Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 09 June 2022

Kolom Haidar Bagir: Semua Hukuman Allah itu Bersumber dari Ihsan-Nya. Semua Hukum Fikih itu (Harusnya juga): Ihsan! (2-Habis)


islamindonesia.id – Kolom Haidar Bagir: Semua Hukuman Allah itu Bersumber dari Ihsan-Nya. Semua Hukum Fikih itu (Harusnya juga): Ihsan! (2-Habis)

Sambungan dari bagian 1…..

Semua Hukuman Allah itu Bersumber dari Ihsan-Nya. Semua Hukum Fikih itu (Harusnya juga): Ihsan! (2)

Oleh Haidar Bagir | Presiden Direktur Kelompok Mizan, penulis buku-buku tentang Tasawuf, dan Dai Islam Cinta

Sekarang soal menghukum atau menimpakan hukuman. Dalam Alquran maupun hadis—dan inilah yang mendasari praktik adopsi dalam khutbah Jumat selama berabad-abad sejarah Islam—Allah menggabungkan keadilan (dalam menerapkan hukum/hukuman) dengan ihsan (perbuatan yang paling baik atau sempurna/paling indah dalam satu nafas.

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat ihsan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS an-Nahl [16]: 90)

Untuk menunjukkan bahwa pengungkapan ini terkait dengan cara Islam dalam menjatuhkan hukuman—khususnya, hukuman fisik—maka Nabi Saw. secara spesifik mengaitkan keharusan ber-ihsan bahkan jika seseorang harus membunuh—tentu dalam sebuah tindakan yang legitimate (secara legal).

“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan berbuat Ihsan atas segala sesuatu, maka apabila kamu membunuh hendaklah membunuh dengan cara yang baik, dan jika kamu menyembelih maka sembelihlah dengan cara yang baik dan hendaklah menajamkan pisaunya dan menyenangkan hewan sembelihannya.” (HR. Muslim).

Di sisi lain, absennya ihsan oleh Allah diidentikkan dengan berbuat kerusakan (fasad) di muka bumi:

“…. Dan berbuat ihsan-lah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat ihsan kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS al-Qasas [28]: 77)

Begitu besarnya dosa berbuat fasad—dan ini memang ditegaskan juga oleh para ahli tafsir—sehingga Allah sendiri menyejajarkannya dengan dengan pembangkangan dan perlawanan/memerangi Allah dan Rasul-Nya:

“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh (dihukum mati) atau dengan disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.” (QS al-Ma’idah [5]: 33)*

Nah, setelah semua itu, rasanya tak perlu sampai menimbulkan silang pendapat, jika kita katakan bahwa tindakan ihsan terkait dengan kelembutan dan kebaikan hati. Dalam dua hadis yang diriwayatkan Imam Muslim, Nabi Saw. menyatakan:

“Siapa yang tidak memiliki kelembutan, maka tidak akan mendapatkan kebaikan.”

“Sungguh, keberadaan kelembutan dalam sesuatu akan menjadikannya indah. Sebaliknya, ketiadaan kelembutan dalam sesuatu akan nampak jelek.”

Sebelum ini saya sengaja menggunakan istilah “rasa” (dzawq), untuk menunjukkan bahwa hukum/pemberian hukuman tak boleh semata-mata dilihat sebagai persoalan legal-formal yang kering dari pertimbangan yang melibatkan perasaan atau kelembutan hati. Bahkan juga rasa keindahan, sebagai lawan kejelekan sebagaimana disebutkan dalam hadis yang saya sebut terakhir.

Bahkan jika suatu hukuman tampak sadis dan brutal, “hanya” dari kacamata dzawq, maka bisa diperkirakan bahwa hukuman seperti itu tak seharusnya diberlakukan.

Apa konsekuensinya, jika ternyata bentuk suatu hukuman sudah dipastikan dalam Alquran atau, utamanya, dalam hadis, secara terinci?

Pertama, tentu bisa saja ada alternatif cara penafsiran yang lebih sesuai dengan gagasan tentang ihsan dan kelembutan sebagaimana ditekankan oleh ajaran Islam sendiri. Bisa saja tafsir metaforik/hermeneutik, atau kemungkinan modifikasinya berdasar ‘illah (alasan legal lain) tertentu. (Belum lagi, jika itu diambil dari hadis, masih terbuka kemungkinan bahwa hadisnya tidak valid).

Kemungkinan lain, yang lebih segera masuk akal adalah, bahwa perubahan zaman membawa bersamanya standar dzawq dan kepantasan yang berbeda. Bahkan di zaman Nabi pun ada penahapan keberlakuan suatu hukum, atau juga modifikasi. Kadang perubahan itu dikembangkan berdasar wahyu—lewat nasih-mansukh, dan lainnya—maupun di zaman Khilafah Rasyidah.

Ambil contoh terkait apa yang biasa disebut sebagai Ijtihad Umar (bin Khath-thab). Pada kenyataannya, bukankah dalam ushul fiqh pun dikenal prinsip taghayurul ahkam bi taghayyuril azminah wal amkinah (perubahan hukum oleh perubahan zaman dan tempat)?

Rasanya tak terlalu susah dipahami bahwa kepantasan—yang terkait dengan rasa dan dinamika kebudayaan—pada kenyataannya selalu berubah.

Dalam suatu zaman yang di dalamnya cara pembunuhan (yang sekarang dianggap sadis dan brutal) masih lazim—seperti kebiasaan di Arab masa itu, bukan hukum Islam, yang di dalamnya orang dibunuh dengan tubuh disobek menjadi dua akibat diikat dua kuda yang berjalan bertentangan arah—mungkin sesuatu yang sekarang dirasa melawan gagasan tentang ihsan dan kelembutan akan terasa wajar.

Misal, seperti apa yang diyakini sebagai hukuman atas penyimpangan perilaku seksual sesama jenis, dalam bentuk dijatuhkan dari gedung tertinggi dengan kaki di atas dan kepala di bawah dikombinasikan dengan rajam (sekali lagi karena ini berdasar periwayatan hadis, kemungkinan bahwa hadisnya tidak valid secara sanad pun masih terbuka).

Tapi tidak di zaman ini. Hukuman seperti itu bisa terasa bertentangan dengan dzawq (kepantasan), dan seterusnya. Karenanya, tentu perubahan atau modifikasi menjadi bukan saja boleh, tapi bisa jadi harus dilakukan….

WalLaah a’lam bish-shawab. []

*Umumnya para ahli tafsir memahami ungkapan “memerangi Allah dan Rasulnya” sebagai perampokan/pembegalan, yang melibatkan pembunuhan, atau meneror, termasuk melukai orang, secara terbuka/terang-terangan, dengan  jumawa dan angkara murka.

Sedang bentuk hukuman disalib, yang bukan tidak lazim pada masa itu, maksudnya dihukum mati setelah diekspose/dipertontonkan kepada masyarakat. Sementara dipotong tangan dan kaki secara bersilangan bertujuan agar si terhukum tetap bisa berjalan (dengan bantuan tongkat/kruk). Karena, kalau tidak bersilangan, maka si terhukum tak akan bisa berjalan sama sekali. Pemotongan tangan/kaki juga terbatas pada pergelangan. Bahkan ada mazhab fiqih yang membatasi pada pemotongan dua jari saja.

PH/IslamIndonesia/Foto utama: Mizan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *