Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 24 March 2020

Kolom Haidar Bagir – Kenapa Saya Lebih Memilih Salat Jamaah dengan Keluarga di Rumah?


islamindonesia.id – Kenapa Saya Lebih Memilih Salat Jamaah dengan Keluarga di Rumah?

Kenapa Saya Lebih Memilih Salat Jamaah dengan Keluarga di Rumah?

Oleh Haidar Bagir | Presiden Direktur Kelompok Mizan, penulis buku-buku tentang Tasawuf, dan Dai Islam Cinta

Baru-baru ini ada suatu fenomena menarik. Untuk mencegah penyebaran virus Corona, dikabarkan bahwa masjid di Kuwait menambahkan kalimat “Ash-shalatu fii buyuutikum” (salatlah di rumahmu masing-masing).

Kiranya meniru preseden Sayidina Umar ra ketika beliau memutuskan untuk menambahkan kalimat “Salat itu lebih baik dari tidur” (ash-shalaatu khayrun minan-naum) untuk menggalakkan orang salat subuh tepat waktu.

Meski diriwayatkan bahwa sebetulnya hal ini sudah ada presedennya di zaman Nabi Saw dalam hal terjadi badai, tak ayal secara sepintas ijtihad ini bisa membuat jengah sebagian orang. Bagaimana boleh suatu amal utama – salat jamaah di masjid – dikalahkan oleh upaya duniawi – seperti pencegahan penyakit?

Perasaan jengah seperti ini bisa muncul dari kekurangan wawasan dalam ilmu fiqh, atau keketatan dalam memahaminya. Orang-orang seperti ini tak terbiasa memahami persoalan ini dari perspektif fiqh awlawiyyah (fiqih prioritas). Bahwa, bahkan dalam pelaksanaan kewajiban – apalagi ibadah-ibadah yang Sunah – kadang ada hal-hal yang bersifat non-ibadah (mahdhah) yang harus lebih didahulukan.

Pernahkah kita tahu, misalnya, ada pendapat bahwa seorang lelaki yang baru membawa isteri yang baru dinikahi ke rumah orangtuanya – yang masih asing baginya – boleh mengganti Salat Jumat dengan Salat Zuhur demi menemani isterinya.

Demikian pula, seorang perempuan yang berada dalam keadaan memilin rambutnya, boleh menjamak dua salat agar tak harus membuka pilinannya. Kedua contoh itu bisa dibaca dalam bulu Fiqhus-Sunah karya Sayid Sabiq. Dan masih banyak contoh-contoh lainnya dalam fiqh Islam.

Saya sendiri mengalami keadaan dipersoalkan oleh sebagian jamaah pengajian saya – saya dengar bahkan sampai memutuskan tak hadir lagi dalam pengajian saya – karena saya tak ikut Salat Berjamaah Isya di masjid tempat saya berceramah. Sungguh aneh, pikir mereka. Dan, sejak awal ingin saya katakan, bahwa saya tak keberatan dengan sikap sebagian jamaah itu, bahkan sepenuhnya memakluminya.

Meskipun demikian, baiklah di sini saya sampaikan beberapa apologi saya. Tapi, sebelum itu saya ingin memberikan pengakuan, pada diri saya barangkali memang ada sifat malas untuk salat jamaah di masjid (semoga Allah memaafkan saya, dan menolong saya untuk menghilangkan kemalasan tersebut).

Setelah itu saya akan sampaikan bahwa ada beberapa alasan saya kenapa hampir selalu – yakni dalam beberapa minggu pengajian tersebut – saya tak ikut Salat Jamaah Isya di masjid. Pertama, hampir selalu saya datang berceramah bukan dari rumah, melainkan dari berbagai kegiatan saya yang seringkali memakan waktu seharian dan menguras energi saya.

Akibatnya, hampir selalu saya selesai berceramah dalam keadaan capek, “kemrungsung” (tidak tenang), dan berkeringat. Dengan kata lain, mood saya tidak memadai untuk bisa salat lebih khusyuk. Maka saya selalu terbayang untuk pulang dulu ke rumah dan membersihkan diri sebelum salat. Toh, menurut pendapat yang umum, Salat Isya Sunah diakhirkan jika memungkinkan.

Persoalan mood ini juga bukan hal yang bisa diremehkan. Tanpa sama sekali bermaksud menyamakan diri saya dengan beliau, seorang ulama besar dari Iraq bernama Muhammad Baqir Shadr, kadang dilihat orang tak ikut salat berjamaah. Ketika ditanya apa sebabnya, dia menjawab kira-kira sebagai berikut: “(Mood) saya belum siap.” Lalu dia akan segera salat setelah dia rasakan mood-nya sudah lebih siap.

Yang terakhir, kadang saya berpikir lebih baik saya pulang, dan menunggu salah seorang anak saya pulang kerja (hampir selalu malam hari) untuk mengajaknya salat berjamaah, jika memungkinkan). Sejak sebelum-sebelumnya, saya selalu berpikir bahwa salat jamaah bersama keluarga lebih afdhal daripada salat berjamaah di masjid, dalam saat-saat kita mungkin bersama keluarga. Sedang dalam hal kita memang di luar, atau tak memungkinkan berada bersama keluarga, tentu lebih baik salat berjamaah di masjid.

Kenyataannya, tak sedikit orang yang merasa shock mendengar pendapat saya ini. Salat jamaah di masjid dikalahkan dengan salat jamaah di rumah?

Ini pandangan saya. Empat mazhab besar di kalangan kita, setahu saya, semuanya menyatakan bahwa salat jamaah di masjid itu hukumnya Sunah. (Saya sendiri sejak dulu tak percaya pada kesahihan riwayat yang menyatakan bahwa Nabi ingin membakar rumah yang di dalamnya ada laki-laki yang tidak salat jamaah di masjid. Hal itu tidak mungkin melihat banyaknya jumlah Muslim dewasa – khususnya di masa-masa lebih akhir kenabian, yang disebut-sebut mencapai 200 ribu orang – dan adanya hanya 1 masjid yang tidak besar ukurannya di Madinah. Lalu berapa banyak rumah yang harus dibakar?).

Sedang di sisi lain, saya berpendapat bahwa mengurusi dan mendidik keluarga untuk salat, apalagi berjamaah, adalah kewajiban setiap laki-laki kepala rumah tangga. Tentunya yang wajib harus didulukan daripada yang Sunah.

Hingga akhirnya saya mendapatkan sebuah hadis – yang tidak biasa, karena diriwayatkan dalam buku kumpulan hadis non- Suni, yakni Mizan al-Hikmah, mungkin berasal dari kitab Tanbih al-Khawaathir – bahwa Rasul saw bersabda:

جلوس المرء مع عياله احب الي الله تعالي من اعتكاف في مسجدي هذا

“Duduknya seorang laki-laki bersama keluarganya lebih aku sukai ketimbang i’tikaf di masjidku ini”

WalLaah a’lam bish-shawab

PH/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *