Membawa Logika Puasa Sepanjang Tahun

Puasa itu melatih “tidak”, karena kehidupan sehari-hari kita adalah melampiaskan “ya”. Sekurang-kurangnya puasa mengendalikan “ya”.

Demikian sepenggal catatan budayawan Emha Ainun Najib dalam bukunya Jejak Tinju Pak Kiai. Mental manusia, kata Emha, lebih berpihak pada “melampiaskan” dibandingkan “mengendalikan”.

“Padahal keselamatan peradaban, keindahan kebudayaan, tata kelola manajemen, kepengurusan negara dan kemasyrakatan: lebih mengacu pada pengendalian daripada pelampiasan,” ujar pria yang akrab diapa Cak Nun ini.

Bahkan idiom “kemerdekaan” selama ini sedemikian tidak terkontrolnya sehingga identik dengan “pelampiasan”. Maka Ramadan, menurut jebolan Pondok Gontor Ponorogo ini, menjadi sangat penting untuk melatih “tidak” itu.

Berdasarkan hikmah ini saja, puasa seharusnya tak berhenti pada bulan Ramadan. Puasa di bulan Ramadan, bagi Cak Nun, merupakan pelajaran pertama. Setelah menempa diri selama Ramadan, seseorang seharusnya menemukan dalam hidupnya apa saja yang ia puasai.

“Puasa itu artinya Anda tidak melakukan sesuatu yang Anda sukai atau Anda melakukan sesuatu yang Anda tidak sukai. Itu juga jenis puasa,” katanya seperti dalam Puasa Kehidupan yang disiarkan Yotube Caknun.com

Seorang anak gubernur, misalnya, melihat jalan mulus di depannya untuk menduduki kursi wali kota. Dia memiliki segala perangkat pendukung baik modal materi, politik dan sosial. Tak ada pasal dalam undang-undang yang menghambatnya. Dia berhak mencalonkan diri. Tapi anak ini tetap enggan mencalonkan diri. “Itu puasa,” kata Cak Nun.

Idul Fitri hanyalah waktu beristirahat. Setelah itu, Allah menyunahkan puasa enam hari di bulan Syawal. Kualitas puasa setelah Idul Fitri ini juga luar biasa.

Sedemikian, lanjut Cak Nun, “Sesungguhnya Anda sedang dianjurkan oleh Allah membawa logika puasa, makna puasa itu, sepanjang tahun, sampai Anda berlatih lagi di waktu Ramadan (mendatang).”

YS/Islamindonesia/ Foto: @edytink_kdc