Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 14 September 2016

HIKMAH—Cak Nun: Tuhan Pilihkan Ini Manusia Malah Pilih Itu


IslamIndonesia.id—Cak Nun: Tuhan Pilihkan Ini Manusia Malah Pilih Itu

 

Manusia sudah dianugerahi kemurahan oleh Allah dengan tidak membebaninya melebihi kesanggupannya, la yukallifullahu nafsan illa wus’aha: manusia malah mengambil tingkat, kadar, dan keluasan tanggung jawab yang jauh di luar jangkauan kesanggupannya. Tuhan menyediakan kenikmatan kepada manusia dengan ukuran dan takaran, manusia menerjang ukuran-ukuran itu dan merasa sanggup melampaui takaran-takaran.

Manusia berlomba menjadi pemimpin, bahkan pemimpin besar dan puncak, padahal sangat tidak memenuhi syarat untuk itu. Manusia berpacu untuk menjadi paling hebat, paling unggul, paling kuat dan tinggi, padahal kehebatan, keunggulan, kekuatan dan ketinggian, didistribusikan oleh Allah kepada semua manusia dalam keseimbangan dan perimbangan, yang terjungkir dan saling mengambrukkan jika diperbandingkan dan dipertandingkan.

Tuhan menganugerahkan masing-masing hamba-Nya kelebihan dan kekurangan yang berbeda satu sama lain. Karena setiap diri dan seluruh diri manusia wajib mengikuti suatu arus gelombang yang pada ujungnya akan mempersatukan diri dengan diri yang lainnya, serta mempersatukan seluruh kesatuan diri itu dengan diri-Nya. Tetapi manusia memiliki kecenderungan yang sangat kuat untuk memisahkan diri dari gelombang penyatuan itu. Manusia berlaku dan melangkahkan kaki hidupnya menuju suatu pencapaian di mana mereka seakan-akan hendak menjadi Tuhan. Menuju suatu keadaan di mana masing-masing ingin menjadi lebih unggul, lebih hebat, lebih kuat, dan lebih tinggi

Yang akhirnya dicapai oleh manusia yang bergerak dan berlaku menuhankan diri, adalah kekerdilan. Sekolah-sekolah dan Universitas mengumumkan bahwa dirinya adalah unggul dan hebat, sehingga akan memproses pendidikan yang juga melahirkan manusia-manusia unggul dan hebat. Kata ‘hebat’ belum dipakai oleh lembaga-lembaga itu, karena mereka meremehkan kecerdasan sesama manusia yang pasti tahu bahwa di balik kata ‘unggul’ itu yang dipamerkan dan ditawarkan adalah ‘kehebatan’.

Tuhan menyatakan bahwa Ia telah menawarkan amanah kepemimpinan kepada langit, bumi dan gunung-gunung, mereka semua menolaknya karena khawatir akan mengkhianatinya. Tapi, kata Tuhan, dipikullah amanah itu oleh manusia. Sehingga Allah menegaskan: sungguh manusia itu amat lalim dan bodoh.

Itu bahasa Tuhan langsung. Apabila itu kasar dan melanggar etika dan hubungan perasaan, marahlah kepada-Nya. Tuhan yang membuka peluang, kecerdasan, dan tatanan untuk memungkinkan manusia menentukan dan menyepakati kata, ucapan, bahasa, idiom, istilah. Tuhan pula yang menyiapkan kemampuan manusia agar membangun kepemimpinannya atas kata dan komunikasi.

Kemudian Allah Yang Maha Santun dan Bijaksana memberi contoh ketegasan dan objektivitas dengan memilihkan kata lalim dan bodoh. Manusia dipersilakan membangun susunan dan pola perhubungan psikologi dan kebudayaan untuk menetapkan di mana, kapan dan pada situasi apa dua kata itu layak diucapkan, bahkan harus diucapkan. Dan kita yang telah membangun sekian ratus era peradaban, tidak kunjung menemukan proporsi dua kata itu. Oleh karena itu saya tidak menggunakannya, dan hanya mengutip apa yang Allah sendiri mengucapkannya.

Manusia yang bernafsu menjadi pemimpin, menurut Tuhan adalah dhalim dan bodoh. Lebih bodoh dari gunung, lebih dungu dari benda, lebih konyol dari materi. Bahkan dua tingkat bodohnya di bawah hewan ternak.

Orang-orang pandai di antara manusia yang diperbudak oleh nafsunya untuk menjadi pemimpin, selalu mengatakan bahwa menjadi pemimpin itu amanah, seolah-olah apa yang mereka lakukan adalah akselerasi nilai dari amanah Tuhan. Mereka membuat dan memakai topeng apa saja untuk memenuhi ambisi lalim dan bodohnya. Mereka menyusun performa, atau cara merayu agar dianggap, diterima, dan diangkat menjadi pemimpin oleh rakyat yang dilalimi dan dibodohinya.

Manusia-manusia yang terpilih sebagai yang terunggul oleh Sekolahan-sekolahan dan Universitas-universitas, mengkhayalkan dirinya seperti bangunan-bangunan tinggi. Khayalan dan kebanggaan utama mereka adalah etos ‘pencakar langit’. Kalau ada suatu Negeri yang berhasil membangun gedung tertinggi di dunia, maka terjerembab dan ambruklah jiwa mereka di tanah kekaguman. Gedung pencakar langit, ilmu pencakar langit, prestasi pencakar langit, reputasi pencakar langit, hak paten pencakar langit, kreativitas dan inovasi pencakar langit. Segala sesuatu yang mencakar langit adalah kepulan asap nafsu manusia di abad ini, seolah-olah sekian puluh ribu tahun yang lalu tidak ada Iroma dzatil ‘imad, tidak ada kaum ‘Ad di Al-Ahqaf yang dinabii oleh beliau Hud, yang jauh-jauh hari sudah mendirikan gedung-gedung pencakar langit, yang manusia di zaman ini tidak punya bahan untuk memastikan apakah gedung-gedung mereka melebihi tingginya gedung-gedung Kaum ‘Ad.

Nabi Hud tersenyum memandang bumi dari alam huniannya hari ini, karena sebelumnya tidak pernah menyangka bahwa kata-katanya kepada Kaum ‘Ad ternyata sangat berlaku untuk ummat manusia di sejarah mutakhir abad ini: “Aku hanya menyampaikan kepadamu apa yang aku diutus oleh Allah untuk membawanya. Tetapi aku lihat kalian adalah kaum yang sungguh bodoh…”

Hanya saja kali ini Nabi Hud tidak punya hak untuk memohonkan adzab kepada Allah, sebagaimana dulu Kaum ‘Ad disapu habis oleh badai angin dingin yang amat kencang.

 

EH/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *