Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 07 May 2020

Kolom Haidar Bagir – Mempraktikkan Agama itu Mudah, Menjadi Ahli Ilmu Agama itu Njlimet


islamindonesia.id – Mempraktikkan Agama itu Mudah, Menjadi Ahli Ilmu Agama itu Njlimet

Mempraktikkan Agama itu Mudah, Menjadi Ahli Ilmu Agama itu Njlimet

Oleh Haidar Bagir | Presiden Direktur Kelompok Mizan, penulis buku-buku tentang Tasawuf, dan Dai Islam Cinta

Apakah ilmu itu? Ilmu bukan cuma soal penguasaan banyak informasi, termasuk hafalan-hafalan. Ilmu adalah hasil dari analisis dan penyimpulan atas informasi. Dia memiliki metodologinya sendiri yang ketat.

Dalam ilmu filsafat sejak masa Aristoteles dari Yunani, ilmu dalam sifat-sifatnya yang seperti ini disebut episteme. Karena sifatnya yang secara metodologis ketat (stringent) ini, ia biasa juga  disebut sebagai disiplin ilmu. Selain metodologinya yang ketat, bahan-bahan atau informasi yang digunakan sedapat mungkin seluas samudera.

Maka, kalau ada orang berpikir bahwa siapa saja – tanpa proses belajar yang benar, sistematis, dan makan waktu lama – bisa menjadi ahli ilmu, maka dia sesungguhnya tak tahu apa yang dimaksud dengan disiplin ilmu. Sayangnya, inilah problem sebagian kita, kaum Muslim.

Sudah sejak puluhan tahun lalu, Syed Naquib menyebut fenomena ini sebagai kurangnya adab, kurangnya penghargaan kepada otoritas (keilmuan). Kita, kaum Muslim, terbiasa menghargai ahli sains, ahli kedokteran, ahli ekonomi, arsitek, antropolog, sejarawan, dan lain-lain.

Tapi ketika sampai pada ilmu agama, semua orang merasa bisa menjadi ahli, padahal tidak pernah belajar ilmu agama dengan benar.

Maka terjadilah inflasi ustadz, yang melahirkan sebagian di antara mereka yang ilmunya dangkal. Si ustadz tak paham apa yang dimaksud dengan ilmu, lalu merasa dirinya ilmuwan ahli agama. Apalagi pengikutnya. Jadilah ketidaktahuan ketemu ketidaktahuan.

Padahal jelas Allah katakan: “Jangan hendaknya semua orang berangkat berjihad, hendaklah tinggal sejumlah orang yang (dibebaskan dari kewajiban berjihad) liyatafaqqahuu fid-diin (untuk mendalami ilmu agama).” (QS. At-Taubah [9]: 122)

Dalam Alquran, Allah Swt menggunakan beberapa istilah sekaligus untuk menunjukkan para ahli ilmu ini: ulul albab (pemilik daya lubb yang penuh kedalaman), ulun-nuha (intelektual), ulul abshar (pemilik kewaskitaan), dan ahl al-dzikr (ahli yang menguasai ilmu).

Nabi pun mendoakan Ibnu Abbas: “Allahumma faqqihuu fid-diin…. (Yaa Allah, perdalamlah ilmu agama orang ini).”

Dan, karena dalamnya ilmu agama Ibnu Abbas, si ahli tafsir di kalangan sahabat, ini, dia pernah berdiri di atas bukit dan berkata: “Kalau aku beritahu kalian tafsir ayat ini, niscaya kalian akan membunuhku.”

Nabi juga pernah bersabda: “Kalau Abu Dzar tahu (canggihnya) apa yang dipikirkan/diyakini Salman (salah seorang intelektual di kalangan sahabat Nabi), niscaya dia (Abu Dzar yang terkenal polos) akan membunuhnya.”

Ilmu itu dalam  dan luas. Makin dalam dan makin luas, ia pun menjadi makin kompleks. Perlu banyak persyaratan agar orang bisa menjadi ahli di dalamnya. Ilmu apa saja, termasuk ilmu agama. Ini yang sebagian kita kaum Muslim sering tak paham.

Harus dibedakan antara beragama atau menjalankan praktik agama dan menjadi ilmuwan/ahli agama. Beragama/mempraktikkan agama memang tidak perlu njlimet. Kalau kita bukan ahli, ikuti saja ahlinya.

Menjalankan fikih itu mudah. Yang sulit, dan perlu pemikiran serta keahlian itu adalah penyimpulan hukum-hukum fikih. Ini harus melibatkan banyak ilmu. Dari mulai ilmu bahasa Arab, ushul fiqh, mungkin juga sejarah sebagai konteks, pengetahuan tentang maqaashid syari’ah dan, sampai batas tertentu, kemampuan menafsir, bahkan juga teologi atau kalaam.

Sebagaimana juga menjadi warga negara yang taat hukum itu mudah, di balik sistem hukum itu terdapat ahli-ahli hukum yang merancang sistem hukum itu dengan berbagai pendekatan ilmu, khususnya ilmu hukum, sosiologi, antropologi, dan lain-lain.

Agama juga mengenal ilmu ma’rifat. Kata sebagian ulama, ma’rifat malah adalah ilmu yang paling penting. Bahkan nilai keutamaan salat baru menyusul setelah penguasaan ma’rifat ini. Kenapa? Karena tanpa mengenal Tuhan, salat kita tak akan mencapai tujuannya.

Bukankah dalam  hadis shahih juga dikatakan: “Awwaluddiin al-ma’rifah (Awal agama adalah ma’rifah).”? Karena memang pada akhirnya tujuan agama itu pencerahan spiritual dan transformasi diri, perbaikan akhlak, dan kedekatan dengan Allah Swt .

Tujuan syariah adalah membantu kita – seperti diajarkan Nabi saw – menanamkan akhlak Allah Swt dalam diri kita (at-takhalluq bi akhlaaqilLaah). Nah, kalau kita misalnya tidak pernah belajar ma’rifah – setidaknya dasar-dasarnya – bagaimana tujuan ibadah ini bisa tercapai?

Sebetulnya, kalau kita memang tidak pernah belajar menjadi ahli ma’rifah, tak apa. Belajar dan ambil saja pengetahuan secara “mentah-mentah” dari para ahli ma’rifah yang kita percayai. Mereka inilah yang oleh Alquran disebut sebagai ar-raasikhuun fil-‘ilmi (orang yang mendalam ilmunya) yakni mereka yang memahami takwil/pemahaman mendalam atas ayat-ayat Alquran yang maknanya pelik (mutasyaabihaat).

Ya, memahami Alquran itu pada umumnya juga gampang. Semua orang setidaknya bisa mengambil makna permukaannya saja. Atau kalau mau yang lebih mendalam, bertanyalah pada ahli tafsir. Nah, kalau mau tahu lapis-lapis makna Alquran yang lebih mendalam lagi, tanyalah pada ahli takwil dari kalangan kaum ‘urafa’.

Ahli- ahli ilmu inilah yang biasa disebut oleh Syed Naquib sebagai authority (otoritas) keilmuan. Para ahli. Keberadaan mereka mutlak sebagai rujukan bagi ilmu-ilmu keagamaan yang harus menjadi dasar cara-cara kita memahami dan mempraktikkan agama.

Dan meski sudah semestinya menjalankan agama itu mudah, tapi menjadi ahli agama – seperti juga menjadi ahli apa saja – memang sulit dan njlimet. Maka kita harus benar-benar menghargai ahli agama. Lalu tak sembarangan merasa diri ahli agama jika belum melewati proses belajar yang panjang, sistematis, berdisiplin, meluas, dan mendalam.

Apakah dengan njlimet-nya ilmu agama itu, maka ilmu agama dan para ahlinya boleh didakwa sebagai menjadi sumber pertengkaran karena ilmunya yang berdakik-dakik dan terkadang kontroversial?

Yang membuat bertengkar itu sebetulnya bukan ilmu agama atau ilmuwan agama. Tapi orang yang tidak menguasai ilmu agama lalu merasa jadi ahli ilmu agama dan mengumbar pendapat seenaknya sendiri, seperti yang banyak terjadi sekarang.

Tambahan pula, mereka tak tahu dan tak mau menerapkan adab dalam berbeda pendapat, alias sok tahu dan fanatik. Juga para pengikut mereka yang awam dan tak pernah belajar ilmu tanpa berdisiplin, tapi mau merasa menjadi ahli.

Di bidang ilmu lain, ekonomi, misalnya, ada macam-macam pandangan, bahkan tak jarang berlawanan. Tapi hal ini tidak membuat orang bertengkar (kalau pun ada yang membuat bertengkar itu biasanya ideologi ekonomi, bukan ilmu ekonomi).

Problemnya, kembali ke awal, kita kaum Muslim siap menghormati ahli-ahli ilmu dan menjadikan mereka rujukan,  tapi kalau sudah sampai ke urusan agama, semua orang merasa berhak bicara tentang apa saja terkait ilmu agama, meski tidak pernah belajar ilmu agama dengan berdisiplin. Ini problem umat beragama sekarang.

Apa hal ini berarti semua orang awam perlu belajar disiplin ilmu-ilmu agama itu sampai mendalam dan meluas? Tentu saja tidak perlu. Orang awam mungkin perlu belajar sekadar buat menambah wawasan umum, dan sebaiknya dibimbing ahli.

Apalagi dalam hal ilmu ma’rifah atau irfan. Tapi pemahaman irfan untuk awam itu sebaiknya sudah dipopulerkan, khususnya buat memenuhi kebutuhan jiwa-jiwa yang haus akan pencerahan spiritual dan ilmiah.

Sebagian akan bertanya, apa tak sebaiknya ilmu yang terspesialisasi itu dibatasi saja di kalangan ahli dan tak perlu diajarkan kepada awam? Lebih jauh lagi, kalau disebarkan malah menyebabkan kebingungan dan pertengkaran?

Mari kita bandingkan, misalnya, dengan ilmu fisika. Para ahli fisika menulis teori-teori yang njlimet-njlimet di berbagai jurnal ilmiah, bahkan sekarang dengan internet bisa tersebar ke seluruh dunia. Semua orang, ahli dan awam, punya akses kepada teori-teori itu.

Apa orang berantem karenanya? Tidak. Ya, kita tidak usah baca saja kalau bukan ahli. Dan kita tetap hormat kepada para ahli itu. Bagaimana halnya dengan popularisasinya? Stephen Hawking adalah ahli fisika paling besar di masa kita.

Teori-teori fisika yang paling njlimet sudah dia temukan dan kembangkan. Dan pasti semua itu dia publikasikan di berbagai jurnal ilmiah. Kalau kita mau, pasti kita mudah mengaksesnya.Tapi kalau kita bukan ahli, untuk apa kita mengaksesnya?

Lalu dia juga menulis A Brief History of Time, sebuah buku populer tentang fisika modern. Saya saja yang lulusan ITB dan sejak muda sampai sekarang belajar filsafat sains, tak selalu mudah memahaminya. Tapi, buku-buku populer karya Hawking adalah di antara buku yang paling asyik dan menambah wawasan ketika dibaca. Atau buku-buku Stephen Jay Gould dalam ilmu biologi. Dan banyak lagi.

Nah, kalau tulisan-tulisan ilmiah yang njlimet itu diedarkan ke mana-mana saja tak menimbulkan masalah, apalagi yang populer? Bukan saja ilmu tak menimbulkan masalah, malah penyebaran itu perlu. Termasuk, terkait ilmu agama, memopulerkan ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu kalam, ilmu filsafat, ilmu tasawuf/ma’ridah/irfan.

Sampai batas tertentu, saya kira orang awam yang serius juga perlu mengetahui hal-hal itu. The problem is not in the complexity of the sciences, tapi pada sikap sempit wawasan dan fanatisme banyak di antara kita.

Memang, yang mau menyebarkan dan mempopulerkan perlu juga bersikap lebih sadar batas dan dosis. Tapi hendaknya ini tak membuat kita jadi anti keahlian dan ilmu-ilmu agama yang canggih, atau merendahkan nilai pentingnya ilmu dan keahlian.  Ilmu, bagaimana pun, harus disebarkan, meski – setelah ditimbang dan diungkapkan secara seperlunya – risikonya bisa membuat marah kaum fanatik.

Kalau tak ada Galileo yang dihukum mati, astronomi tak akan berkembang. Demikian juga kalau tidak ada mihnah (inkuisisi) atas Mu’tazilah di zaman Bani Abbas (pasca Ma’mun), rasionalisme dalam Islam tidak akan meluas. Kalau tidak ada Ibn Rusyd, yang buku-bukunya dibakar, filsafat dalam Islam tidak akan berkembang, dan seterusnya.

Akhirnya, mari kita kutip sebuah hadis tentang mencari ilmu yang sudah diketahui luas, tapi sering tak dikutip secara lengkap:

حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ سُلَيْمَانَ حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ شِنْظِيرٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ  مُسْلِمٍ وَوَاضِعُ الْعِلْمِ عِنْدَ غَيْرِ أَهْلِهِ كَمُقَلِّدِ الْخَنَازِيرِ الْجَوْهَرَ وَاللُّؤْلُؤَ وَالذَّهَبَ (رواه ابن ماجه)

“Mencari ilmu itu difardukan bagi orang Islam (Letakkan ilmu pada orang yang ahli ilmu, karena) meletakkan ilmu pada orang yang bukan ahlinya adalah ibarat mengalungi babi dengan intan, berlian, dan emas.” (HR Ibnu Majah).

Nabi pun pernah menukas dengan tegas: “Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat (kehancuran).” WalLaah a’lam bi-shawab. []

PH/IslamIndonesia/Foto utama: Sadra

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *