Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 11 April 2020

Kolom Haidar Bagir: Sehat Yes, Panik No! Sebuah Perspektif Spiritual


islamindonesia.id – Kolom Haidar Bagir: Sehat Yes, Panik No! Sebuah Perspektif Spiritual

Sehat Yes, Panik No! Sebuah Perspektif Spiritual

Oleh Haidar Bagir| Presiden Direktur Kelompok Mizan, penulis buku-buku tentang Tasawuf, dan Dai Islam Cinta

Sudah merupakan suatu gejala yang umum khususnya di perkotaan besar, apalagi di kalangan kelas menengah ke atas, adanya lifestyle untuk menjaga kesehatan. Hal itu termasuk pergi nge-gym, melakukan berbagai macam teknik diet, atau sebagian malah menjadi vegetarian. Macam-macam telah dilakukan, khususnya oleh generasi muda kelas menengah ke atas di perkotaan.

Gym-gym semakin banyak, semakin laku, kemudian dokter-dokter gizi yang memberikan nasehat-nasehat tentang diet yang bagus, yang paling sehat, juga makin lama makin laris. Belum lagi saya kira pola hidup memakan makanan organik atau makanan semi organik, makanan non gluten (sejenis protein tidak beraturan yang biasanya terdapat dalam tepung terigu dan jenis gandum tertentu-red), dan lain sebagainya.

Tentu itu semua adalah satu kecenderungan yang sangat bagus, yang patut disebarluaskan dan ditiru bagi yang belum melakukannya, karena memang dipandang dari segi apapun kita wajib menjaga kesehatan tubuh kita. Tentu dengan tubuh yang sehat pikiran juga menjadi sehat, kehidupan juga menjadi nyaman dan kita bisa menjadi lebih produktif.

Juga jika dilihat dari sudut pandang agama misalnya, tentu saja menjaga kesehatan tubuh atau badan adalah suatu akhlak yang mulia. Khususnya apabila kita ingat bahwa tubuh yang dikaruniakan kepada kita secara sempurna itu adalah karunia Allah SWT yang harus disyukuri, yaitu dengan akhlak yang baik kepada tubuh kita dengan cara memelihara kesehatannya.

Rasulullah SAW pernah menasehatkan agar kita menjaga kesehatan. Dikatakan dalam sebuah hadis, Rasulullah mengajarkan agar kita meminta afwu (ampunan) dan afiyah (keselamatan) dari Allah SWT.

Abdullah bin Umar RA meriwayatkan:

اللهم إني أسألك العافية في الدنيا والآخرة اللهم إني أسألك العفو والعافية في ديني ودنياي وأهلي ومالي

“Ya Allah aku memohon kepada-Mu keselamatan baik di dunia dan akhirat, ya Allah aku memohon kepada-Mu ampunan, juga keselamatan dalam agamaku, duniaku, keluargaku dan hartaku.”

Dua kata ini (afwu dan afiyah) berasal dari akar kata yang sama, yaitu kebebasan atau pembebasan. Afwu adalah pembebasan dari ganjaran keburukan yang diterima oleh orang yang berbuat salah yang oleh Allah dihapuskan dan dibebaskan. Sementara afiyah itu artinya pembebasan dari bala dan penyakit.

Bahkan Rasulullah mengatakan,  “Tidak ada yang diberikan kepada seseorang setelah iman (keyakinan), kecuali afiyah (keselamatan dari bala dan penyakit). (HR Tirmidzi). Jadi dipandang dari segi apapun sesungguhnya menjaga kesehatan adalah sesuatu yang baik.

Kecenderungan yang tadi saya sebutkan di atas, yang berlangsung di antara khususnya generasi muda di kalangan kelas menengah ke atas di perkotaan juga sangat baik, perlu kita dukung. Pemerintah juga perlu memastikan kesehatan keluarga dengan berbagai macam cara.

Tapi juga ada satu ekses, yaitu akibat yang negatif dari kecenderungan ini. Jadi, bukannya orang-orang kemudian menjadikan kesehatan itu sebagai sarana untuk meraih kenyamanan dan kebahagiaan hidup, dan produktivitas dan kreativitas, sebagian orang malah menjadi obsessed (terobsesi) dengan kesehatan itu sendiri.

Seolah-olah kesehatan itu adalah tujuan bukan sarana. Sikap obsessed ini kemudian menyebabkan dorongan untuk menjaga kesehatan itu adalah bukannya untuk mencari kebahagiaan, kenyamanan, produktivitas, atau kreativitas, tapi adalah rasa takut: takut sakit, takut mati muda, dan lain sebagainya.

Kalau ini yang terjadi, dan saya sudah melihat kecenderungan adanya ekses ini di berbagai pergaulan – orang-orang yang datang ke dokter dengan kekhawatiran yang luar biasa terkena sakit jantung, tekanan darah tinggi, gagal ginjal, dan lain sebagainya – mereka kemudian bukannya menikmati kenyamanan, produktivitas, dan kreativitas akibat kesehatan tubuhnya, tapi justru mengalami ketegangan dan ketakutan kalau-kalau mereka sampai tidak sehat.

Satu, ini adalah kekacauan antara perspektif dan tujuan. Tujuannya harusnya adalah hidup bahagia, nyaman, produktif, dan kreatif dengan sarananya adalah kesehatan. Sekarang terbalik, sarananya dijadikan tujuan, dan dorongan mencapainya adalah ketakutan.

Akibatnya adalah, pertama, tujuannya tidak tercapai, yaitu kita menjadi tidak bahagia, tidak produktif, tidak kreatif, dan tidak nyaman. Kedua, ketakutan yang menyebabkan lahirnya obsesi kepada kesehatan itu justru bisa menimbulkan penyakit-penyakit yang kontra produktif terhadap semua upaya mereka untuk menjaga kesehatannya. Itulah hal pertama yang harus kita ingat.

Kedua, kita harus memahami bahwa semua resep-resep dan nasehat yang diajarkan oleh para ahli sudah pasti harus kita dengar, karena penting untuk mendengarkan pendapat para ahli. Tapi kita juga harus ingat bahwa ilmu kedokteran pun sebetulnya juga punya batasannya sendiri. Terbukti, misalnya ada satu teori tentang persoalan kesehatan yang memakai pendapat A, belakangan kemudian diubah menjadi pendapat B, dan pendapat A lalu ditinggalkan.

Tentu itu sesuatu yang normal dalam perkembangan ilmu pengetahuan, tapi yang ingin saya katakan bahwa kita perlu meninggalkan sikap obsessed terhadap kesehatan yang seperti itu. Allah SWT sudah mengaruniakan kepada kita atau menjadikan kita ini manusia ciptaan yang sempurna. Allah berfirman:

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS At-Tin [95]: 4)

Bahkan saya percaya kesempurnaan itu baik termasuk aspek kerohaniannya maupun aspek tubuhnya. Artinya adalah sifat asli tubuh kita itu adalah sehat dan sempurna.

Jadi kita tidak perlu ngoyo, tidak perlu obsessed, tidak perlu berlebihan di dalam menjaga tubuh kita. Kita ikuti saja keseimbangan tubuh yang Allah sudah karuniakan kepada kita. Rasulullah mengatakan makan dan minum lah seperti sewajarnya orang-orang makan dan minum. Yang tidak boleh itu adalah berlebih-lebihan.

Dalam Islam kita diajari juga, khususnya dalam Tasawuf, tidak terlalu banyak mengkonsumsi daging merah. Hendaknya juga kita diajarkan oleh para pendahulu kita supaya menjadikan diet kita itu seimbang. Daging secukupnya, daging merah sedikit, daging putih seperti ikan-ikanan diperbanyak, lalu juga selalu ada sayur mayur dan buah-buahan.

Sebetulnya kalau kita mengikuti saja cara-cara yang normal, yang seimbang, yang proporsional ini, dan juga hidup kita pasrah, karena seringkali penyakit itu datangnya bukan dari diet, bukan dari kurang olahraga – meskipun olahraga itu harus – tapi justru dari persoalan-persoalan kejiwaan yang disebut psikosomatis.

Misalnya, selain karena kelainan organik atau bawaan lahir, penyakit jantung bisa juga datang dari persoalan kejiwaan. Stroke juga bisa karena stres, kemudian maag atau gastritis juga bisa dari persoalan kejiwaan. Jadi jangan justru karena tegang dan ketakutan, akhirnya di satu sisi seperti berusaha memelihara kesehatan, di sisi lain justru ini malah menimbulkan penyakit-penyakit yang lebih berat.

Jadi kita perlu keseimbangan, seperlunya saja, tidak usah obsessed. Kita yakin bahwa tubuh kita memang sudah diciptakan sebelumnya dengan seimbang. Yang penting jangan zalim kepada diri kita, kepada badan kita, berakhlak lah yang baik kepada diri kita, lakukan segalanya secara normal tidak berlebihan, saya yakin insya Allah kita akan mendapatkan kesehatan yang kita dambakan.

Kita harus ingat bahwa ada Allah SWT, yang bukan hanya Maha Kuasa tapi juga Maha Bijaksana. Allah pada akhirnya akan menentukan kita itu sehat atau sakit, kita itu mati muda atau panjang umur. Sehingga, lagi-lagi, sikap obsesif itu tidak benar.

Bukan hanya keliru dalam hal kita ingin memelihara kesehatan, tetapi dari sudut pandang agama itu adalah satu sikap yang melanggar prinsip paling dasar dari ajaran agama kita, yaitu Islam. Islam itu artinya pasrah, pasrah kepada Allah SWT. Iman itu artinya yakin bahwa Allah itu Maha Kuasa dan Maha Bijaksana.

Berusaha itu adalah kewajiban kita, berakhlak mulia kepada tubuh kita, mengikuti anjuran Rasulullah SAW. Selebihnya soal kita sehat atau sakit tetap kita pasrahkan kepada Allah SWT. Karena hukum alam itu adalah satu hal, tetapi di atasnya terdapat takdir, qada dari Allah SWT.

Dalam kasus adanya wabah Virus Corona ini sudah pasti berjaga-jaga akan menjadi lebih baik. Kita perlu berjaga-jaga dan kita perlu menerapkan berbagai aturan agar wabah ini tidak semakin menyebar luas, tetapi pada saat yang sama kita tidak perlu panik karena yang membuat wabah itu adalah Allah SWT.

Kalau Allah mau menyelamatkan kita, maka kita akan selamat. Sementara kalau memang wabah ini menjadi wasilah agar kita harus lebih cepat menghadap Allah, kita pasrahkan saja, karena Allah Maha Kuasa dan Maha Bijaksana. Lebih baik Allah yang mengambilkan keputusan untuk kita ketimbang kita sendiri merasa lebih tahu apa yang lebih baik bagi diri kita.

Jadi saya kira itu yang ingin saya sampaikan, mari kita berdoa semoga Allah SWT selalu memberi afiyah kepada kita, keselamatan dari penyakit dan bala. Semoga Allah SWT menyelamatkan keluarga kita, tetangga kita, siapa pun di belahan bumi manapun juga, tapi pada saat yang sama kita harus ingat bahwa di atas semuanya ada Allah SWT.

Setelah kita bertawakal, kita pasrahkan semua kepada Allah dan kita ridha dengan apa pun yang datang dari Allah SWT. Kalaupun ada di antara kita – mudah-mudahan Allah menjauhkannya di antara keluarga dan orang-orang dekat kita—yang akhirnya terkena Virus Corona itu adalah kehendak Allah SWT.

Janganlah panik, jangan tegang, dan jangan tidak menerima kenyataan, karena jangan-jangan itu bisa bermakna bahwa kita belum bisa mencapai maqam kesabaran, apalagi maqam ke-ridha-an dalam menerima apa pun juga yang datangnya dari Allah SWT. Demikian sekadar komentar pendek, sharing, untuk diri saya, dan mudah-mudahan juga bermanfaat bagi yang menyimak.

*Catatan redaksi: Artikel ini adalah hasil adaptasi dari ceramah Haidar Bagir di saluran YouTube Nuralwala yang berjudul Sehat Yes, Panik No! Perspektif Spiritual — Haidar Bagir (3/3).

PH/IslamIndonesia/Foto ilustrasi: Joshua Hook

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *