Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 01 November 2020

Kolom Haidar Bagir: Kebebasan Berpendapat atau Islamofobia


islamindonesia.id – Kebebasan Berpendapat atau Islamofobia

Kebebasan Berpendapat atau Islamofobia

Oleh Haidar Bagir | Dosen Pemikiran Islam di Islamic College for Advanced Studies, Jakarta

Gagasan kebebasan berpendapat, sebagaimana dipahami orang sekarang, sebenarnya berjalin-berkelindan dengan sejarah. Bahkan dengan budaya, malah dengan (manipulasi) politik dan (egoisme) ekonomi.

Bahkan dua bangsa yang memiliki akar yang sama (Anglo-Saxons) serta sama-sama dianggap sebagai dua kampiun kebebasan berpendapat, yakni Amerika Serikat dan Eropa, tak memiliki gagasan dan praktek yang sama persis, satu dan lainnya.

Amerika, setidaknya secara legal-formal, lebih liberal dalam soal ini dibanding umumnya bangsa-bangsa Eropa. Bangsa Eropa, lagi-lagi secara legal-formal, lebih merasakan kebutuhan untuk berhati-hati dan membatasi kebebasan berpendapat karena – tidak seperti Amerika – percaya bahwa pendapat sangat mungkin mempengaruhi suatu aksi.

Hal ini terungkap umpamanya dalam Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia, yang yurisdiksinya mencakup semua negara-negara yang termasuk Dewan Eropa. Demikian pula Deklarasi Hak-Hak Manusia dan Warga Negara di Prancis maupun undang-undang sejenis di berbagai negara Eropa lain.

Prancis sendiri memiliki beberapa peraturan yang membatasi kebebasan berpendapat. Undang-Undang Antipencemaran Nama Baik di Inggris malah terkenal sangat tegas. Terutama jika dibandingkan dengan Amandemen Pertama di Amerika, yang mengatur hal yang sama.

Kenyataannya, selain melarang mengeluarkan pernyataan yang menyatakan Holocaust, yang dianggap anti-Semit, Prancis memiliki undang-undang yang melarang siar kebencian (hate speech) yang bertujuan menghindarkan kebencian antar-ras dan agama.

Kenapa Eropa bersikap konservatif, setidaknya secara formal? Di sini trauma historis peristiwa Holocaust berperan. Bagi orang Eropa, Holocaust adalah kesalahan tak terampuni yang dengan segala cara harus dicegah untuk berulang kembali. Trauma ini secara positif telah menjadikan mereka berhati-hati dalam membatasi kebebasan pendapat.

Dalam praktiknya kedua bangsa ini ternyata menunjukkan  perbedaan – justru paradoks terhadap apa yang ada dalam gagasan/dokumen legal-formal mereka.

Meski Inggris atau Prancis, juga Jerman dan Belanda, tak jarang mengambil kebijakan politik untuk membatasi kebebasan pendapat, dalam kenyataannya mereka seringkali lebih menoleransi sikap-sikap ekstrem yang (di mata orang lain) melanggar batas, dibanding Amerika. Khususnya dalam peristiwa-peristiwa yang menyangkut penghinaan kepada agama atau figur sakral umat beragama. Apa pasal?

Selain mengalami trauma Holocaust, Eropa menderita trauma historis akibat Perang Dunia I dan II, yang menelan korban dan kerusakan yang begitu besar atas rakyat mereka. Seperti pernah dinyatakan oleh Karen Armstrong, pemikir agama asal Inggris, hal ini telah membuat orang Eropa bertanya-tanya tentang keberadaan Tuhan dan agama.

Jika Tuhan benar-benar ada, yang biasanya dibahas orang-orang dalam topik teodise (keadilan/ pembenaran akan Tuhan), kenapa Dia membiarkan penderitaan tidak terkira atas rakyat Eropa, bahkan terhadap perempuan dan anak-anak kecil?

Trauma ini diduga juga menyebabkan warga Eropa cenderung menyimpan sinisme dan kebencian kepada agama. (Dalam survei Peter Berger, yang dituangkan dalam bukunya yang berjudul The Desecularization of the World, sosiolog terkemuka ini juga mendapati bangsa-bangsa di Eropa Barat lebih lambat dalam menunjukkan gejala kegairahan kembali kepada agama-agama).

Islam kiranya merupakan kasus keagamaan yang lebih khusus lagi. Sejarah pahit nan panjang interaksi Islam dan Eropa sudahlah banyak diketahui. Pada abad modern, Eropa menancapkan kukunya di sebagian besar negara Muslim.

Setelah masa-masa kemerdekaan, kisah ketegangan di antara keduanya belum selesai. Dan pendudukan Palestina oleh Israel, yang didukung bangsa-bangsa Barat (terutama Amerika dan Eropa), terus menjadi duri dalam daging pada hubungan kedua kelompok bangsa ini.

Tiga dekade belakangan ini, luka lama itu muncul dalam bentuk lain, berupa konfrontasi Barat dan Islam di berbagai wilayah lain, seperti di Afganistan, Irak, Suriah, dan di negara-negara Islam lain.

Sayangnya hal ini tak berhenti pada perang konvensional, frustrasi bangsa-bangsa Muslim yang merasa tertindas oleh konspirasi bangsa-bangsa Barat telah melahirkan suatu reperkusi yang sama sekali tak bisa diharapkan: terorisme. Kiranya perkembangan belakangan ini pada gilirannya secara mutual sangat membentuk perasaan Barat kepada bangsa-bangsa dan orang-orang Muslim.

Kenapa dalam kasus Charlie Hebdo, misalnya, orang tak boleh menyangkal Holocaust, sebagaimana terbukti oleh pemecatan Sein dan seorang karyawan lain tabloid ini akibat mempublikasikan kartun yang bersifat anti-Semit, tapi boleh menghina figur Nabi Muhammad yang dipandang sakral dalam agama Islam dan di mata kaum Muslim? Ke mana juga undang-undang antisiar kebencian itu?

Demikian pula Inggris pernah melarang Dieudonne M’bala-M’bala, komedian Prancis, masuk ke negerinya karena menunjukkan sikap anti-Semit. Tak ada protes terhadap pelarangan ini. Tapi ketika Pamela Geller, seorang Islamophobe, dilarang masuk Inggris, tercipta kor ramai-ramai menolak pelarangan ini.

Juga di Amerika. Ketika dalam rangka menerapkan undang-undang, Brandeis melarang Hirsi Ali – seorang pengecam keras, untuk tak disebut penghina, Islam – universitas ini dihujani kritik.

Tak mudah menyalahkan sebagian orang yang melihat kasus Charlie Hebdo dan sejenisnya bukan sebagai opini pendapat, melainkan sebagai suatu Islamofobia terselubung.

Akhirnya tinggal satu soal lagi yang perlu dibicarakan. Orang-orang Eropa juga lupa pada frustrasi warga-warga minoritas Muslim di negeri-negeri mereka yang, karena alasan apa pun, banyak yang hidup sebagai warga kelas dua.

Sudah banyak penelitian yang mengkonfirmasi bahwa komunitas orang-orang yang hidupnya susah dan termarginalkan, bukan hanya secara sosial-politik dan ekonomi, terutama secara psikologis, adalah lahan yang subur bagi terbentuknya cara berpikir dan gagasan radikal penuh kekerasan yang akhirnya melahirkan terorisme.

Upaya untuk mengatasi masalah marginalisasi kaum minoritas Muslim di Eropa ini juga perlu mendapat perhatian khusus. Karena itu, dibutuhkan kewarasan ekstra di kedua belah pihak – kaum Muslim dan Barat – untuk bekerja keras memahami latar belakang sejarah, budaya, dan agama masing-masing. Lalu berusaha mengembangkan sikap saling memahami dan memahami.

Kenyataannya, sebagaimana pernah ditulis Marshal Hodgson (dalam bukunya yang berjudul The Venture of Islam), nilai-nilai dasar Islam sebenarnya selaras dengan nilai-nilai modern, yang dianut Barat selama ini.

Yang terjadi lebih banyak adalah salah paham — sayangnya, cukup berakar-dalam. Hanya dengan cara ini, apa yang biasa disebut sebagai konflik Islam-Barat bisa dipecahkan, dan kedua bangsa ini bisa hidup secara damai saling mendukung dalam memberikan kontribusi terhadap kemanusiaan dan peradaban.

*Artikel ini pernah diterbitkan di Majalah Tempo edisi 19 Januari 2015. Dengan beberapa penyesuaian editing, atas izin dari penulis, redaksi Islam Indonesia diperkenankan untuk menerbitkannya kembali.

PH/IslamIndonesia/Foto utama: Getty

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *