Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 24 November 2021

Melawan Keberangasan dengan Senyuman, Opo Tumon?


islamindonesia.id – “Wahai Aisyah, sungguh Allah Mahalembut dan cinta kelembutan. Dia beri kepada kelembutan hal-hal yang tak diberikan kepada keberangasan (ketaksabaran, ketaksopanan) dan sifat-sifat sejenisnya.” (HR. Muslim).

Mencermati hadis yang beberapa waktu lalu nongol di antara tweet akun Sosmed Cinta, jujur saja saya terhenyak. Betapa Allah SWT, Penguasa Sejati alam raya dan seisinya (yang sudah barang tentu Mahakuasa dan Mahakuat) ini, dalam hadis tersebut digambarkan dan ditekankan oleh Rasulullah s.a.w. sebagai Yang Mahalembut dan mencintai kelembutan. Tak cukup sampai di situ, bahkan Dia juga menyematkan pada kelembutan, hal-hal yang tak diberikan-Nya kepada keberangasan alias ketaksabaran, ketaksopanan dan sifat-sifat yang sejenis dengannya, untuk menunjukkan betapa kontrasnya dua sifat tersebut antara satu dengan lainnya.

Alasan saya terhenyak karena sejenak saya mikir, dan kemudian teringat: bagaimana masih ada sebagian (kalau tidak boleh disebut sangat banyak) manusia (yang nyata-nyata bukan Tuhan Maha Segalanya) di antara kita (tak terkecuali dan terutama diri saya sendiri), yang lebih memilih keberangasan ketimbang kelembutan. Memilih bertikai daripada damai, lebih suka cekcok alih-alih saling cocok, cenderung marah ketimbang ramah, dan semisalnya.

Pilihan sikap cenderung berangasan tersebut biasanya muncul terutama bersamaan dengan munculnya perbedaan pendapat, ketidaksamaan pandangan di antara dua orang atau dua pihak, yang terhadap satu hal atau permasalahan tertentu, memilih sepakat untuk tidak sepakat.

Lalu bagaimana seharusnya kita menyikapi manusia dengan karakter berangasan, yang biasanya selalu ingin menang sendiri dengan menjatuhkan manusia lain, dan merasa pandangannya paling benar sendiri dengan menyalahkan pendapat pihak lain?

Bagaimana pun, orang yang beriman adalah mereka yang pandai melihat kelebihan dan kebaikan orang lain, sanggup melihat kelemahan diri sendiri, dan kurang piawai dalam melihat kekurangan dan kesalahan orang lain.

Ketika melihat keburukan sahabatnya, orang yang beriman akan cenderung berdoa: “Semoga Allah membimbingku agar selalu berbuat baik, mengampuni sahabatku, menutupi aibnya, dan menuntunnya berbuat baik.”

Sedangkan bagi orang yang masih lemah imannya, biasanya mempunyai kemampuan yang mumpuni dalam melihat kesalahan yang dilakukan orang lain. Juga suka mengomentari dan mengkritik kesalahan tersebut, sekalipun tetap kurang kemampuannya dalam mengenali kesalahan dirinya sendiri.

Pada umumnya, orang yang masih lemah imannya cenderung menilai keliru pemahaman orang lain, sementara pendapat atau pandangannya sendiri dianggap sebagai yang paling benar.

Kedua tipe orang tersebut tentu saling memiliki karakter dan pandangan yang berbeda, khususnya di saat menyikapi suatu persoalan yang sama.

Perbedaan tersebut, seharusnya bukan untuk dipertentangkan, tetapi justru dapat dijadikan sebagai ajang untuk mencari solusi yang tepat. Sikap tidak setuju terhadap suatu persoalan merupakan hal yang lumrah, sehingga tidak perlu dipertengkarkan.

Lalu bagaimana cara yang tepat untuk menghindari beda pendapat atau pandangan agar tidak berujung pertengkaran?  Mungkin ada baiknya kita simak saran dari Dale Carnegie untuk menyiasati ketidaksetujuan dan beda pendapat itu dengan cara sebagai berikut:

1. Sambut baik ketidaksetujuan itu. Mungkin ketidaksetujuan itu merupakan kesempatan untuk mengoreksi pendapat kita, sebelum kita membuat kesalahan yang lebih serius.

2. Jangan pernah percaya pada kesan pertama naluri kita. Reaksi alami yang pertama dalam sebuah situasi yang tidak mengenakkan adalah mempertahankan diri. Hati-hati dan tenanglah, perhatikan reaksi pertama kita. Mungkin itu merupakan bagian kita yang terburuk.

3. Kendalikan kemarahan. Ingat, kita bisa menilai kebesaran seseorang melalui hal-hal yang membuatnya marah.

4. Dengarkan dulu, beri kesempatan lawan untuk berbicara dan biarkan sampai selesai. Jangan menolak, mempertahankan diri atau bahkan berdebat karena akan mempertinggi penghalang. Berusahalah sebisa mungkin membangun jembatan pengertian.

5. Cari bidang-bidang kesepakatan. Jika selesai mendengarkan perkataan lawan , pikirkan dulu hal-hal yang kita setujui.

6. Jujurlah, carilah wilayah-wilayah di mana kita bisa menerima kesalahan dan sampaikan. Minta maaflah atas kesalahan kita. Hal ini akan membantu “melucuti senjata” lawan dan mengurangi sifat defensifnya.

7. Berjanjilah untuk memikirkan ide-ide lawan dan pelajarilah dengan saksama. Boleh jadi, ide-ide lawan itu mungkin benar. Pada tahap ini, akan jauh lebih mudah untuk memikirkan pandangan-pandangan mereka dibandingkan terus-menerus mempertahankan pendapat kita, sehingga pihak lawan akan mengatakan: “Kami sudah berusaha menyampaikan kepada Anda, tetapi Anda tidak mau mendengarkan.”

8. Berterima kasihlah kepada lawan dengan tulus akan minat-minat mereka. Siapa pun yang meluangkan waktu untuk menyatakan tidak setuju dengan kita, berarti ia berminat dalam hal-hal yang sama. Pikirkan mereka sebagai orang-orang yang benar-benar ingin menolong, sehingga boleh jadi mereka akan menjadi kawan bagi kita.

9. Jangan terburu-buru dalam bertindak dan berilah waktu kepada kedua belah pihak untuk memikirkan masalahnya. Sarankan agar pertemuan berikutnya dilangsungkan ketika semua fakta yang lebih lengkap memungkinkan untuk bisa dibawa. Dalam mempersiapkan pertemuan tersebut, ajukan pertanyaan-pertanyaan untuk diri sendiri. Munginkah semua atau bahkan sebagian dari pendapat mereka itu benar? Adakah keberatan dalam posisi atau argumentasi mereka? Lantas, apa reaksi saya, akan menyelesaikan masalah atau hanya menghasilkan frustasi? Apakah saya akan membuat mereka jadi menjauh atau bahkan bisa menariknya lebih dekat? Apabila saya diam saja, apakah rasa tidak setuju itu akan meledak? Apakah situasi sulit ini merupakan kesempatan bagi saya?

Kesembilan saran yang dikemukakan oleh Dale Carnegie tersebut merupakan cara-cara yang dipandang efektif dalam mencegah perdebatan yang potensial berujung pertengkaran. Dalam saran-saran tersebut tergambar betapa Carnegie mengedepankan win-win solution, sehingga pertengkaran bisa terhindarkan.

Oleh karena itu, pada saat ada orang yang mencela pendapat kita, cukup kita jawab saja dengan senyuman. Tidak perlu sampai ngotot untuk membela argumentasi kita, apalagi sampai balas mencela. Namun, di antara pembaca mungkin saja ada yang bertanya: “Opo tumon?” (ungkapan Jawa, yang kurang lebih bermakna; apa ada, betapa anehnya jika ada orang yang mau berbuat demikian) karena menganggap bahwa pilihan melawan keberangasan dengan senyuman itu adalah suatu bentuk kelemahan.

Meski demikian, berhubung hidup di antara jutaan manusia dengan isi kepala yang berbeda-beda sudah merupakan keniscayaan yang tak bisa dihindari, maka tetap saja kita perlu toleran dan menghargai pendapat apa pun yang disampaikan oleh orang lain, sekalipun menurut persepsi kita hal tersebut salah atau bahkan tidak pada tempatnya.

Kembali lagi pada tweet dari akun Sosmed Cinta yang menyoroti tentang keberangasan, saya kemudian tak tahan untuk tidak tersenyum, menilik sikap pemilik akun @Haidar _Bagir, yang kemudian menyatakan, “Saya memaklumi perbedaan pendapat seperti apa pun. Tapi saya memilih tak berurusan dengan orang berangasan ??.”

Daripada ruwet, mungkin sikap dan pendirian semacam itulah yang memang lebih “aman” untuk dipilih pada saat kita berhadapan dengan manusia yang memiliki karakter berangasan. Artinya, daripada saling gontok-gontokan rebutan menang, lebih baik kita tinggalkan pergi jauh saja orang-orang yang berangasan, sehingga kita bisa bebas melenggang dengan tetap menyunggingkan senyuman.

Dan seperti kata orang bijak: orang yang tersenyum, terlihat seperti versi terbaik dari diri mereka sendiri, dan itu adalah aset besar untuk sukses dan bahagia dalam hidup.

Tidak ada yang menyangkal kekuatan senyuman. Terlepas dari apa yang kita jalani, senyum terbaik akan membantu menarik persahabatan dan membangun kepercayaan. Dan seperti yang akan kita lihat dan buktikan, itu juga yang akan membuat kita menjadi orang yang lebih bahagia.

Jika sudah begitu, nikmat besar mana lagi yang bisa kita dustakan dari kekuatan senyuman?

EH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *