Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 30 January 2022

Jangan Terlalu Lama Larut dalam Kesedihan


islamindonesia.id – “Wahai manusia, Kami akan menguji kalian dengan kesempitan dan kenikmatan, untuk menguji iman kalian. Dan hanya kepada Kamilah kalian akan kembali.”

Demikian firman Allah dalam Alquran Surah Al-Anbiya ayat 35, yang menegaskan bahwa kehidupan kita di dunia sudah pasti tidak akan selamanya indah dan berlimpah kenikmatan. Melainkan ada suka dan duka yang akan kita alami silih berganti.

Hal ini menunjukkan bahwa dunia ini memang hanya tempat persinggahan, bukan tujuan akhir perjalanan kita sebagai manusia dan selaku hamba Tuhan.

Seperti yang kita yakini, masih ada kehidupan lain yang akan kita alami dan negeri lain yang akan kita datangi kelak di hadapan kita. Itulah negeri akhirat abadi dan hakiki, yang tidak seperti halnya dunia fana yang bakal hancur pada waktunya, saat dikehendaki Tuhan.

Negeri akhirat itulah tempat kembali kita semua, tempat menetap selamanya, untuk menerima segala balasan atas semua kebaikan maupun keburukan yang kita amalkan di dunia.

Itulah tempat sesungguhnya untuk bersenang-senang secara hakiki, yakni di surga-Nya yang penuh limpahan rahmat dan kenikmatan. Atau justru akan menjadi tempat kita mengalami kesengsaraan hakiki, di neraka yang panas membara, sebagai tempat kembali para manusia durhaka kepada Sang Pencipta.

Berkenaan dengan hal ini, saya teringat pesan salah seorang guru. Dia berkata, “Ketahulilah bahwa yang selamat hanyalah sedikit. Sesungguhnya tipuan dunia akan hilang. Semua kenikmatan selain surga akan sirna. Dan semua kesusahan selain neraka adalah keselamatan.”

Pesan ini menyadarkan kita bahwa kesenangan dunia dan kesengsaraannya hanyalah ujian sementara dari Tuhan semesta alam, yang sebagaimana firman-Nya di awal tulisan ini dimaksudkan: apakah dengan ujian itu kita menjadi hamba yang bersyukur saat diberi nikmat dan apakah kita akan mampu bersabar saat diberi cobaan, ataukah sebaliknya.

Di antara sahabat Nabi ada yang pernah mengatakan, “Setiap insan pasti pernah merasakan suka dan duka. Oleh karena itu, jadikanlah sukamu adalah syukur dan dukamu adalah sabar.”

Begitulah suka dan duka telah menjadi ketetapan Allah yang pasti mewarnai kehidupan manusia di dunia ini. Artinya, tidak ada seorang manusia pun yang bakal terus merasakan sukacita atau kesenangan, demikian pula tak seorang pun dari mereka yang akan tertimpa duka dan kesedihan selamanya tanpa akhir. Jadi, semua manusia pasti akan secara bergiliran merasakan suka dan duka yang datang silih berganti.

Ketetapan ini telah berlaku sejak Nabi Adam dan akan tetap bertahan hingga dunia dihancurkan Tuhan.

Bukan hanya manusia biasa, para Sahabat Nabi pun pernah dirundung kesedihan. Kondisi ini sebagaimana yang Allah ceritakan dalam Alquran, terkait keadaan mereka saat kekalahan yang mereka alami dalam perang Uhud.

“Jika kamu (pada Perang Uhud) mendapat luka, maka mereka pun (pada Perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan agar Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan agar sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang zalim.” (QS. Ali Imran:140).

Allah yang menciptakan sukacita agar manusia menyadari nikmatnya kebahagiaan, sehingga mereka bersyukur dan ringan berbagi kepada sesamanya. Allah pula yang mendatangkan kesedihan agar manusia tunduk bersimpuh di hadapan-Nya yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, sehingga manusia tidak mudah pongah dan menyombongkan diri, melainkan bersimpuh pasrah kepada Tuhan yang Maha Kuasa dalam segala keadaan.

Berkenaan dengan hal ini, Alquran mencontohkan bagaimana kondisi Nabi Ya’qub saat lama berpisah dengan putra tercintanya; Nabi Yusuf alaihis salam.

“Sesungguhnya hanya kepada Allah aku mengadukan penderitaan dan kesedihanku.” (QS. Yusuf:86).

Sebagai hamba Allah yang beriman, hendaknya kita selalu yakin bahwa pasti ada saja hikmah dalam ketetapan Allah yang Maha Bijaksana, baik kita dalam kondisi suka maupun duka. Saat kita menangis atau tertawa.

Karena seperti firman-Nya, “Dialah Allah yang menjadikan seorang tertawa dan menangis.” (QS. An-Najm:43).

Dari uraian singkat di atas, dapat kita pahami bahwa tidaklah tercela bila manusia merasa sedih, tidak pula buruk bila mereka bersukacita. Semua perasaan itu adalah naluri yang manusiawi. Apalagi bila sebab-sebab kesedihan itu suatu hal yang terpuji. Seperti perasaan sedih yang dirasakan orang beriman saat melakukan dosa, yang dikabarkan Nabi bahwa itu adalah di antara tanda keimanan.

“Barangsiapa yang merasa bergembira karena amal kebaikannya dan sedih karena amal keburukannya, maka ia adalah seorang yang beriman.” (HR. Tirmidzi).

Atau kondisi ketika seseorang merasa sedih saat tertinggal salat berjemaah di masjid, menyia-nyiakan waktu seharian, tertidur di sepertiga malam terakhir hingga luput dari salat tahajud, atau bangun kesiangan sehingga terlewat dari menunaikan kewajiban salat Subuh, dan sebagainya, maka semua ini merupakan suatu hal yang terpuji, dan juga pertanda adanya cahaya iman dalam hatinya.

Namun yang tercela adalah saat seseorang terlalu larut dalam kesedihannya hingga membuat hatinya lemah, tekadnya meredup, rasa optimisnya menghilang, dan seterusnya. Inilah bentuk kesedihan yang menghancurkan harapan, sehingga membuatnya enggan bergerak, dan malas berikhtiar mengubah keadaannya untuk menjadi manusia yang bahagia.

Juga tercela, adalah kesedihan yang membuatnya lemah untuk meraih ridha Allah, bahkan membawanya pada keputusasaan dan membenci takdir Allah.

Nah, dalam kondisi semacam inilah biasanya setan bergegas memanfaatkan kesedihan manusia untuk menjerumuskannya pada jurang kesesatan. Betapa banyak orang-orang yang tergelincir dari jalan Allah karena larut dalam kesedihan, dan itulah sebabnya Nabi s.a.w pun senantiasa berlindung dari rasa sedih berkepanjangan.

Di antara doa yang sering dipanjatkan Nabi adalah,
اللهم إني أعوذ بك من الهم والحزن ..
Allahumma innii a’uudzubika minal hammi wal hazani…

“Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari gundah gulana dan rasa sedih…” (HR. Bukhari dan Muslim).

Seperti dicontohkan Nabi, maka tidak selayaknya kita berlama-lama memendam kesedihan dalam hati. Terlebih bila kita sadar bahwa ternyata setan justru senang jika melihat seorang Mukmin bersedih. Karena setan memang amat menginginkan kesedihan itu ada pada orang-orang beriman, seperti firman-Nya, “Sesungguhnya pembicaraan bisik-bisik itu hanyalah dorongan dari setan. Supaya menjadikan hati orang-orang beriman sedih. Padahal pembicaraan rahasia untuk menggunjing tidak akan merugikan orang-orang beriman sedikit pun, kecuali dengan kehendak Allah. Hanya kepada Allah-lah hendaknya orang-orang yang beriman bertawakkal.” (QS. Al-Mujadilah:10).

Ternyata bila kita amati, kata-kata sedih dalam Alquran tidaklah datang kecuali dalam konteks larangan atau kalimat negatif (peniadaan). Ini sebagaimana yang dijelaskan Ibnul Qayyim dalam bukunya Madaarijus Saalikiin.

Dalam konteks larangan, misalnya adalah firman Allah, “Janganlah kamu lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, karena kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Ali Imran:139).

“Dan janganlah kamu berduka-cita terhadap mereka.” (QS. An-Nahl:127).

Beberapa ayat juga berbunyi senada.

Kemudian firman Allah, “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.” (QS. At-Taubah:40)

Adapun dalam konteks kalimat negatif (peniadaan) misalnya firman Allah, Kami berfirman, “Turunlah kamu semua dari surga! Kemudian jika benar-benar datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah:38)

Lalu apa rahasia dari semua ini? Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa rahasianya adalah, karena kesedihan adalah keadaan yang tidak menyenangkan, dan sama sekali tidak ada maslahatnya bagi hati. Suatu hal yang paling disenangi setan adalah, membuat sedih hati seorang hamba. Hingga menghentikannya dari rutinitas amalnya dan menahannya dari kebiasaan baiknya.

Allah berfirman, “Sesungguhnya pembicaraan bisik-bisik itu adalah dari setan, supaya orang-orang yang beriman itu berduka cita.” (QS. Al-Mujadalah:10)

Islam Ingin Manusia Bahagia

Bersyukurlah kita semua atas nikmat Islam, karena Islam adalah agama yang menginginkan agar manusia senantiasa berbahagia. Allah SWT, Sang Pembuat Syariat ini tak ingin melihat hamba-Nya bersedih hati. Oleh karenanya, Islam diturunkan untuk membawa kebahagiaan bagi segenap makhluk, bukan untuk menyusahkan mereka.

Dalam Alquran Surah Thaha Allah berfirman, “Kami tidaklah menurunkan Alquran ini kepadamu untuk membuatmu susah.” (QS. Thaha: 2).

Artinya, Islam diturunkan untuk membuatmu bahagia. Sebaliknya, saat seorang jauh dari Islam, saat itulah kesedihan yang hakiki akan menghampirinya.

Nabi s.a.w pernah bersabda, “Jika kalian bertiga maka janganlah dua orang berbicara/berbisik-bisik berduaan sementara yang ketiga tidak diajak, sampai kalian bercampur dengan manusia. Karena hal ini bisa membuat orang yang ketiga tadi bersedih.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadis ini menekankan, bahwa sekadar berbisik bila membuat sesama kita sedih saja, itu dilarang. Di sisi lain, ini menunjukkan bahwa Islam begitu menjaga perasaan penganutnya dan amat menginginkan kebahagiaan dalam hati setiap insan. Bahkan Allah senang melihat tanda-tanda bahagia itu tampak dalam diri kita.

Rasulullah s.a.w bersabda, “Sesungguhnya Allah senang melihat bekas nikmat-Nya pada diri seorang hamba.” (HR. Tirmidzi dan An Nasai).

Maka betapa indahnya Islam, agama yang mencintai dan menghendaki kebahagiaan pada diri kita, dan mendorong kita segera mengenyahkan duka cita dan tak membiarkan setan memanfaatkannya. Karena setan selalu mengintai setiap gerak-gerik kita, sebagaimana yang Rasulullah kabarkan, “Sesungguhnya setan mendatangi kalian dalam setiap keadaan kalian. Sampai setan ikut hadir di makanan kalian.” (HR. Muslim).

Ala kulli hal, bila kita Muslim beriman, maka berbahagialah. Jangan biarkan diri kita larut dalam kesedihan berkepanjangan sehingga kita mudah diperdaya setan.

EH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *