Satu Islam Untuk Semua

Friday, 14 July 2023

Menyembah Diri Sendiri


islamindonesia.id – Kita sering menjumpai umat beragama yang begitu mudah memenangkan diri sendiri; memaksakan keinginannya terhadap orang lain. Umat beragama yang demikian, kadang begitu fanatik terhadap agamanya (sebenarnya kelompoknya) dengan cara menghitamkan agama lain atau kelompok berbeda walaupun agamanya sama. Mereka begitu bersemangat membela hal yang dianggap sebagai simbol agama sehingga nyaris rela berbuat apa pun demi tegaknya kebenaran versi mereka sendiri. Uniknya, orang-orang yang bertindak demikian, juga begitu rajin beribadah demi mendapatkan surga dan menghindari neraka. Padahal, secara umum, semua agama mengajarkan pentingnya berbuat baik terhadap sesama.

Nah, tepatkah beragama dengan cara mengeksklusifkan diri seperti itu?

Jika kita melihat lebih dalam, sebenarnya ada jurang berbahaya yang mesti dilewati oleh umat beragama. Jurang berbahaya tersebut bernama kekafiran tersembunyi; dalam agama apa pun. Umat beragama yang terbiasa mengejar pahala demi mendapatkan surga; bisa jadi memiliki kecenderungan untuk menyembah dirinya sendiri. Semua usahanya mengejar pahala sebenarnya bermuara pada titik penyelamatan dirinya di akhirat. Demikian juga semua tindakannya menghindari perbuatan dosa.

Keinginan mendapatkan pahala sebenarnya lebih berbahaya daripada keinginan mendapatkan harta. Jika keinginan mendapatkan harta akan dianggap salah secara umum (karena semata-mata mengejar kekayaan duniawi dan mengabaikan akhirat adalah kesalahan dalam agama apa pun), maka mengejar pahala tidak akan dianggap salah oleh siapa pun. Jika umat beragama hanya berorientasi mendapatkan pahala, bukan tidak mungkin Tuhan, yang senantiasa wajib disembah, justru “akan tidak berarti” dalam alam bawah sadarnya.

Pahala dan Cuci Piring

Jika tidak percaya, kita bisa menganalogikan perburuan pahala ini sebagai berikut.

Seorang anak kecil belum mengetahui mana perbuatan yang baik dan mana yang buruk. Demi menyadarkannya, atau mendewasakannya, sang ayah mendidik anak tadi dengan sistem hadiah dan hukuman. Contohnya, setiap sang anak hendak mencuci piring sendiri atau hanya menaruh piring di tempat cuci piring, sang ayah menawarkan, “Jika kamu mencuci piring sendiri, Ayah akan memberimu permen.” Bujukan ini penting karena hanya beberapa anak yang mengerti atau mau mengerti tentang kemandirian atau kedewasaan. Bagi anak kecil, kompensasi adalah hal yang lebih menarik daripada latihan mencuci piring tadi.

Lama-kelamaan, si anak terbiasa mencuci piring sendiri. Harapannya, kelak, ia tidak menggantungkan diri pada orang lain hanya untuk sekadar mencuci piring. Ia bisa berdiri sendiri; tanpa perlu menggaji pembantu, yang berarti menciptakan perbudakan baru.

Akan tetapi, tidak semua anak menyadari sistem pendidikan ala ayah yang baik ini. Kebanyakan anak mencuci piring karena ingin mendapat permen. Ia berorientasi pada hadiah sementara dan “tidak nyata” dibandingkan dengan kedewasaan. Sekali lagi, dari sudut pandang anak kecil yang belum tahu kedewasaan, hadiah permen terlihat begitu nyata sedangkan kedewasaan tidak bisa diraba pola pikir mereka.

Kelak, anak kecil yang diberi kompensasi dengan permen ini akan dewasa pula. Namun, siapakah yang dapat menjamin bahwa ketika permen dilenyapkan dari muka bumi ini, anak kecil yang tubuhnya sudah dewasa ini tetap mau mencuci piring? Atau, ketika ia masih belum dewasa —dalam keadaan kadang-kadang suka mencuci piring (tidak selalu mencuci piring)— lalu, seluruh stok permen dihilangkan sang ayah, apakah ia juga masih berminat mencuci piring? Kita bisa menyebut permen tersebut sebagai “surga” sedangkan kemandirian mencuci piring adalah “kematangan ruh” untuk fase akhirat, kemampuan manusia bertemu dengan Tuhan.

Siapa yang Disembah?

Orang yang berburu pahala mungkin saja merasa bahwa Allah dekat kepadanya. Namun, pahala tersebut seperti permen yang tidak lebih berfaedah daripada kematangan ruh.

Seorang sufi, Fudayl Ibn ‘Iyad, berkata: “Pada Hari Kiamat kelak, Allah SWT menitahkan, ‘Wahai keturunan Adam! Sesungguhnya zuhudmu akan keduniaan adalah demi pencarian akan kebahagiaan bagi dirimu sendiri. Keterputusanmu dari interaksi dunia demi meraih-Ku adalah pencarian akan kehormatan dirimu sendiri. Akan tetapi, apakah kau musuhi musuh demi Aku atau kau kasihi seseorang karena Aku?”

Selagi kita masih di dunia, mungkin kita layak bertanya: “Sebagai umat beragama. Apakah kita menyembah Tuhan atau menyembah diri sendiri dengan berkedok kepatuhan kepada Tuhan?”

EH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *