Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 11 November 2018

Lelaku Hidup Sugih Tanpa Bandha ala Abu Dzar al Ghiffari


islamindonesia.id – Lelaku Hidup Sugih Tanpa Bandha ala Abu Dzar al Ghiffari

 

Dapatkah seorang dikatakan kaya jika ia tidak berharta? Kaum materialis jelas pasti menjawab tidak. Paradigma masyarakat hari ini pun jelas, ukuran kekayaan – juga kehormatan dan kesuksesan – adalah harta. Tak ada yang rancu dari pola pikir itu. Menjadi kaya adalah sesuatu yang lumrah, sangat manusiawi. Menjadi kaya adalah hal terpuji. Banyak ibadah dan kemuliaan yang hanya bisa dilakukan ketika kaya. Agama pun memandang status kaya sebagai satu kekuatan.

Lantas kaya yang seperti apa? Itulah perlunya satu redefinisi, pemaknaan kembali, terhadap frasa kaya.

Kita telah lama mengenal idiom sugih tanpa banda, kaya tanpa harta. Ini bukan paradoks tentang kekayaan. Orang bijak mengatakan, hakikat kaya bukanlah terletak pada seberapa banyak harta yang digenggam, melainkan seberapa banyak sanggup berbagi. Sugih tanpa banda adalah spirit untuk hidup sabar penuh rasa syukur, berjiwa besar dalam kesederhanaan. Ia juga ajaran untuk tidak cengeng ketika sempit namun murah hati ketika lapang.

Hidup sederhana bukanlah kutukan. Dalam perjuangannya, Mohandas Karamchand Gandhi mengajarkan empat hal salah satunya swadeshi. Swadeshi acapkali dimaknai sebagai hidup sederhana dan kemandirian. Gandhi mengajarkan hidup sederhana yang bermartabat, tidak gampang mengeluh. Ia tak sudi bangsanya yang terjajah itu lemah hanya karena situasi hidup penuh keterbatasan. Lalu Gandhi membangun karakter bangsanya untuk bangsa yang besar, tangguh dan mandiri.

Di jagad pakeliran, Ki Lurah Petruk menularkan ajaran sugih tanpa banda melalui namanya, Kantong Bolong. Bagi Petruk, kantongnya selalu bolong alias berlobang, selalu mengalir untuk berderma pada orang lain. Karena Petruk tahu, dalam kematian orang tak akan membawa harta apapun. Petruk menolak bila ukuran kekayaan dan kebesaran jiwa adalah harta. Petruk meyakini bahwa hakikat kaya adalah seberapa banyak ia sanggup berbagi, orang yang kaya adalah orang yang siap menjadi tangan di atas baik ketika lapang maupun sempit.

Dalam konteks reliji, konsep sugih tanpa banda punya irisan makna dengan terminologi zuhud. Pada artikel ke-31 dari hadis arbain, Imam Nawawi menyitir sebuah kisah bahwa seseorang mendatangi Kanjeng Nabi untuk bertanya, “Wahai Rasulullah, tunjukkan kepadaku sebuah amalan yang jika aku kerjakan, Allah dan manusia akan mencintaiku.” Lalu Nabi bersabda, “Zuhudlah terhadap dunia maka engkau akan dicintai Allah dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada manusia maka engkau akan dicintai manusia.”

Zuhud dalam terminologi syar’i bermakna mengambil sesuatu yang halal hanya sebatas keperluan.

Zuhud merupakan sifat mulia orang beriman karena tidak tertipu oleh dunia dengan segala kelezatannya.

Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia akan tetapi “meninggalkan apa yang tidak bermanfaat bagi urusan di akhirat nanti.”

Kanjeng Nabi pernah mengingatkan kita semua, “Demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku takuti atas kalian, tetapi aku takut pada kalian dibukakannya dunia bagi kalian sebagaimana telah dibuka bagi umat sebelum kalian. Kemudian kalian berlomba-lomba sebagaimana mereka berlomba-lomba, dan menghancurkan kalian sebagaimana telah menghancurkan mereka.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Jadi, hakikat kaya bukanlah pada seberapa banyak harta yang dihimpun, karena harta akan menemukan nilainya ketika berada di tangan yang membutuhkan, bukan yang hanya sekadar menghimpun. Ada banyak orang yang kebesaran jiwanya tertulis indah di buku sejarah, meski mereka bukan orang yang dekat dengan harta, Abu Dzar al Ghiffari salah satunya.

Di sebuah kawasan padang pasir, Dzulhijjah 32 Hijriyah, hanya ada tenda itu sendiri, tiada tetangga, jauh dari keramaian manusia. Di tenda renta itu, seorang wanita menangis di hadapan suaminya yang tengah menghadapi ajal.

Sang suami bertanya kepada sang isteri “Apa yang membuat engkau menangis, padahal kematian adalah haq?”

Sang istri menjawab dengan berurai air mata, “Aku menangis karena sangat sedih. Engkau akan meninggal, sementara aku tidak punya selembar kain pun untuk dijadikan kafanmu.”

Sang suami memberi jawaban “jangan bersedih, aku pernah mendengar Rasulullah SAW. bersabda, “Suatu saat salah seorang di antara kalian akan ada yang meninggal di suatu padang sahara dan sekelompok orang Mukmin akan melihatnya. Dan Rasulullah juga pernah bersabda Allah amat menyayangi Abu Dzar. Ia berjalan seorang diri, meninggal seorang diri, dan akan dibangkitkan di akhirat seorang diri.”

Akhirnya sosok berjiwa besar yang berprinsip hidup sederhana itu, Abu Dzar al Ghiffari, mengakhiri hayatnya dalam keadaan yang diucapkan Sang Nabi, ia berpulang dalam sepi, sederhana, seorang diri.

 

EH / Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *