkan Debat Tak Guna, Pilih Atas atau Pinggiran Surga?


islamindonesia.id – Islam menganjurkan pemeluknya untuk menghindari debat yang tidak perlu. Salah satunya, perdebatan tentang perkara khilafiyah.

Imam Abu Hamid Al Ghazali berpandangan bahwa berdebat pada perkara khilafiyah (perkara yang di dalamnya terdapat ragam pandangan) mengandung bahaya dan keburukan.

Salah satunya ialah memunculkan sikap mencari-cari kelemahan lawan di antara kaum Muslim yang sedang berdebat. Padahal, Allah SWT berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱجْتَنِبُوا۟ كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا۟ وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ “Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kalian mengintip dan memata-matai kelemahan orang lain…” (QS. Al Hujurat ayat 12)

Dalam kitab Ihya Ulumuddin, Al Ghazali juga mengutarakan, berdebat pada masalah khilafiyah cenderung menimbulkan sikap mengumpat atau ghibah di antara kaum Muslim.

Allah SWT telah memperingatkan, bahwa sikap mengumpat bagaikan memakan bangkai saudara sendiri yang telah meninggal dunia.

“Kecenderungan seorang pendebat akan mencari-cari dan mengungkapkan kebodohan, kelemahan, kekurangan serta ketidaktahuan lawan bicaranya,” tuturnya.

Selain itu, berdebat soal khilafiyah juga bisa memunculkan sikap mengklaim bahwa dirinyalah yang suci di antara kaum Muslim yang sedang berdebat. Padahal Allah SWT berfirman:
فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ ۖ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَىٰ “Janganlah kalian menyatakan diri kalian suci. Sesungguhnya hanya Allah yang paling mengetahui siapa orang yang paling bertakwa di antara kalian.” (QS. An Najm ayat 32).

Al Ghazali juga mengingatkan, perdebatan pada masalah khilafiyah dapat menimbulkan sikap nifaq atau munafik pada diri Muslim yang berdebat.

Orang yang berdebat memang menunjukkan sikap yang bersahabat kepada lawan debatnya, tetapi itu hanya secara lahiriah.

Sebab, jauh di dasar sanubari, dia memendam kebencian kepada lawan debatnya. Rasulullah s.a.w. pun melarang perdebatan walaupun sekadar berbincang tetapi isinya tidak bermanfaat dan dapat mengarah pada perdebatan.

Rasulullah s.a.w. bersabda:
من ترك الكذب وهو باطل بني له في ربض الجنة، ومن ترك المراء وهو محق بني له في وسطها، ومن حسن خلقه بني له في أعلاها.
“Siapa yang meninggalkan perdebatan, sementara dia berada di atas kebatilan, maka Allah akan bangunkan sebuah rumah baginya di pinggiran surga. Dan barangsiapa yang meninggalkan perdebatan, padahal dia berada di atas kebenaran, maka Allah akan membangun sebuah rumah baginya di atas surga.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Anas bin Malik).

Terkait perkara pentingnya meninggalkan debat tak guna ini, cendekiawan Muslim Haidar Bagir dalam salah satu tweet-nya menegaskan bahwa yang dimaksud debat yang layak ditinggalkan seperti disebutkan dalam hadis ini adalah miraa’, yakni aksi silat lidah yang dilakukan sekadar untuk menang-menangan hingga menutupi fakta dan sebagainya, bukan jidal metodologis sesuai kaidah debat sebagaimana yang seharusnya.

Seperti diketahui, jika dikelompokkan, setidaknya ada 3 (tiga) macam debat, yakni miraa’, jadal dan khusumah. Miraa’ adalah setiap bantahan atas ucapan orang lain dengan cara menampakkan, baik pada kalimat, makna, atau maksudnya, untuk menunjukkan keunggulan dirinya. Jadal adalah menyebutkan kelemahan pendapat orang lain dalam rangka mengukuhkan pendapatnya sendiri, membungkam lawan bicara dengan menunjukkan kesalahan ucapannya dan menisbatkan kebodohan kepadanya. Sedangkan, khusumah adalah ucapan yang keras demi mendapatkan harta atau hak.

Di antara ketiganya, miraa’ dan jadal biasanya berakibat pada sikap menyakiti orang lain. Dengan demikian, keduanya (miraa’ dan jadal) dapat membangkitkan nafsu amarah dan membela pendapatnya masing-masing dengan cara benar atau salah. Artinya, apabila ada dua orang yang berdebat, ibarat orang yang sedang berkelahi dengan tujuan hanya mencari menang, sehingga masing-masing saling berusaha merobohkan lawannya setelak mungkin. Jika satu pihak berhasil merobohkan pihak lain, seolah-olah ada kepuasan tersendiri dalam dirinya.

Kita seringkali menjumpai contoh-contoh miraa’ berbentuk bantahan terhadap pendapat orang lain, meskipun terkait dengan hal-hal yang sepele. Di antara contoh-contoh miraa’ adalah sebagai berikut: pertama, kritik atas kalimatnya dengan cara menampakkan kesalahan tata bahasa dan/atau penempatannya. Contoh dari kritik ini bisa dilihat dari ungkapan seseorang yang mengatakan: “Kamu itu kalau ngomong jangan muter-muter seperti benang ruwet”.

Kedua, bantahan atas makna argumentasi yang disampaikan seseorang. Contoh atas hal ini dapat dilihat dalam pernyataan berikut: “Apa yang Anda katakan itu salah, sama sekali tidak sesuai dengan fakta yang saya ketahui.”

Ketiga, bantahan atas maksudnya. Contoh dari bantahan ini dapat dilihat dalam pernyataan berikut: “Anggaplah, apa yang Anda katakan memang benar, tetapi apa maksud sesungguhnya di balik perkataan Anda? Saya curiga ada maksud-maksud tersembunyi di dalamnya!”

Pendek kata, itulah sekilas contoh ungkapan yang biasanya mengemuka dalam debat yang tujuannya hanya ingin menang-menangan belaka. Alih-alih mengedepankan sikap saling rendah hati, pelaku debat model miraa’ ini cenderung lebih memilih memuaskan egonya sendiri. Tak peduli bila hasil akhirnya justru berupa sikap permusuhan dan saling benci.

EH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *