Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 27 November 2021

Kolom Haidar Bagir – Spiritualitas dan Orientasi Cinta: Satu-Satunya Masa Depan Agama


islamindonesia.id – Kolom Haidar Bagir – Spiritualitas dan Orientasi Cinta: Satu-Satunya Masa Depan Agama

Spiritualitas dan Orientasi Cinta: Satu-Satunya Masa Depan Agama

Oleh Haidar Bagir | Presiden Direktur Kelompok Mizan, penulis buku-buku tentang Tasawuf, dan Dai Islam Cinta

Ada banyak aspek agama: spiritualitas, filsafat dan rasionalitas, sistem kemasyarakatan, maupun ritual. Tulisan ini tak hendak melihat agama secara sekularistik, jika itu dimaksudkan sebagai membatasi peran agama, apalagi menyudutkannya ke ruang-ruang privat yang sempit.

Biar saya tegaskan sejak awal posisi saya: agama saya yakini bermukim dalam tenunan kemanusiaan, baik secara personal maupun kolektif. Seperti telah terbukti sejak zaman primitif, hingga sekarang – tanda-tanda menunjukkan: tampaknya sampai kapan saja, manusia tak  terpisahkan dari agama, dalam berbagai aspek kehidupannya. Ya meski, tak henti dihajar kanan-kiri.

Yang ingin saya sampaikan adalah bahwa zaman telah membawa agama kepada suatu situasi bahwa peran yang diandaikan [sic]* disandangnya selama ini telah, seyogyanya, digantikan oleh banyak karya lain manusia. Ada sains, ada sistem hukum sekular, demikian juga politik dan ekonomi modern.

Apakah kita hendak menyatakan bahwa agama harus mengaku kalah? Tidak sama sekali, setidaknya dari posisi saya. Ini bukan kalah menang. Tapi realitas yang memang harus dan seyogyanya diterima. Yakni, bahwa agama selama ini diberi beban dan peran yang, bukannya terlalu berat untuknya, tapi memang bukan bagiannya.

Apa sesungguhnya peran agama? Wadah jejaring spiritualitas, bukan hanya dengan sesuatu yang ilahi (transenden), melainkan juga dengan semua unsur alam semesta. Yang, dengan demikian, menghangatkan dan mendamaikan jiwanya yang, jika tidak, akan kesepian.

Saya selalu  tertarik oleh pernyataan William James, yang diutarakannya sejak awal abad 20, bahwa, meski peradaban menyeret manusia ke arah lain (materialisme-HB), manusia selalu akan kesepian jika tidak berteman dengan The Great Socious alias Sang Kawan Agung. Yakni, Tuhan.

Ya, zaman telah membawa manusia ke puncak kesuksesannya, ke puncak kemakmuran, yang penuh dengan kegemilangan dan kegegapgempitaan. Tapi, ternyata ruang hampa di hati makhluk yang tampak hebat dan digdaya ini tak kunjung juga tersumpal. Bahkan justru kegegapgempitaan itu menegaskan kekosongan yang dirasakannya.

Betapa pencarian akan kebesaran, kesuksesan, kemakmuran, dan kepopuleran itu sesungguhnya hanya menggarisbawahi kesepian manusia yang hendak ditutup-tutupinya. Dan justru ketika semua itu berhasil diraihnya, kekosongan itu makin terasa.

Tampaknya manusia memang harus mengakui bahwa dirinya adalah makhluk spiritual. Bisa jadi spiritualitas tanpa tuhan bisa membantu, atau semacam mistisisme natural (natural mysticism). Tapi mana bisa kesepian dipuasi hanya melaui persahabatan dengan sesuatu yang sepenuhnya impersonal. Meski itu kebaikan alami dan kesatuan universal dengannya.

Maka agama mempunyai ruang untuk hadir karena gagasannya tentang suatu spiritualitas yang menghubungkannya dengan divinitas yang sekaligus transenden dan personal. Dengan sebuah gagasan tentang… Tuhan!

Ini sekaligus mengajarkan kepada kita bahwa agama yang menyodorkan hanya sebuah transendensi yang impersonal berpeluang gagal karena justru kebutuhan asasi dan perenial manusia akan spiritualitas tak akan pernah terpuasi dengan itu.

Manusia betapa pun terlalu rentan untuk puas dengan spiritualitas yang hampa dari sebuah pribadi yang, bukan hanya welas asih, melainkan juga kuasa menolongnya dalam segenap ketakberdayaan yang tak pernah dia benar-benar bebas darinya, dalam pancaroba kehidupannya.

Di sinilah letak masa depan agama: menawarkan, sekali lagi, gagasan tentang Tuhan yang transenden dan personal sekaligus yang imanen dan impersonal. Dalam hal seperti ini, saya tak yakin ada yang bisa menggantikan spiritualitas ketuhanan. Tak spiritualitas ateistik – betapa pun ia membantu – apalagi sekadar filsafat/ideologi materialistik.

Termasuk dalam spiritualitas ini adalah rasa kesatuan dengan alam semesta selebihnya, dan persaudaraan dan hubungan kebaikan timbal-balik dengannya. Hubungan ini menimbulkan kenyamanan dan juga membantu mengusir satu jenis lain kesepian manusia.

Masalah kesepian manusia akibat keterpisahan dan hubungan eksploitatifnya dengan alam ini sering tak disadari sebagai salah satu penyebab utama kesepian dan kegelisahan manusia. Dengan sikap seperti ini dalam berhubungan dengan anggota alam semesta – manusia, hewan, tumbuhan, air, gegunungan, langit/udara, dan sebagainya – manusia pun otomatis akan melahirkan amal-amal baik kepada semuanya; alih-alih merusak, yang pada akhirnya hanya akan berakibat suicidal (kecenderungan untuk membunuh diri-red) bagi manusia itu sendiri.

Di atas semuanya, ini akan menjadi suatu bentuk dakwah – bi lisaanil haal (dengan modus konkret) – yang akan lebih appealing (menarik-red) kepada manusia modern. Khususnya kepada anak-anak muda.

Usaha menghadap-hadapkan Islam dengan sains, hanya akan menimbulkan skeptisisme manusia-manusia intelijen. Apalagi di masa peluberan informasi yang tidak simetris seperti sekarang, yang di dalamnya pemahaman agama yang progresif, serius, dan rasional tak cukup terwakili dalam pasar bebas gagasan dan wacana.

Melibatkan agama dalam politik atau hukum justru akan membuka kotak pandora eksklusivisme, bahkan kekerasan, agama secara tak proporsional.

Juga dalam ekonomi – yang begitu complicated (rumit-red) dalam relasinya dengan risiko kebanalan pragmatisme telanjang tabiat-tabiat primitif manusia.

Maka wajah agama, dalam kubangan soal-soal yang sejatinya profan ini, justru akan tidak menarik, entah karena bisa tercitrakan sebagai sumber keterbelakangan dan obskurantisme saintifik, serta kekerasan – yang bertentangan dengan kelembutan yang seharusnya menjadi tawarannya yang paling menarik – dan peluang banalitas yang bisa mengotori keluhurannya.

Kalau pun berkehendak berkontribusi kepada wacana-wacana dan praktik-praktik profan tersebut, sebaiknya agama membatasi diri pada tawaran fundamen filosofis dan etis, yang memang merupakan elemen inheren di dalamnya.

Di sinilah, sekali lagi, aspek mistis agama – termasuk segala ritualnya, yang memang sudah seharusnya diarahkan pada pengembangan spiritualitas dan moralitas/akhlak – merupakan kandidat terbaik untuk ditampilkan, berkat sifatnya yang bukan saja menekankan pada kebersihan hati sebagai sumber moral, melainkan juga sifat pemikirannya yang mendalam dan intelektual. Di masa depan, agama, menurut saya tak punya masa depan yang cerah di luar ini. Tabik. []

*Ungkapan dari bahasa latin, selengkapnya adalah sic erat scriptum, yang artinya “begitulah yang tertulis”. Atau dalam pemakaian keseharian bisa diartikan menjadi “jadi” atau “begitulah”-red.

PH/IslamIndonesia/Foto utama: Mizan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *