Satu Islam Untuk Semua

Monday, 20 April 2020

Kolom Haidar Bagir – Wabah Corona: Jembatan Menuju Peradaban Baru?


islamindonesia.id – Wabah Corona: Jembatan Menuju Peradaban Baru?

Wabah Corona: Jembatan Menuju Peradaban Baru?

Oleh Haidar Bagir| Presiden Direktur Kelompok Mizan, penulis buku-buku tentang Tasawuf, dan Dai Islam Cinta

Saya berpikir, dari sudut keagamaan, dengan adanya wabah virus Corona ini kayaknya memang kita sedang dipaksa untuk memasuki era new normal. Kita sejak kecil diajari bahwa “kehidupan di dunia ini hanya singkat dan menipu, hanya main-main dan senda gurau.”

Kenyataannya begitulah hidup. Penuh kegiatan menghibur diri remeh-temeh, tidak memiliki kedalaman/keseriusan, padahal itu semuanya bersifat segera berlalu begitu saja tanpa menimbulkan kesan atau dampak yang bermakna.

Akibatnya, kebahagiaan selalu berkelit dari kita. Sebentar kita gembira, selebihnya kita mengalami kehampaan jiwa. Kita lupa bahwa ada sesuatu yang lebih tinggi dan lebih luhur dari kehidupan dan cara hidup serba dunia yang selama ini kita jalani.

Tapi, sadar atau tidak, kita tetap saja menganggap episode kehidupan dunia sebagai kehidupan yang amat penting, kalau tak malah lebih penting bagi kita. Yakni, dalam makna merasakan kesenangan-kesenangan hidup di dalamnya.

Memang agama tak melarang kita menikmati kesenangan-kesenangan dunia. Tapi biasanya agama melihat kesenangan-kesenangan itu, sebagaimana semua kesibukan kita di dunia, sebagai persiapan saja agar kita bisa berbekal buat akhirat kita.

Nabi bersabda, bahwa kehidupan di dunia adalah ladang – tempat kita mengumpulkan bekal – bagi kehidupan akhirat kita. Al-Ghazali membuka bukunya yang berjudul Kimiya’ as-Sa’adah dengan meluruskan kesalahan kita memaknai doa sapu jagad:

“Rabbanaa aatinaa fid-dunyaa hasanah, wa fil aakhirati hasanah, wa qinaa ‘adzaaban-naar.”

“Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Al-Baqarah [2]: 201)

Sebagian orang, kata Ghazali, memahami doa itu sebagai – hampir-hampir – mengajarkan bahwa kita perlu melihat kebaikan kehidupan dunia sebagai sejajar dengan kehidupan akhirat. Bahwa di dunia ini kita juga harus mengejar kebahagiaan, tepatnya, kenikmatan.

Salah, kata Imam Ghazali. Doa itu maknanya agar kita dapat menggunakan kehidupan dunia kita untuk mempersiapkan bekal bagi akhirat kita. Dan, lebih dari itu, bukan saja dunia tidak penting, bahkan harus dihindari.

Persis seperti teladan Imam Ali. Ketika belati Ibnu Muljam menetaknya, apa yang dia serukan? “Demi Tuhan Kabah, aku telah menang!” Ya, dia melihat kematian sebagai kemenangan. Dia telah benar menjadikan kehidupan dunianya sebagai ladang mencari bekal bagi kehidupan akhiratnya.

Bahkan tak ada yang tak dikerjakan sang “Harun bagi Musa”-nya Nabi Muhammad ini kecuali itu. Mengisi penuh hidupnya untuk mengantarnya masuk ke kehidupan akhirat. Beliau hidup amat sederhana, sehingga digelari Abu Turab (Bapaknya Tanah), Imam al-Mustadhafin (Penghulu Orang Tertindas), dan Abu al-Masakin (Bapaknya Orang Lemah/Miskin).

Hidupnya dia dedikasikan untuk mereka. Mulai membantu Nabi saw sampai merisikokan nyawanya, membantu ketiga Khalifah sebelum dia, memimpin negara, hingga berperang. Bahkan beliau dikenal sebagai petani yang bekerja keras di bidang ini. Yang hasilnya dia berikan kepada orang-orang yang membutuhkan. Tapi orang yang sama ini juga pernah  kita dengar menyeru: “Dunia, pergi sana. Tipu orang selainku. Telah kutalak tiga kau!”

Tapi, apakah Imam Ali anti dunia? Apakah dia mencaci dunia.Tidak, dia tak pernah menarik diri dari masyarakat, betapa pun hidupnya penuh haru biru. Dia bekerja keras untuk (perbaikan) kehidupan dunia, sebagaimana sudah disinggung di atas.

Sebaliknya, inilah katanya tentang kehidupan dunia:

“Sesungguhnya dunia ini adalah rumah kebenaran bagi orang-orang yang menelitinya secara cermat dan mendalam, suatu tempat tinggal yang penuh kedamaian dan kerehatan bagi orang-orang yang memahaminya, dan yang terbaik sebagai lahan bagi orang-orang yang ingin mengumpulkan bekal bagi kehidupan akhirat.

“Inilah tempat untuk mencari ilmu dan hikmah bagi orang-orang yang ingin meraihnya, tempat beribadah bagi sahabat-sahabat Allah, dan bagi para malaikat. Inilah tempat yang di dalamnya para nabi menerima wahyu dari Sang Rab.

“Inilah pula tempat bagi para wali Allah untuk menyelenggarakan amal-amal baik dan untuk meraih imbalan yang setimpal; hanya di dunia ini mereka bisa berdagang untuk memperoleh rahmat Allah, dan hanya ketika hidup di sini mereka bisa menukar amal-amal baik mereka dengan surga. Nah, setelah ini semua, masihkah ada yang akan berbicara tentang keburukan dunia ini?”

Jadi, yang ditalak tiga oleh beliau adalah tipuan dunia. Hal-hal dari dunia – sikap berlebihan, tamak, egois, dan lain-lain – yang mendorong nafsu kita untuk berbuat keburukan bukan kehidupan dunia itu sendiri.

Apakah dengan demikian Allah menyuruh kita untuk hidup sengsara di dunia? Tentu tidak. Allah membolehkan kita untuk menikmati dunia. Secukupnya dan tanpa berlebih-lebihan. Baik itu kenikmatan fisik, maupun psikologis.

Tapi semuanya itu hendaknya sebatas menjadikan fisik dan jiwa kita merasakan kenyamanan agar, dengan itu, kita bisa menjalankan fungsi kita sebagai khalifah Allah dengan memberikan kontribusi sebesar-besarnya kepada semua makhluk Allah.

Nabi mengatakan: “Makanlah, minumlah, dan bersedekahlah engkau, tapi jangan berlebihan.” Imam Ali juga sebagaimana pernah dikutip Imam Ghazali mengatakan: “Hati yang kurang rehat akan mati.”  Artinya, puaskan tubuh dan  jiwamu secukupnya, agar kuat dan siap untuk beramal kebaikan (amal shalih).

Allah Swt berfirman: “Carilah pada apa-apa yang dikaruniakan Allah kepadamu, kehidupan/kebahagiaan akhirat. Dan jangan lupa porsimu dari kehidupan dunia.” (QS Al-Qashshash [28]: 77)

Mencari karunia Allah boleh, bahkan harus, menikmati kesenangan dunia boleh, asal tidak berlebihan. Lalu orientasikan semuanya itu untuk mengejar kebahagiaan hidup di akhirat. Ya, manusia diciptakan  bukan untuk kehidupan dunia, manusia diciptakan untuk kehidupan akhirat. Dunia adalah tempat beramal bagi akhirat kita….

Nah, peradaban kita sekarang sudah berjalan terlalu jauh kepada yang serba duniawi. Saya tak akan nyinyir dengan mengatakan bahwa manusia sudah menjadi lebih buruk. Kemungkinan besar ini bukan soal baik buruk, tapi soal kebiasaan.

Maksimum, kalau mau sedikit lebih ideologis, ini soal hegemoni. Hegemoni penguasa politik dan ekonomi dunia untuk memanipulasi segalanya demi kepentingan sempit mereka, dengan mendorong manusia untuk mengumbar nafsu berfoya-foya, lalu berlomba-lomba membeli produk-produk mereka.

Prioritas kita sebagai orang beragama telah kacau. Sarana telah kita jadikan tujuan. Mencari kenikmatan dunia telah kita jadikan tujuan akhir. Bukan kehidupan akhirat.  Maka kita pun amat ketakutan bahwa, jika semua ini sudah berlalu, segalanya tak bisa kembali seperti sedia kala. Akan ada resesi ekonomi berkepanjangan, bahkan akan hilang sebagian sumber kenikmatan kita yang dulu-dulu.

Seolah-olah cara hidup kita yang lama itulah yang normal. Padahal, sebagian mungkin normal, tapi sebagian yang lain – mungkin sebagian cukup besar – sesungguhnya tidak normal. Dan bahwa musibah ini adalah cara Allah untuk menormalkan itu semua.

Nah, kalau kita mau kembali kepada agama, sebetulnya esensi beragama hanya tiga. Beriman kepada Allah, Hari akhir, lalu beramal saleh atau melakukan ihsan. Sampai-sampai, non Muslim pun dijamin keselamatannya di akhirat dengan syarat yang sama: beriman kepada Allah, Hari Akhir, dan beramal baik.

Maka, kalau ternyata nanti, cepat atau lambat musibah ini berlalu, dan peradaban kembali “normal”, hendaknya kita tetap bisa kembali kepada pemahaman sejati tentang kehidupan, sebagaimana diajarkan agama kita.

Meninggalkan peradaban serba duniawi secara berlebih-lebihan, bahkan mementingkan pengejaran kenikmatan dunia seolah itulah tujuan hidup, lalu menomorduakan kepentingan akhirat kita. Jika kita bisa mengoreksi cara hidup kita selama ini sepanjang pemahaman baru ini, maka sesungguhnya kita telah mencapai kehidupan “normal” yang sesungguhnya. Semoga Allah Swt menolong kita semua. []

PH/IslamIndonesia/Foto ilustrasi: United World

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *