Satu Islam Untuk Semua

Friday, 07 June 2019

Kolom Haidar Bagir: Tentang Bacaan di antara Dua Takbir Salat Id


islamindonesia.id – Tentang Bacaan di antara Dua Takbir Salat Id

Tentang Bacaan di antara Dua Takbir Salat Id

Oleh Haidar Bagir

Rasulullah saw bersabda, “Lazimkan membaca subhaanallaah wal-Hamdulillaah wa laa ilaaha illallaah wallaahu Akbar, karena semua itu dapat menghapuskan dosa sebagaimana gugurnya daun dari pohon.” (HR Ibnu Majah)

Abu Hurairah meriwayatkan Rasulullah saw berkata : “Membaca ‘Subhaanallaah wal-Hamdulillaah walaa ilaaha illallah wallaahu Akbar’ lebih aku sukai daripada seisi dunia.” (HR Muslim)

Dari Samurah bin Jundub, dia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, “Ada empat ucapan yang paling disukai oleh Allah: (1) Subhaanallaah, (2) Alhamdulillaah, (3) Laa ilaaha illallaah, dan (4) Allaahu Akbar.” (HR. Muslim)

Dari Abu Hurairah, dia berkata, “Rasulullah saw telah bersabda: ‘Sesungguhnya membaca ‘subhanallaah wal-Hamdulillaah wa laa ilaaha illallaah wallaahu Akbar’ adalah lebih aku cintai daripada segala sesuatu yang terkena sinar matahari.’.” (HR. Muslim).

Setiap shalat id, di antara dua takbir di awal rakaat, kita diajari membaca : Subhaanallaah wal-Hamdulillaah wa laa ilaaha Illallaah wal-laahu Akbar (Maha Suci Allah, segala puji bagi Allah, tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah, dan Allah Maha Besar). Tapi, baru belakangan ini saya merasa mendapatkan kesadaran tentang kedalaman makna wirid-utama ini.

Pertama, ungkapan “subhaanallah” sesungguhnya adalah wahana yang bisa membawa kita kepada kesadaran tentang kemutlakan Allah. Kepada ketertenggelaman dalam Kedalaman Tanpa Dasar-Nya.  Kesirnaan di hadapan Kebesaran Tanpa Batas-Nya. Bahwa Allah adalah Huwa/Laa Huwa: Ada tapi Tiada, Tiada tapi Ada. Dia niscaya Ada, tapi adanya tidak sama, bahkan tak bisa diatribusikan kepada ada-ada (mawjudaat) yang ada. Dengan kata lain, Dia Ada – bahkan satu-satunya yang Ada, tapi Adanya tak terdefinisikan.

Lebih lagi jika ungkapan itu kita lengkapi menjadi “subhaanallah wal-Hamdulillaah wa laa ilaaha illallaah Wallaah Akbar”: Maha Suci Allah (dari semua atribusi yang membatasi kemutlakan-Nya), dan segala puji bagi-Nya (karena tak ada apa pun kecuali bersumber dari-Nya), dan tak ada ilah/bahkan tak ada mawjud-mawjud kecuali wujud-Nya/la mawjuda illallah), dan Dia Yang Maha Besar (sedang yang lain relatif terhadap-Nya sejatinya tiada). Inilah wahana untuk fana, inilah ungkapan tertinggi menuju kesadaran tawhid wujudi.

Di sisi lain, zikir ini mengajarkan kepada kita bahwa sebetulnya kita ini tiada. Bahwa adanya kita ini adalah pinjaman dari Ada-Nya. Kita bahkan tak boleh mengklaim bahwa kita ini ada, kecuali dalam makna itibari (equivokal/isytirak manawi, yakni ada dengan wujud pinjaman).

Mengklaim bahwa kita ada dalam makna sesungguhnya, ini saja sudah suatu kesombongan, suatu pelanggaran terhadap Hak Allah Swt, sebagai satu-satunya Ada. Apalagi menyimpan kesombongan… Apa yang mau kita sombongkan, sedangkan keberadaan saja kita tidak punya?

Apalagi kelebihan-kelebihan yang kita miliki. Semuanya bisa dicabut-Nya, kapan saja, sekehendak-Nya. Ya, semua keberadaan kita, semua kelebihan yang kita punya…. bahkan hati kita sebagai sumber kehidupan kita, ada di antara dua Jari-Nya.

“Hati manusia itu berada di antara dua jari Allah”.  Ingat, manusia ini sama nyamuk saja bisa kalah. Apalagi kalau Pencipta kita mengurangi atau menambah hormon dan enzym-enzym yang diproduksi tubuh kita. Manusia bisa gila, depresi, atau skizoprenik, tanpa dia sendiri bisa membetulkannya.

Untungnya ada versi hadis yang menyebutkan bahwa hati kita berada diantara dua jari/genggaman ar-Rahman (Tuhan Yang Maha Penyayang). Jadi kita bisa merasa tenteram bahwa yang Maha Kuasa akan – pada puncaknya – memilihkan yang terbaik dalam kehidupan kita…

Kalau sudah begini, cuma orang tidak waras yang masih mau sombong. Baik sombong karena ras, status, kekayaan, maupun kepintaran. Apa pun yang dia punya adalah pemberian – bahkan hanya pinjaman – dari Dia yang mengendalikan kita. Sewaktu-waktu, sekali lagi, bisa diambil dari kita tanpa kita bisa berbuat apa pun.

Maka, kalau pintar, kaya, atau berkuasa, orang bijak akan menggunakan semuanya itu untuk menolong orang, menolong sesama makhluk Tuhan, sambil tetap tak pernah lupa untuk rendah hati. Lagi pula, orang (lebih) pintar dari kita itu banyak. Jangan minteri (bahasa Jawa, artinya menggunakan kepintaran agar mendapat keuntungan dari orang lain-red), saling belajar saja. Mudah-mudahan dengan itu kita bisa hidup bahagia.

Ya, manusia ini faqir: bukan cuma tak berdaya, tapi tak tahu apa-apa.  Bagi manusia, semulia apa pun posisinya di bumi, semua kehidupan ini cuma bayangan, di balik bayangan, di balik bayangan, di balik bayangan, sampai mungkin ada ribuan lapis bayangan. Yang kita persepsi ini hanya kerlip dari sumber cahaya yang jauh, setelah dipantulkan mungkin ribuan kali.

Kata Nabi, “al-faqru fachriy”. Sebuah permainan kata yang cerdas, “kefakiran adalah kebanggaanku”. Karena hanya orang waras/intelijen yang sadar kefakiran dirinya, di hadapan Kemahakuasaan Allah.

Yang dahsyat itu adalah, Nabi yang – dalam miraj telah mencapai martabat “kebersatuan” dengan Allah, martabat qaaba qawsayn (dua busur panah) – masih menyatakan “kefakiran adalah kebanggaanku”. Ini membenarkan kesadaran kita bahwa kehidupan kita – yang nowhere near the Prophet saw (masih jauh sekali tingkatannya dengan Rasulullah -red) – sesungguhnya, jangankan “kerlip” sinar yang sudah dipantulkan beribu kali itu, bahkan kerlip sinar yang dipantulkan tak terbatas kali. We’re (almost) nothing!!! (Kita ini hampir-hampir bukan apa-apa-red).

Hal ini akan menjadi jelas kalau kita ilustrasikan melalui kisah pertemuan Rumi dengan Syams Tabrizi yang amat terkenal itu:

Suatu kali, Rumi yang memiliki jabatan yang dimuliakan di Konya, sedang menaiki kudanya dengan gagah di jalanan kota Konya. Tiba-tiba dia melihat seorang bertubuh kecil berpenampilan sufi qalandari – dengan baju dan rambut acak-acakan – menghentikan perjalanannya. Di luar dugaan Rumi, sang qalandar mendadak sontak bertanya: “Siapa yang lebih mulia, Nabi Muhammad atau Bayazid Busthami?” Rumi yang shocked menanggapi: “Pertanyaan apa ini?” Jawab si qalandar: “Nabi mengatakan tentang Tuhan: ‘Kami tak bisa memuji-Mu sebagaimana Kau seharusnya dipuji,’ sementara Bayazid berkata: ‘Maha Suci Aku. Betapa Agung keadaanku.’ Rumi kebingungan, lalu si qalandar melanjutkan: “Tentu Nabi yang lebih mulia. Nabi yang sudah begitu tinggi pengetahuannya tentang Tuhan, masih menyadari bahwa Tuhan jauh lebih luhur dari itu. Sedang Bayazid, dengan pengetahuan ketuhanan yang masih jauh lebih rendah dari Nabi, sudah merasa mencapai tingkat kebersatuan dengan-Nya.”

Ya, jangan bicara tentang Nabi saw, bahkan terhadap Bayazid kita tak bisa diperbandingkan. Maka, masih adakah jalan lain bagi manusia tak berdaya ini kecuali bersujud di hadapan-Nya?

“Tak masuk surga orang yang dalam hatinya ada sebesar zarah kesombongan.” Demikian Nabi saw wasiatkan. Karena kesombongan tak kurang dari kekafiran terhadap kemutlakan-Nya, kemusyrikan terhadap keesaan-Nya.

Di samping itu, fakir terhadap Allah yang Maha Rahman itu pun enak. Kita akan justru merasa bahwa hidup kita justru akan terjamin. Apa pun yang menimpa kita, maka kita boleh yakin bahwa itulah yang terbaik untuk kita.

PH/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *