Satu Islam Untuk Semua

Friday, 26 November 2021

Kolom Haidar Bagir: Membaca Sirah Nabawiyah secara Metodologis dan Paradigmatik


islamindonesia.id – Kolom Haidar Bagir: Membaca Sirah Nabawiyah secara Metodologis dan Paradigmatik

Membaca Sirah Nabawiyah secara Metodologis dan Paradigmatik

Oleh Haidar Bagir | Presiden Direktur Kelompok Mizan, penulis buku-buku tentang Tasawuf, dan Dai Islam Cinta

(Tulisan ini diambil dari poin-poin yang disampaikan oleh Haidar Bagir dalam diskusi  “Keteladanan Sirah Nabawiah dalam Konteks Kehidupan Sosial dan Keagamaan”, yang diselenggarakan oleh Sekolah Pascasarjana Syarif Hidayatullah, Jakarta, 23 November, 2021)

1. Sirah harus ditinjau secara metodologis – yakni, historiografis alias secara kritis, koheren, dan sistematis – khususnya untuk literatur-literatur awal seperti Sirah Ibn Hisyam atau Thabari. Literatur lanjut memang sudah mulai menerapkan pendekatan yang lebih metodologis, seperti al-Mas’udi, al-Biruni, dan lain-lain. Puncaknya adalah pada Ibn Khaldun, metodologi ini sudah cukup ketat, meski tak berarti orang harus setuju dengan semua yang ditulis/diyakini benar olehnya.

2. Meski ada ilmu rijal dalam sirah, selain tak seketat dalam hadis (dalam hadis pun kemungkinan sebuah hadis juga tidak shahih, meski melewati ilmu rijal, juga masih besar), literatur sirah tak sepenuhnya bisa diandalkan. Sebagian orang menyebut Thabari sebagai “haathib layl” (pencari kayu di malam hari yang karena gelap – semua dipungut, (padahal bisa jadi cuma kotoran hewan [maaf, karena diambil dari perumpamaan—red] yang sudah mengeras).

3. Lebih jauh, saya menyarankan bahwa sirah harus dilihat secara paradigmatik – yakni mengikuti rumusan tentang prinsip-prinsip dasar yang membentuk cara kita melihat suatu realitas. Dan paradigmanya tak lain adalah paradigma Alquran.

4. Paradigma al-Quran tentang Rasulullah adalah bahwa Rasulullah itu teladan (uswah) dalam hal akhlaq. Wa innaka la’ala khuluqin’ azhiim (QS al-Qalam: 4). Siti Aisyah pun menyebut bahwa akhlaq Rasul adalah Alquran.

5. Akhlaq Rasul adalah hatinya lembut (layyin) (QS Ali Imran:159), penuh kasih dan sayang. Dia saw sangat empatik, bahkan terhadap non-Mukmin (QS al-Tawbah: 128). Rasul saw memang juga tegas kepada orang-orang kafir (jahat, tiranik) (QS al-Fath 29), tapi tegasnya Rasul sudah pasti tak mungkin sama dengan kasar.

6. Dalam hal kasus-kasus spesifik, yang terikat tempat dan zaman, kita perlu mengambil ideal moral uswah Nabi, dan tak harus kebijaksanaan spesifik masa dan lokasi itu.

7. Bahkan, sesungguhnya dalam hal pemahaman Alquran pun, bukan cuma sirah Rasul, pemahaman kita pun – selain metodologis – harus paradigmatik juga. Apa paradigma pemahaman Alquran? Cinta dan belas kasih juga.

8. Pascakenabian, kita menjadikan materi sirah Nabi, saya bahkan mengatakan juga hadis, harus diperlakukan sebagai bahan ijtihad, bukan injunksi yang harus ditetapkan secara literal dan pristine (murni). Dan, melihat bahwa zaman berubah terus, demikian juga ilmu pengetahuan, ijtihad ini bukan hanya perlu melibatkan ulama, melainkan juga para ilmuwan umum. Para ulama melakukan deliberasi untuk mencari bahan-bahan relevan yang diduga paling shahih dari sirah (hadis Nabi saw), sementara kaum ilmuwan umum mengombinasikannya dengan ilmu pengetahuan mutakhir agar pemecahan yang dihasilkan merupakan yang terbaik terhadap tantangan zaman.

9. Dalam hal ada pertentangan antara hasil temuan ulama dan ilmuwan, maka harus dicari bahan dari kedua domain itu yang bisa dirujukkan.[]

PH/IslamIndonesia/Foto utama: Mizan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *