Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 02 August 2017

HIKMAH – Kedudukan Perempuan dalam Islam


IslamIndonesiam.id– HIKMAH – Kedudukan Perempuan dalam Islam

 

Memahami posisi perempuan dalam Islam adalah wacana yang unik. Unik karena perempuan memiliki perbedaan yang dapat dilihat dari sisi objektif dan subjektif pribadi sebagai social human atau religion human. Perempuan memiliki sisi-sisi yang kontroversial karena kedudukannya yang selalu dipersoalkan dan diperdebatkan di mana-mana.

Kedudukan perempuan sebagai makhluk sosial menjadi masalah tatkala masyarakat tak dapat memahami perempuan, apalagi bila perempuan sebagai subjek dan objek sosial tak dapat mengidentifikasikan fungsinya.

Betapa mulianya perempuan sehingga Aisyah menjadi satu-satunya makhluk selain nabi yang mendapat kiriman salam dari malaikat Jibril. Betapa hebatnya keteguhan Aisiyah yang mampu mempertahankan keimanannya dalam kungkungan kekufuran Firaun sehingga Allah memberi jaminan surga untuknya. Kisah itu muncul karena pemahaman dan fungsi seorang Aisyah dan Aisiyah sebagai perempuan. Dua perempuan mampu mengidentifikasikan dan memahami kedudukan sebagai perempuan pada masa itu.

Tak perlulah kita menasehati dan mengeja lagi kenapa perempuan harus menjadi sesosok Aisyah dan Khadijah. Tak perlulah kita mengajari perempuan untuk menjadi sesosok perempuan soleh yang menurut pada pria. Kedudukan dan pemahaman kemuliaan perempuan itulah yang harus dimiliki. Mereka sebagai perempuan sesungguhnya telah mulia sejak dulu hingga kini.

Pahamilah baik-baik yang telah Rasulullah sampaikan. Setelah itu implementasikan dalam diri melalui pemahaman yang utuh tentang sosok perempuan yang seharusnya. Munculnya fenomena kontemporer, seperti persamaan hak perempuan dengan pria tidak akan muncul jika pria dan perempuan sudah paham posisi mereka di muka bumi. Laki-laki dan perempuan adalah dua makhluk yang diciptakan untuk berelasi dalam kehidupan.

Mungkin kaum perempuan akan marah pada Aristoteles jika dia tahu pada saat ini keterpinggiran perempuan salah satunya disebabkan argumentasi filsuf ini. Menurutnya, secara alamiah, nalar perempuan tidak dipersiapkan untuk berpikir luas. Dengan demikian, tugasnya adalah peran-peran domestik serta mengajar anak.

Selanjutnya sebagai pengukuhan kedudukan laki-laki, dia mengatakan, “Sesungguhnya kita mengawini istri-istri hanya untuk melahirkan anak-anak kita.” Boleh dikatakan, dia adalah penyebab pertama — tanpa mengesampingkan konstruksi sosial yang ada — proses peminggiran perempuan dalam masyarakat.

Hal ini jelas disebabkan kedudukan Aristoteles sebagai filsuf yang mengajarkan berpikir logis dan sistematis. Secara tidak langsung, peminggiran perempuan adalah sesuatu yang bersifat logis dan sistematis. Teori ini pun semakin mengguncang wacana dunia Islam setelah karya-karyanya dterjemahkan oleh Ibnu Rusyd.

Itu dulu, kemudian pahami diri sebagai seorang perempuan muslim. Bagaimana dan seperti apa seharusnya? Masharul Haq Khan mengatakan, “Perempuan pada masa rasul tampil sebagai sosok yang dinamis, santun, dan bermoral. Dalam jaminan Al-Quran, perempuan bebas berkiprah dalam semua bidang kehidupan, tak terkecuali dalam bidang kepemimpinan[…] kita sudah berada pada masa yang telah menerima transformasi keagamaan dari rasul yang disampaikan melalui penerus-penerusnya.”

Itu haruslah kita pahami. Letak peminggiran dan kelemahan kaum perempuan ada pada perempuan itu sendiri dalam memahami Islam dan lingkungan. Tak ada lagi undang-undang Manu yang mengatur perempuan Timur Tengah pra-Islam berisi: perempuan sepanjang hidupnya tidak pernah memiiki hak-haknya sendiri dalam melakukan segala tindakan yang diinginkannya sehingga segala urusan domestik pun mereka tidak diberi kesempatan.

Perempuan perlu memahami hal itu. Mari kita berpikir ulang. Perempuan berada di muka bumi adalah sebagai relasi pria dalam hidup, begitu pun sebaliknya. Visi universal adalah persamaan hak karena kita semua berasal dari satu ras, yaitu ras manusia. Inilah tugas perempuan. Mereka adalah subjek dan objek sosial.

Hikmah dunia perempuan pun akan terjawab. Perempuan dapat menggali hikmah dari kenyataan bahwa Rasul tidak dikaruniai anak laki-laki. Mungkinkah itu terjadi karena agar tidak ada pengkultusan anak laki-laki dan perendahan anak perempuan pada diri Rasul? Mungkin juga lain, karena Rasul pun mendapat cercaan dan hinaan pada masa awal Islam ketika beliau tidak mempunyai anak laki-laki.

Kemuliaan perempuan muncul bukan hanya karena dia mengandung dan membesarkan anak. Kehinaannya pun bukan karena perempuan memiliki keringanan beribadah ketika mengalami haid. Tetapi, kemuliaan perempuan terletak dari pemahaman identitasnya dan fungsinya sebagai perempuan. Alhasil tak mungkin terjadi peristiwa perempuan Anshor yang melayangkan protes pada Rasul karena tak memiliki majelis ilmu sendiri. Itulah kemuliaan perempuan yang mengerti kedudukan perempuan yang perlu mendapat ilmu sama dengan laki-laki.

Semua berawal dan berakhir dari pemahaman. Keterpinggiran perempuan dalam masyarakat bukan lagi karena konstruksi sosial. Tulisan ini pun bukan ingin menggurui, tetapi ingin mengajak perempuan dan pria Muslim berpikir dan memahami. Pria dan perempuan hidup untuk berelasi dengan pemahaman agama yang mereka miliki dan mereka sepakati. Semua dalam gerbang ke-Islaman yang utuh. Marilah perempuan Muslim membentuk sebuah grand narrative dan pusat sejarah untuk perempuan.

 

IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *