Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 20 June 2018

HIKMAH – Jiwa yang Tentram


Islamindonesia.id– HIKMAH – Jiwa yang Tentram

 

Oleh Abdillah Toha: Pengamat Sosial dan Keagamaan

 

 

Yang akan diuraikan di bawah ini bukan tafsir atau tasawuf. Penulis bukan ahlinya. Hanya sekadar ungkapan hati spontan seorang awam.

Allah berfirman dalam Al-Quran (alFajr 27-28) bahwa yang akan kembali kepadaNya dalam keadaan ridha dan diridhai Allah adalah jiwa yang tenang dan tentram. Dari hati yang bersih yang memancarkan cahaya Ilahi.

Sebelum mencapai tahap akhirat, di bumi pun sesungguhnya kita selalu mendambakan jiwa yang tentram. Tanpa itu, seluruh kenikmatan duniawi ini akan terasa hambar. Kekayaan yang berlimpah pun tak akan menolong. Ilmu setinggi apapun justru berpotensi membuat kita bertambah gelisah.

Dari mana dan dengan cara apa kita bisa meraih jiwa yang tentram? Rasanya hanya ada satu jawaban. Dalam bahasa agama, mensyukuri segala sesuatu yang dikaruniakan Tuhan kepada kita. Dalam bahasa yang lebih sederhana, bersahabat dan menyatu dengan seluruh alam beserta isinya.

Hidup ini sebenarnya adalah aksi dan reaksi. Reaksi kita ditentukan oleh persepsi segala sesuatu yang berada di luar diri kita. Sesungguhnya kita semua adalah penafsir dari apa yang terjadi di luar dengan hasil tafsir yang tidak dijamin kebenarannya. Dalam keadaan bersahabat dan menyatu dengan yang di luar, yang terjadi adalah seluruh tafsiran kita menjadi positif.

Kita adalah bagian dari yang di luar dan yang di luar adalah bagian dari kita. Ketika kita merespon positif segala rangsangan yang datang datang dari luar maka jiwa kita akan menjadi tenteram. Sebaliknya tanggapan negatif dalam kebencian dan kemarahan hanya akan melukai hati sendiri. Seperti kata Buddha Gautama, kebencian adalah racun yang kita masukkan kedalam tubuh kita dengan harapan orang lain yang mati.

Harus diakui, semua itu memang mudah untuk diucapkan tetapi sulit untuk dilaksanakan. Apakah mungkin kita diam dan membiarkan serta menganggap orang yang menimbulkan kerugian besar kepada kita sebagai bagian dari kita?

Tidak benci dan dendam tidak berarti pasif dan apatis, membiarkan semua keburukan didepan mata tanpa beraksi. Kuncinya terletak pada cara dan tujuan berbuat, bila kita ingin tindakan kita tidak menimbulkan bekas yang justru mengganggu kejiwaan kita. Yaitu motivasi tindakan kita harus bertujuan memberi pelajaran pembuat onar, sekaligus menimbulkan jera bagi orang lain yang berniat sama, serta menghindarkan kerusakan yang lebih besar. Bukan tindakan atas dasar balas dendam.

Tak jarang pula, jiwa yang gelisah tumbuh ketika kita tak mampu mengukur diri, menempatkan diri jauh diatas kodrat kemampuan kita, mempunyai angan-angan yang terlalu tinggi, atau berulang-ulang salah mempersepsi dan menilai obyek diluar kita.

Sebaliknya, jiwa yang tenteram bisa dicapai dengan merendahkan diri dalam memberi maaf kepada yang berbuat salah kepada kita. Dengan memaafkan, kita secara sadar telah menurunkan beban yang kita pikul di tingkat bawah sadar. Beban dalam terus mengingat dan berharap balasan buruk akan melanda lawan.

Memaafkan diri sendiri atas kesalahan di masa lalu, juga akan menenteramkan hati yang terbebani rasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri. Padahal kita tahu dan sadar bahwa rasa bersalah tak mungkin mengubah masa lalu.

Berjiwa tenteram adalah mereka yang sudah selesai semua permasalahan dengan dirinya, dengan keluarganya, dengan lingkungannya dan masyarakat luas. Segala kelebihan atau kekurangan material dan non material diterima olehnya sebagai kembang keseimbangan yang merupakan bagian dari sunnatullah.

Pada puncaknya, kepasrahan penuh kepada Yang Maha Pemelihara dan permohonan ampun ke hadiratNya sebagai jalan terakhir, berarti memindahkan beban dari yang menghamba kepada Tuannya yang Maha Pemurah.
Wallah a’lam

 

 

 

AT – 20062018

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *