Satu Islam Untuk Semua

Monday, 13 December 2021

Kepada Firaun Saja Nabi Musa Diperintah Allah Berlemah Lembut, Lalu Kenapa Ada Dai Berdakwah dengan Cara Kasar?


islamindonesia.id – Alquran mengisahkan tentang Firaun, manusia kafir dan ingkar, yang kekafiran dan keingkarannya mungkin belum ada tandingannya hingga masa sekarang. Bukan hanya penguasa zalim dan penindas rakyat, bahkan Firaun dengan berani dan terang-terangan mengaku dirinya sebagai Tuhan.

Sekadar informasi, Firaun adalah gelar bagi raja-raja Mesir purbakala. Menurut sejarah, Firaun di masa Nabi Musa adalah Minephtah (1232-1224 SM), raja yang dikenal sangat kejam dan menganggap dirinya layak disembah dan ditaati sebagaimana halnya Tuhan.

Berkenaan dengan ini, Alquran menyatakan: (Seraya) berkata: “Akulah tuhanmu yang paling tinggi.” (QS. An-Nazi’at:24)

Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa Firaun mengumpulkan pembesar-pembesarnya dan berseru memanggil kaumnya yang sebagiannya terdiri dari para tukang sihir. Dengan penuh kesombongan, Firaun berkata, “Akulah tuhanmu yang paling tinggi.”

Artinya, dengan klaimnya tersebut Firaun seolah ingin menegaskan: “Jangan ikuti ajakan Musa. Hanya aku yang berhak kamu taati, bukan Tuhan Musa. Akulah yang paling berkuasa di negeri Mesir ini.”

Itulah sekilas gambaran sosok Firaun yang sikap penentangannya kepada kebenaran tak tanggung-tanggung dan melampaui batas.

Namun, ketika Allah SWT mengutus Nabi Musa dan Harun agar mendakwahinya, keduanya justru diperintahkan untuk berlemah-lembut.

Firman Allah SWT, “Pergilah kamu berdua kepada Firaun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah-lembut, mudah-mudahan dia ingat atau takut.” (QS. Thaha: 43-44).

Begitulah seyogianya etika berdakwah bagi para dai dan mubalig. Sekafir dan sezalim apa pun orang yang didakwahi, tetaplah si pendakwah dituntut untuk mengedepankan unsur kelembutan dan kasih sayang.

Jika terhadap manusia seperti Firaun saja, Nabi Musa diperintahkan oleh Allah untuk berlemah lembut dalam berdakwah, apalagi para dai saat berdakwah kepada sesama Muslim.

Sungguh tidak pantas bila seorang mubalig bersikap arogan dan kasar dalam berdakwah. Sasaran dakwah yang sebelumnya mungkin sudah bersimpati, justru bisa berpaling disebabkan dai yang kasar dalam berdakwah. Inilah yang disebutkan Alquran, “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS. Ali Imran:159).

Ketertarikan para mualaf dengan Islam, biasanya karena terkesan dengan kelembutan, kasih sayang, dan akhlak para dai yang menawan.

Rasulullah s.a.w. sendiri adalah orang yang paling menawan akhlaknya. Itulah inti dari ajaran Islam yang tertuang dalam Alquran. Seperti juga disebutkan hadis, “Akhlak Beliau (Rasulullah s.a.w) adalah Alquran.” (HR Muslim)

Sebagai contoh, ketika menyikapi seorang Arab Badui yang kencing di masjid. Bukankah perbuatan si Badui itu suatu penghinaan terhadap simbol Islam? Bukankah ia telah menodai rumah Allah? Namun Rasulullah s.a.w. sama sekali tak memarahi si Arab Badui. “Biarkanlah dia dan siramlah bekas kencingnya dengan air. Sesungguhnya aku diutus untuk memberi kemudahan dan tidak diutus untuk memberi kesusahan,” sabda Rasulullah s.aw. (HR Bukhari)

Begitulah hendaknya dakwah dilakukan untuk menampilkan keindahan Islam melalui akhlak yang baik dan mulia.

Mendakwahkan Islam ibarat menghidangkan makanan. Seberapa pun lezatnya suatu makanan, jika cara menghidangkannya tidak tepat maka makanan itu pun tak akan sudi dimakan orang. Bayangkan, jika seseorang menghidangkan makanan yang lezat, namun ia menjadikan sandal sebagai wadahnya. Kendatipun sandal tersebut baru dibeli dari toko dan belum pernah dipakai, orang tak akan sudi memakannya. Masalahnya, ada pada cara penyajiannya yang tidak wajar.

Berbeda halnya dengan makanan sederhana, yang ditata sedemikian baik di piring-piring, kemudian dihidangkan dengan senyuman. Maka siapa pun tak akan ragu menyantapnya dengan lahap dan penuh kebahagiaan.

Demikianlah etika dakwah yang diajarkan Islam seperti tercantum dalam Alquran, “Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah (lemah lembut) dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. An-Nahl:125)

Sebagai gambaran, etika dakwah sebagaimana dimaksud Alquran tersebut adalah seperti apa yang dipraktikkan kedua cucu kesayangan Rasulullah s.a.w, Hasan dan Husein, yang dikenal sangat menawan dalam urusan etika dakwah.

Alkisah, ketika kakak beradik ini mendapati seorang kakek yang salah dalam berwudhu, mereka tak langsung mencegah apalagi mencelanya dengan nada protes. Sebaliknya, keduanya sepakat memilih cara yang lebih lembut untuk menegur dalam rangka mengingatkan sang kakek.

“Wahai Kakek, maukah engkau menilai, siapa di antara kami yang wudhunya benar?” tanya Hasan kepada si kakek.

Lalu keduanya pun berwudhu dan salah satunya memperagakan cara berwudhu yang salah. Hasan dan Husein lalu meminta si kakek menjadi juri bagi keduanya.

Lantas, apa jawaban si kakek?

“Terima kasih telah memberi tahuku cara berwudhu yang benar. Dan alangkah bagusnya cara kalian menasihatiku,” ujar si kakek dengan senyum lembut.

Jika kedua bocah yang masih belum balig ini saja bisa mempraktikkan cara berdakwah yang baik, tentu para mubalig yang telah menempuh pendidikan tinggi pasti bisa lebih baik lagi.

Begitulah dakwah ala Hasan dan Husein tidak menggurui, tidak kasar, dan penuh dengan kelembutan.

Sesuatu yang sederhana jika dikemas dengan baik dan menarik, tentu akan mengundang simpati orang yang melihatnya. Demikian juga dengan dakwah yang kendati sederhana, haruslah disampaikan dengan cara yang baik. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah s.a.w, “Sungguh, segala sesuatu yang dihiasi kelembutan akan tampak indah. Sebaliknya, tanpa kelembutan segala sesuatu akan tampak jelek.” (HR. Muslim)

Dakwah yang terkesan menjustifikasi dan menyalah-nyalahkan objek dakwah biasanya tidak akan membuahkan hasil. Malah objek dakwah akan tersinggung dan membalikkan badan.

Pendakwah yang ceroboh akan membuat orang antipati terhadap Islam. Akibatnya, mereka menutup hati dari hidayah Allah SWT. Bukan itu saja, pendakwah yang lain pun mungkin akan ditolak akibat ulah si pendakwah yang kasar dan ceroboh.

Alih-alih mampu mengajak semua orang pada kebaikan, bukankah pendakwah semacam ini justru bakal menjadikan banyak orang menjauh dari jalan Tuhan?

EH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *