Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 08 January 2022

Ada yang Bilang ‘Kalau Mau Viral Memang Harus Gak Punya Malu’, Lalu Bagaimana Nasib Iman?


islamindonesia.id – Di masa sekarang, ketika media sosial makin dipercaya menjadi media alternatif yang dianggap efektif sebagai sarana dan ajang paling pas untuk promosi dan unjuk diri kepada dunia, banyak orang berlomba-lomba tampil ke depan dengan mengkreasi beragam konten dan berbagai aksi atau tingkah polah yang kadang tabu, bahkan tidak masuk akal dan sebenarnya -atau seharusnya, boleh dikata memalukan. Namuh toh tetap saja semua itu dilakukan demi satu tujuan: menjadi influencer dan sosok tenar, setelah aksi-aksi nyelenehnya menjadi trending dan viral.

Mencermati fenomena ini, seorang kawan bilang, “Intinya, kalau mau viral, memang harus gak punya malu.”

Jika benar demikian, lalu bagaimana halnya dengan ungkapan yang menyatakan bahwa malu adalah sebagian dari iman?

Malu adalah sifat atau perasaan yang membentengi seseorang dari melakukan tindakan rendah atau kurang sopan. Islam memerintahkan pemeluknya memiliki sifat malu karena dapat meningkatkan akhlaknya ke posisi tinggi. Orang yang tidak memiliki sifat malu, akhlaknya akan rendah dan tidak mampu mengendalikan hawa nafsunya sendiri.

Sifat malu merupakan ciri khas akhlak orang beriman. Orang yang memiliki sifat ini apabila melakukan kesalahan atau tindakan yang tidak patut bagi dirinya akan menunjukkan penyesalan. Sebaliknya, orang yang tidak punya malu, akan merasa biasa saja ketika melakukan kesalahan dan dosa, meskipun perbuatan tercelanya tersebut diketahui banyak orang.

Islam menempatkan malu sebagai bagian dari iman. Orang beriman pasti (dan sudah seharusnya) memiliki sifat malu. Orang yang tidak punya malu berarti tidak ada iman dalam dirinya meskipun lidahnya menyatakan beriman.

Rasulullah s.a.w bersabda, ”Iman itu lebih dari 70 atau 60 cabang, cabang iman tertinggi adalah mengucapkan ‘La ilaha illallah’, dan cabang iman terendah adalah membuang gangguan (duri) dari jalan, dan rasa malu merupakan cabang dari iman.” (HR Bukhari-Muslim).

Sifat malu perlu ditampilkan seseorang dalam semua aktivitas kehidupan. Melaluinya, seseorang dapat menahan diri dari perbuatan tercela, hina, dan keji. Melalui sifat malu, seseorang akan berusaha mencari harta yang halal dan akan menyesal kalau ketinggalan melakukan kebaikan.

Apabila seseorang hilang rasa malunya, secara bertahap perilakunya akan buruk, kemudian menurun kepada yang lebih buruk, dan terus meluncur ke bawah dari yang hina kepada yang lebih hina sampai ke derajat paling rendah.

Rasulullah s.a.w bersabda, ”Sesungguhnya Allah apabila hendak membinasakan seseorang, Dia mencabut rasa malu dari orang itu.

“Apabila rasa malunya sudah dicabut, kamu tidak menjumpainya kecuali dibenci. Apabila tidak menjumpainya kecuali dibenci, dicabutlah darinya sifat amanah. Apabila sifat amanah sudah dicabut darinya maka tidak akan didapati dirinya kecuali sebagai pengkhianat dan dikhianati. Kalau sudah jadi pengkhianat dan dikhianati, dicabutlah darinya rahmat. Kalau rahmat sudah dicabut darinya, tidak akan kamu dapati kecuali terkutuk yang mengutuk. Apabila terkutuk yang mengutuk sudah dicabut darinya, maka akhirnya dicabutlah ikatan keislamannya.” (HR Ibn Majah).

Ada tiga macam malu yang perlu melekat pada diri seseorang. Pertama, malu kepada diri sendiri ketika sedikit melakukan amal saleh kepada Allah dan kebaikan untuk sesamanya dibandingkan dengan orang lain. Rasa malu yang demikian ini diharapkan akan dapat mendorongnya meningkatkan kuantitas amal saleh dan pengabdian kepada Allah dan kebaikan kepada sesama manusia.

Kedua, malu kepada manusia. Ini penting karena dapat mengendalikan diri agar tidak melanggar ajaran agama, meskipun yang bersangkutan tidak memperoleh pahala sempurna lantaran malunya bukan karena Allah. Namun, malu seperti ini dapat memberikan kebaikan baginya dari Allah karena ia cenderung lebih terpelihara dari perbuatan dosa.

Ketiga, malu kepada Allah. Ini malu yang terbaik dan dapat membawa kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Orang yang malu kepada Allah, tidak akan berani melakukan kesalahan dan meninggalkan kewajiban selama meyakini Allah selalu mengawasinya.

Sifat malu begitu penting karena sebagai benteng pemelihara akhlak seseorang dan bahkan sumber utama kebaikan. Maka dari itu, sifat ini perlu dimiliki dan dipelihara dengan baik.

Pendek kata, karena sifat malu tersebut dipercaya dapat meneguhkan iman seseorang, maka hendaknya sifat terpuji itu selalu dipelihara dan dipertahankan. Artinya, lebih baik tidak viral dan menjadi sosok tenar daripada harus kehilangan rasa malu dan pada puncaknya, harus kehilangan iman.

EH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *