Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 04 June 2016

HIKMAH—Aku dan Anakku, Tentang Selisih Usia Kami


IslamIndonesia.id—Aku dan Anakku, Tentang Selisih Usia Kami

 

Di hari ulang tahunnya yang kesebelas tahun ini, seolah tak peduli pada bertambahnya setahun usianya sendiri, anakku justru bertanya berapa usiaku dan berapa usia ibunya saat ini.

Aku pun menjawabnya, sementara dia hanya diam tanpa menanggapinya lebih jauh lagi. Tapi dari raut wajahnya, kutangkap sebersit kegelisahan, terutama saat dia tahu persis bahwa kami, ayah dan ibunya sudah tak tergolong muda lagi.

Untuk sedikit menghibur dan mengalihkan perhatiannya, bersama istriku kuajak anakku jalan-jalan ke tempat favoritnya. Begitulah sepanjang perjalanan sore itu, dalam diam kuamati kedua matanya yang tampak menerawang jauh ke penghujung jalan, jauh di depan sana, ke arah kami bertiga sedang menuju.

Entah kegundahan macam apa yang saat itu sedang menari-nari di kepala dan hatinya. Aku hanya bisa menduga, bahwa dia merasa tak semujur kakaknya yang lebih dulu lahir ke dunia.

Bukan tanpa alasan aku menebak perasaannya. Sebab seperti cerita istriku, setidaknya hal macam itulah yang sempat anakku keluhkan suatu ketika kepada ibunya. Tepatnya pas hari ulang tahunku setahun lalu, dia tanyakan hal serupa; tentang berapa persisnya selisih usiaku sebenarnya dengan usianya sendiri.

Semula aku tak begitu paham kemana arah pertanyaannya itu. Aku baru mulai agak paham ketika dia sendiri di waktu yang berbeda, sempat bertanya langsung kepadaku, di usia berapa Kanjeng Nabi wafat, dan pada rata-rata usia berapa biasanya manusia di zaman kita sebagai umat beliau, kembali kepada Gusti Allah.

Itulah kenapa kepada ibunya dia pernah bilang, “Enaknya Kakak, sampai nanti tuntasin kuliah, bisa-bisa Ayah masih bisa bantu dia garap skripsinya. Tapi aku, nanti siapa yang akan bantu?  Apakah jika waktu itu tiba, Ayah akan masih ada di antara kita?”

Jujur saja, aku tak hanya terhenyak menyimak penuturan istriku kala itu. Mungkin Anda pun akan merasakan hal tak jauh beda, andaikata dihadapkan pada kondisi serupa.

Ya. Sebagai orang tua, seberapa sering kita peduli pada isi hati, perasaan, kekhawatiran dan ketakutan anak-anak kita semacam itu?

Tentu tak dapat sepenuhnya buru-buru kita salahkan kegalauan masa kanak-kanak semacam itu, meski kita tahu bahwa benar-benar hanya Tuhan lah satu-satunya yang Mahatahu kapan persisnya waktu “pemanggilan” masing-masing diri kita dan setiap makhluk-Nya. Bukan tergantung tua-muda, sehat-sakit dan sejenisnya, melainkan murni karena kehendak dan kuasa-Nya semata.

Dengan kesadaran itulah aku pun berikhtiar mencari cara terbaik, bagaimana menjelaskan duduk perkara “jatah hidup” dan ajal manusia itu kepada anakku, meski ternyata tak semudah yang kubayangkan.

Kudapati ternyata bukan hanya soal cara yang harus kita pikirkan dalam menjelaskan perkara batas umur atau seberapa laMakkah jatah hidup yang diberikan Tuhan hingga ajal datang menjemput kita. Tapi mesti kita pilih juga waktu yang tepat sekaligus harus kita pertimbangkan dan pahami betul kondisi psikologis anak-anak kita untuk membahas perkara sensitif itu, kira-kira sudah sejauh mana kesiapan mereka. Artinya, jangan sampai alih-alih menghilangkan kegalauannya, kita justru menambahi keresahan batinnya dengan beban-beban pikiran yang tak perlu.

Karena harus diakui, menjelaskan perkara dan seluk-beluk seputar ajal kepada anak usia belia dengan daya jangkau pemahaman yang masih minim, sungguh bukanlah perkara gampang.

Sebab itulah akhirnya kuputuskan, untuk sementara waktu mungkin ada baiknya kuhibur saja anakku dengan tujuan semata menghilangkan kegalauan hatinya lebih dulu.

***

Di waktu yang tepat, kuajak anakku ke taman bermain tak jauh dari rumah kami. Saat kami hanya berdua, kukatakan kepada si kecil, “Demi Allah, Ayah dan Ibuk sungguh sangat menyayangimu. Juga kakak. Tapi pasti Gusti Allah jauh lebih sayang kepada kalian.”

Melihatnya diam, akupun melanjutkan.

“Seperti halnya Ayah dan Ibuk pernah kecil, maka kelak kalian juga akan beranjak tua seperti kami. Tapi Gusti Allah, akan selalu bersama kalian, menjaga kalian berdua selamanya. Bahkan ketika Ayah dan Ibuk memang sudah waktunya dipanggil kembali kepada-Nya.”

Saat itulah kulihat kedua mata anakku mulai berkaca-kaca. Membuat napasku sejenak tercekat, sebelum kembali bicara.

Ya Tuhan, betapa sulitnya membuatnya paham, betapa aku sendiripun selaku orangtuanya seringkali dihinggapi kegundahan yang sama, menyadari kian bertambahnya usia kami menuju renta sementara anakku masih belia.

“Aku janji akan selalau doakan Ayah, Ibuk, Kakak, panjang umurnya. Semoga Tuhan menjaga kita semua, tetap bisa bersama sampai tua. Amiin..” katanya lirih, tanpa kuduga.

Kupeluk anakku, seraya membisikkan doa, semoga panjang usianya dalam ketaatan dan takwa.

Sejurus lamanya,  kami berdua hanya saling diam, dan tak kuasa berkata apa-apa lagi. Tapi dari apa yang kudengar dari anakku tadi, di relung hatiku benar-benar aku berharap, semoga anakku mulai sedikit paham, bahwa memang hanya Dia semata yang Maha Berkuasa menentukan jatah hidup bagi kita semua di dunia ini.

 

EH/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *