Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 11 March 2021

Kolom Haidar Bagir – Isra’ Mi’raj: Sepenggal Perspektif ‘Irfan


islamindonesia.id – Kolom Haidar Bagir – Isra’ Mi’raj: Sepenggal Perspektif ‘Irfan

Isra’ Mi’raj: Sepenggal Perspektif ‘Irfan

Oleh Haidar Bagir| Presiden Direktur Kelompok Mizan, penulis buku-buku tentang Tasawuf, dan Dai Islam Cinta

Kenapa Allah Mulai dengan Mensucikan Diri-Nya?

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqshaa, yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS al-Isra’ [17]: 1).

Pertama, kenapa Allah memulai dengan mensucikan diri-Nya dulu ketika memulai firman-Nya tentang isra’ ini? Karena isra’ adalah pendahulu dari suatu perjalanan hamba-Nya – yakni Nabi Muhammad saw – yang berpuncak pada kebersatuan dengan diri-Nya. Yakni pada ujung perjalanan mi’raj.

Penyucian Allah itu adalah untuk menunjukkan bahwa, sejauh apa pun seorang hamba bersatu dengan diri-Nya, tetap saja hamba tak pernah sama dengan Tuannya. Jangankan sama, terbandingkan pun jauh sekali dari itu.

Nabi Muhammad, sedahsyat apa pun pengalamannya, hanyalah bersatu dengan tajalliy atau tanazzul-nya Allah Swt. Bukan dengan Dzat-Nya. Jangankan mencapai Dzat, Dzat itu adalah sesuatu yang misterius mutlak, dalam persepsi manusia. Tak terkecuali dalam persepsi Insan Kamil-Nya.

Disebut pun tak bisa. Ghayb al-Ghuyub. Yang Paling Gaib dari semua yang gaib. Maka, dengan penyucian ini tak ada seorang pun pembaca ayat-ayat isra’ mi’raj yang boleh gagal dalam memahami bahwa setinggi apa pun pendakian Muhammad saw dalam menjangkau Tuhannya, sama sekali dia tak bisa dibandingkan dengan Tuhannya itu.

Bagaimana pun juga dia adalah tetap seorang hamba – meski maqam hamba ini, akan segera kita lihat, adalah maqam kemanusiaan yang tertinggi. Betapa pun tingginya, si hamba ada hanya karena diadakan Tuannya. Si hamba bisa mencapai apa saja yang dicapainya hanya karena diizinkan Tuannya. Yang, sebagai hamba, adalah faqir total dan sepenuhnya mutlak bergantung kepada Tuannya.

Tentang Maqam Hamba

Ayat Isra’ ini menyebut Nabi Muhammad sebagai “hamba”. Kenapa hamba? Ya, karena hamba adalah maqam tertinggi keberagamaan seseorang. Hamba adalah seseorang yang tidak memiliki kehendak sama sekali. Seluruh kehendaknya adalah sepenuhnya kehendak Tuannnya.

Inilah Muslim sejati. Inilah Muhsin sejati, yang telah berhasil menundukkan secara total egoismenya. Yang telah mencapai tingkat “lam takun” (fana). Dialah yang sudah mewujudkan instruksi Si Tuan agar kita masuk ke dalam kepasrahan (silmi) secara totalitas (kaafah).

Dirinya telah hilang dalam Tuhan. Inilah maqam spiritual tertinggi. Maqam baqa’ filLaah, setelah fana’ di dalam-Nya. Pada saat yang sama, hamba adalah kekasih. Karena hamba memuja Tuannya. Kata Nabi, man ahabba syai’an fa huwa ‘abduh. Siapa yang mencintai sesuatu, maka dia hambanya.

Dan sebagai imbalannya si hamba dikasihi Si Tuan. Dalam suatu ayat yang indah, Allah Swt memanggil para pemilik jiwa yang tenang – yang ridha kepada Allah dan Allah ridha kepada mereka – untuk masuk ke dalam (golongan) “hamba-hamba-Ku”, yang sekaligus berarti “ke dalam surga-Ku”.

Demikian pula di berbagai ayat lain, penggunaan kata “hamba” dalam menyebut makhluk mengandung di dalamnya pengertian kekasih.

Tentang Waktu Malam

Meski bukan tak ada ahli yang menyebut isra’ sebagai perjalanan khayali (imajinal), Ibn ‘Arabi termasuk yang berpendapat bahwa isra’ adalah perjalanan fisik.

Penggunaan kata “asraa” itu sendiri sebenarnya, dalam bahasa Arab, juga sudah mengimplikasikan perjalanan malam. Dan hal ini masih ditegaskan lagi dengan kata keterangan waktu “laylan” (di waktu malam).

Menurut Ibn ‘Arabi hal ini mengindikasikan bahwa perjalanan isra’ adalah perjalanan fisik dalam ruang-waktu (linear). Penunjukan kepada waktu malam, menurut Syaikhul Akbar lebih lanjut, sekaligus menyimbolkan keadaan kegelapan, yang atas latar belakang itu, pencerahan (kasyf, penyingkapan tirai/kegelapan) oleh nur Allah menjadi tampak paling tampak nyata.

Kenyataannya, memang di malam hari para pejalan menuju Tuhan diminta menyendiri dari manusia, dalam sunyi dan sepi, lalu berdua-dua dengan-Nya. Agar dengan demikian Allah dapat berbicara terang dan nyaring kepadanya.

Tentang Kecepatan Durasi Isra’

Isra’ Mi’raj adalah perjalanan penuh keajaiban. Meski bukan tak ada ahli yang menyebut Isra’ Mi’raj sebagai perjalanan khayali belaka, Ibn ‘Arabi termasuk yang berpendapat bahwa isra’ adalah perjalanan dengan jasad.

Tapi, bagaimana perjalanan melintasi jarak fisik yang panjang – bahkan nantinya dalam mi’raj juga  jarak khayali dan rohani tanpa batas ruang-waktu itu – bisa terjadi begitu cepat?

Maka, kalau harus dengan jasad, para ’urafa’ cenderung memahami bahwa Rasulullah saw menjalani Isra’ Mi’raj dengan jasad barzakhi-nya. Karena jasad barzakhi tak terikat waktu linier (zaman), melainkan dahr (waktu siklikal/perpetuitas).

Dahr beroperasi di level al-a’yaan al-tsaabitah dari segala sesuatu di alam semesta (lebih jelasnya lihat di buku Semesta Cinta: Pengantar kepada Pemikiran Ibn ‘Arabi pada bab tentang waktu).

Inilah sejenis waktu yang, di bumi, berlaku atas wujud-wujud imajinal atau khayali.

Sebagaimana kita bisa mengalami peristiwa yang panjang di alam mimpi padahal diketahui bahwa durasi mimpi itu hanya sebentar. Jasad imajinal atau khayali ini memiliki daya imajinal atau daya khayal. Daya imajinal atau khayali inilah yang melintasi jarak fisik itu nyaris tanpa waktu (in no time).

Inilah yang menyebabkan, ketika harus membuktikan kebenaran isra’, Rasul saw bisa menceritakan satu demi satu bentuk-bentuk detil Masjidil Aqsha, termasuk bahan-bahan yang digunakannya. Persis sebagaimana seseorang yang melihat langsung dengan mata kepalanya, bahkan lebih rinci dan dengan ingatan yang lebih kuat.

Tentang Mi’raj

. ثُمَّ دَنَا فَتَدَلَّى. فَكَانَ قَابَ قَوْسَيْنِ أَوْ أَدْنَى

“Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada Muhammad saw. sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi).” (an-Najm [53]:8-9).

Pada sebagian terjemahan Alquran (termasuk terjemahan versi Departemen Agama), subyek “dia” dalam ayat tersebut dipahami sebagai Jibril. Kaum ‘urafa’ – termasuk Ibn ‘Arabi – memahaminya secara berbeda. “Dia” di situ dipahami sebagai Allah Swt. Tentu saja bukan Allah dalam Dzat-Nya, melainkan dalam tanazzul-nya. Kemungkinan di level ta’ayyun pertama, yaitu martabat Ahadiyah.

Lagipula, jelas di dalam hadis bahwa Jibril sendiri menyampaikan bahwa dia tak bisa ikut ke Sidrat al-Muntaha, ke pohon Sidrat terjauh tempat sang kekasih akan bertemu Sang Pengasih. Dia harus berhenti “hanya” di langit ketujuh.

Dari uraian yang pernah saya baca, memang ini adalah tempat yang berada di atas wilayah Jibril. Seperti diajarkan sebagian ‘urafa’, Jibril adalah malaikat utama dalam tingkatan “terendah” malaikat. Di bawah malaikat-malaikat pada level-level malaikat yang lebih tinggi, sampai malaikat-malaikat muqarrabun dan karubiyun. Wilayah pengetahuannya pun masih dalam wilayah intelektual yang lebih rendah.

Sedang pengalaman penglihatan/pengetahuan Nabi saw dalam puncak mi’raj ini adalah pengalaman yang jauh lebih tinggi dari itu. Pengalaman kebersatuan. Ya. Dalam konteks inilah para urafa’ memahami makna metafor qaaba qawsayn (dua ujung busur anak panah), yang dipakai Alquran dalam ayat di atas.

Inilah ringkasan penjelasan Ibn ‘Arabi:

Jika dua busur disatukan, maka akan terbentuk lingkaran. Dan, berbeda dengan garis, dalam lingkaran semua titik bisa menjadi titik awal, dan semua titik dapat menjadi titik akhir. Tak jelas lagi di situ mana Allah Swt (yakni si martabat tanazzul-Nya) dan mana Rasul saw.

Bahkan, ayat itu menunjukkan, posisi keberadaan keduanya lebih dekat lagi. Karena, betapa pun, lingkaran masih menyisakan jarak. Padahal, bukannya keduanya sudah menjadi satu?

Maka, mi’raj sesungguhnya adalah kepulangan Nabi saw kepada rumah asalnya. Kepada Dia Swt yang terhadapnya Alquran menyebut Nabi saw sebagai mitsil (yang seperti)-Nya:

لَيسَ كَمِثْلِهِۦ شَىْءٌ ۖ

“…Tak ada sesuatu yang seperti sesuatu yang mirip dengan-Nya…” (QS asy-Syura [42]:11)

Yakni saat kembalinya sang Nabi ‘Arab kepada sang Rab, saat kembalinya Sang Ahmad kepada Sang Ahad.

Allahumma shallii alaa Muhammad wa aali Muhammad….

Catatan akhir: Seperti kata ‘Abd al-Rauf Singkili, selamanya hamba tetap hamba dalam taraqqi (pendakian spiritual)nya, dan Tuhan tetap Tuhan, meski dalam tanazzul-Nya. Maka, betapa pun tidak dengan Dzat – sesuatu yang mustahil – persatuan hamba-Tuan itu telah terjadi….[]

PH/IslamIndonesia/Foto utama: Serge Brunier/ESO via EPA

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *