Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 08 December 2021

Ada Hamba Allah yang Lebih Baik ‘Ditakdirkan’ Tak Kaya


islamindonesia.id – Allah SWT telah membuat ketetapan bahwa di antara manusia akan ada yang kaya dan ada yang miskin (QS.17:30). Kaya dan miskin itu adalah skenario Allah SWT, seperti adanya sebagian manusia beriman dan ada pula manusia yang kafir (QS.64:2).

Allah SWT membuat ada yang kaya dan miskin, agar manusia saling berhubungan satu sama lain. Selain itu, adanya kaya dan miskin adalah model ujian dari Allah SWT bagi manusia, sehingga pada setiap orang akan datang suatu masa diuji dengan kekayaan dan di masa lain akan diuji dengan kemiskinan (QS.89:15-16). Allah SWT ingin melihat bagaimana reaksi si fulan ketika diuji dengan kedua hal itu, adakah dia tetap bersyukur atau menjadi kufur.

Umumnya manusia akan taat ketika miskin, dan lalai ketika sudah diuji dengan kekayaan (ingat kisah Qarun atau Tsa’labah).

Apakah manusia menjadi kaya karena kepintaran atau kehebatannya? Manusia kaya bukan karena dia pintar atau hebat, melainkan karena Allah SWT sedang memudahkan rezekinya.

Faktanya, betapa banyak orang pintar tapi tidak kaya, dan betapa banyak pula orang yang tidak pintar namun diberi kekayaan melimpah. Mungkin memang tidak ada korelasi (hubungan) positif antara kaya dan tinggi-rendahnya pendidikan. Bahkan kadangkala semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin sulit pula rezekinya, namun orang yang tidak berpendidikan tinggi malah begitu mudah rezekinya.

Banyak sarjana ekonomi hari ini menganggur dan tak punya penghasilan. Semuanya membuktikan bahwa kita, manusia, tidak punya kuasa atas kekayaan, melainkan Allah SWT-lah yang Maha Berkehendak. Buktinya, 100 orang terkaya di dunia tidak berasal dari keturunan orang kaya, sementara 100 orang terkaya di Indonesia pun tidak berpendidikan tinggi.

Seperti musim panas dan musim hujan, kaya dan miskin akan datang bergiliran. Tidak ada garansi bahwa seseorang akan kaya selamanya, dan tidak ada pula ketetapan bahwa orang miskin akan miskin selamanya. Betapa banyak orang kaya, anaknya melarat. Sebaliknya, betapa banyak orang miskin yang anaknya kaya raya.

Tidak ada suatu formula paten atau resep jitu agar seseorang mampu bertahan kaya selamanya. Allah SWT bisa membuat kondisi orang kaya tiba-tiba miskin dengan sebab yang bermacam-macam (kena penyakit, usaha bangkrut dll). Sebaliknya orang miskin bisa Allah SWT kayakan secara cepat melalui berbagai jalan (usahanya lancar, diberi ilmu dan keterampilan yang bermanfaat dll). Pendek kata, karena kaya dan miskin tidak bisa diperkirakan dan dikendalikan, maka kita harus selalu siap menghadapi kedua ujian ini.

“Ada, hamba Allah yang lebih baik bagi mereka jika ditakdirkan tak kaya”, tulis Ibnu Katsir, “sebab jika mereka dikayakan, itu malah merusak agamanya.”

“Tapi juga ada hamba yang lebih baik ketika ditakdirkan kaya, sebab jika mereka dimiskinkan maka agamanya akan rusak…”

Dari situ kita tahu bahwa hikmah itu bisa ada dalam kondisi kaya, bisa ada juga dalam keadaan cukup sekadarnya, bahkan miskin. Karena kita yakin bahwa kisah kehidupan kita itu pasti skenario terbaik dari Allah.

Maka jika kita dikayakan, sudah selayaknya kita memohon agar kondisi itu mendekatkan kita kepada Allah.
Sebaliknya, jika suatu saat kita diuji dengan keadaan sekadarnya, mari berprasangka baik bahwa itu jalan yang Allah siapkan agar iman kita tetap terjaga.

Sebab kaya dan ala kadarnya, kedua-duanya juga bisa berpeluang membuat kita luruh dari lezatnya penghambaan kepada Tuhan.

Ibnu Katsir melanjutkan, “Kadang kekayaan diberikan kepada hamba sebagai bentuk istidraj buatnya, dan kefakiran diberikan sebagai hukuman. Kita berlindung kepada Allah dari keduanya…”

Perenungan ini akan semakin kuat setelah kita membaca Alquran surah al-Isra ayat 30, yang Allah SWT berfirman, “Sungguh, Tuhanmu melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan membatasi (bagi siapa yang Dia kehendaki); sungguh, Dia Maha Mengetahui, Maha Melihat hamba-hamba-Nya.”

Demikian pula halnya sebagaimana ditekankan dalam surah az-Zukhruf ayat 32, Allah SWT berfirman, “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”

Ayat di atas menggambarkan, perbedaan antara orang berpunya dan papa adalah suatu fakta (sunnatullah). Pembagian antara yang kaya dan miskin adalah sesuai dengan ketetapan yang diberikan oleh Allah SWT.

Perlu dipahami, ini pun merupakan bentuk dari ujian. Allah SWT memberikan ujian kepada hamba- Nya, salah satunya dengan harta yang mereka miliki.

Surah al-Anbiya ayat 35 menjelaskan lebih dalam tentang ujian demikian. Dalam surah tersebut, Allah berfirman, “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.”

Maka, jika seorang hamba Allah diberikan kelebihan, bukan berarti itu bentuk cinta dan kasih sayang. Kelebihan yang ia miliki tidak serta-merta menunjukkan, Allah SWT lebih sayang kepada dirinya dibandingkan terhadap orang yang lain. Sebab, kekayaan yang ada padanya hanyalah ujian yang harus ia lalui.

Orang yang diberikan kelebihan dalam hal harta, jabatan, serta kekuasaan, hendaknya lebih berhati-hati dan memperbanyak mengingat Allah SWT.

Apalagi, manusia cenderung memiliki sifat lalai. Ia kerap lupa kepada Tuhannya ketika mendapatkan kelebihan dan berujung berbuat zalim. Surah asy-Syura ayat 27 telah mengingatkan hal ini: “Dan jikalau Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya, tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.”

Namun pada akhirnya, jika kita tanya pada nurani, pasti ia akan jujur menjawab: ingin hidup bahagia di dunia, mulia pula di akhirat. Dan itulah yang disebut “âfiyah”, sebagaimana yang Rasul pesankan kepada pamannya Al Abbas, “Mintalah âfiyah di dunia dan akhirat.” (HR. Tirmidzi)

Lebih dari itu, kita yakin bahwa Allah SWT sudah pasti menginginkan kemudahan bagi hamba-Nya yang beriman, termasuk dalam urusan masuk surga. Berkenaan dengan hal ini, ada salah satu riwayat yang menyebutkan: Dari Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah s.a.w. pernah bersabda, “Sesungguhnya kaum fakir dari kalangan Muhajirin mendahului orang-orang yang kaya menuju surga pada hari kiamat dengan jarak selama 40 tahun.”

Kaum fakir dari kalangan Muhajirin merupakan mereka yang hidup pada zaman Rasul dan rela meninggalkan harta serta keluarga mereka demi Allah SWT dan Nabi Muhammad s.a.w.

Sebagai contoh, ialah kisah sahabat Nabi, Mush’ab bin Umair. Ia adalah sahabat Nabi yang meninggal syahid pada awal-awal masa jihad serta meninggal dalam keadaan fakir.

Rasulullah bersama sahabat yang lain hanya bisa menangis saat Mush’ab wafat karena jasadnya yang tidak bisa ditutup oleh satu kain burdah miliknya. Andai kain itu ditaruh di atas kepalanya, maka tampaklah kedua belah kakinya. Begitu pula sebaliknya. Karena itu, Nabi pun bersabda, “Kaum fakir dari golongan Muhajirin masuk surga terlebih dahulu sebelum kaum kaya dari kalangan mereka dengan jarak selama 500 tahun.”

EH/ Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *