Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 17 May 2020

Kolom Haidar Bagir – Melacak Akar Konflik antara Agama dan Sains


islamindonesia.id – Melacak Akar Konflik antara Agama dan Sains

Melacak Akar Konflik antara Agama dan Sains

Oleh Haidar Bagir | Presiden Direktur Kelompok Mizan, penulis buku-buku tentang Tasawuf, dan Dai Islam Cinta

Jika kita lacak secara lebih teliti, menurut saya, sikap anti sains, kalau ada, bukan terkait dengan keimanan kepada Tuhan, atau doktrin Islam, bahkan juga tak mesti terkait dengan teologi (ilmu ketuhanan).

Doktrin Islam sangat berpeluang untuk ditafsirkan sebagai doktrin yang mendukung sains, demikian juga teologi Islam memberi peluang besar bagi kesejalanan dengan keyakinan saintifik.

Dalam hal teologi, ada perbedaan pendapat yang amat meruncing – sejak abad-abad pertama Islam tentang apakah kejadian yang terjadi di alam ini bersifat predeterministik (sudah ditetapkan Allah sejak azali dan manusia tak punya pilihan bebas) atau merupakan hasil ikhtiar manusia.

Jabariyah bilang sepenuhnya predeterministik, Mutazilah sebaliknya yakin (nyaris) sepenuhnya merupakan hasil ikhtiar manusia. Nah, kaum Mutazili amat percaya pada adanya hukum kausalitas yang rigid dan dapat diduga. Dan, dinyatakan atau tidak, mereka juga yakin manusia bisa memahami dan mengendalikan hukum kausalitas itu.

Sebaliknya Jabariyah percaya bahwa manusia ini setiap saat dan di mana pun adalah pion Tuhan yang tak punya peran apa pun dalam menentukan nasibnya.Tapi kemudian muncul kelompok-kelompok pertengahan, seperti Asyariyah dan Syiah. Keduanya menawarkan jalan tengah.

Asyariyah menawarkan jalan tengah dengan memperkenalkan konsep kasb (akuisisi/perolehan kemampuan), sedangkan Syiah memperkenalkan gagasan al-Amr Bayn al-Amrayn (posisi/pendapat tertentu di antara dua posisi – ekstrem jabariyah dan Mutazilah).

Dalam pandangan kedua kelompok ini, yang benar adalah bahwa ada (semacam) hukum kausalitas, tapi Allah tetap mencadangkan peran “veto” di dalam mekanisme kausalistik itu. Posisi Asyariyah antara lain diwakili dengan canggih oleh Imam Ghazali. Gagasan ini belakangan disebut sebagai okasionalisme. Yakni, bahwa sebetulnya tak ada apa yang disebut hukum kausalitas yang rigid dan mutlak.

Dalam pandangan, yang kelak dikembangkan oleh David Hume, Imam Ghazali memberi ilustrasi begini: Jika kapas terbakar oleh api, maka sejatinya bukanlah kapas yang terbakar akibat api (yang melahapnya) – yakni, itu bukan operasi kausalitas – melainkan kapas terbakar setelah terkena api. Jadi hanya berupa peristiwa yang susul-menyusul.
Karena, tidak mesti bahwa kapas – atau apa saja – yang terkena api itu terbakar. Kapas terbakar setelah terkena api itu terjadi karena Allah memberikan kemampuan (kasb) kepada api untuk bisa membakar.


Dalam kasus Nabi Ibrahim sebagaimana diungkapkan kitab suci, misalnya, api yang menelan Nabi Ibrahim gagal membakar sang Nabi karena Allah tak memberinya kemampuan membakar. Malah Allah memerintahkan api itu untuk menjadi dingin dan tak mengganggu Nabi Ibrahim.

(Seperti saya singgung di atas, Syiah memiliki pandangan pertengahan juga, tapi pemaparannya lebih filosofis sehingga berada di luar jangkauan tulisan pendek ini).

Islam sejak masa kenabian tidak anti sains. Bahkan sains kedokteran sudah berkembang sejak zaman Nabi. Nabi pun memerintahkan yang sakit untuk pergi mencari pengobatan. Selain itu, dua sahabat Nabi, yaitu Sayidina Ali juga dikenal sebagai ahli teknologi pertanian, dan Salman al-Farisi sebagai ahli “teknologi”.

Pada masa yang menyusul era kenabian, Imam Jafar dikenal sebagai guru dari Jabir bin Hayyan (Geber) yang ahli kimia, dan bahkan pada masa selanjutnya kita akan sulit menemukan ulama dalam sejarah Islam yang anti sains.

Tak usahlah kita pergi ke para filosof atau orang-orang yang memang adalah saintis dalam sejarah Islam, seperti Abubakar ar-Razi (ahli kedokteran), Ibnu Haitsam (penemu optik), al-Biruni (polimat), juga Ibnu Khaldun (ahli sejarah). Bahkan Imam Ghazali pun memuji kedokteran, matematika, ilmu dan teknologi pertanian, industri (pakaian/tenun), pun juga ilmu politik; Imam Syafii menganggap ilmu kedokteran sebagai ilmu yang paling utama setelah ilmu fiqih (ilmu tentang yang halal dan haram); dan Sayyid Qutb sepenuhnya percaya pada hukum alam.

Padahal dari segi teologi Imam Ghazali itu Asyari, demikian juga Imam Syafii. Bahkan Sayyid Qutb yang dipercayai sebagian orang sebagai tokoh radikal al-Ikhwan al-Muslimin juga menunjukkan kepercayaan yang kuat pada apa yang disebut hukum alam dan metoda saintifik.

Sebelum itu ada Muhammad Abduh yang sangat rasionalis, Sayid Ahmad yang sampai-sampai disebut sebagai necheri (semacam penganut natural theology), Iqbal yang membahas kausalitas dalam salah satu bab khusus dalam bukunya, The Reconstruction of Religious Thought in Islam.

Ibnu Arabi, seorang gnostik (arif) tokoh panteisme Islam pun amat menghargai alam semesta empiris yang disebutnya, sebagaimana dilihat oleh kaum Muslim awal sebagai percept (yang terpersepsi) – berbeda dengan filsafat Yunani, sebagai salah satu pengaruh besar atas pemikiran Islam yang lebih melihat alam sebagai konsep. Yakni sebagai theophany, sebagai tajalliy Allah Swt, yang menjadikannya locus (mazh-har) kebenaran.

Demikian juga jika pandangan-pandangan gnostik ini diletakkan dalam background ilmu-ilmu sosial modern, sebagaimana ditulis antara lain oleh Peter Coates dalam bukunya yang berjudul Ibnu Arabi and Modern Thought.

Kesimpulan

Kurangnya apresiasi atau bahkan kecenderungan mempromosikan konflik antara sains dan agama di antara sebagian pemeluk agama harus dicari terutama di luar persoalan ketuhanan atau doktrin keagamaan. Alih-alih, saya berpendapat akarnya lebih terletak pada dua hal:

Pertama, kurangnya kemampuan bersikap kritis – yang merupakan akibat langsung dari rendahnya tingkat pendidikan sebagian Muslim.

Kedua, situasi psikologis akibat kemunduran politik yang melahirkan mental underdog – pasca trauma Perang Salib, penjajahan negeri-negeri Muslim selama berabad-abad oleh Barat, lalu apa yang dilihat sebagai hegemoni sosial-politik Barat atas negeri-negeri Muslim pasca kemerdekaan, persoalan konflik Palestina, intervensi AS dengan dukungan Eropa terhadap negeri-negeri Muslim – yang pada gilirannya melahirkan adanya pengerasan politik identitas di sebagian Muslim.

Dan, karena sains saat ini dikuasai Barat yang non-Muslim/kafir penjajah, maka mereka berpikir bahwa ini harus ditolak.[]

PH/IslamIndonesia/Foto utama: Sam Harris and Jerry Coyne/reasonablefaith.org

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *