Satu Islam Untuk Semua

Monday, 22 November 2021

Kolom Haidar Bagir: Islam Minimalis, Islam Maksimalis


islamindonesia.id – Kolom Haidar Bagir: Islam Minimalis, Islam Maksimalis

Islam Minimalis, Islam Maksimalis

Oleh Haidar Bagir | Presiden Direktur Kelompok Mizan, penulis buku-buku tentang Tasawuf, dan Dai Islam Cinta

Pemahaman Islam kita sekarang ini memiliki kecenderungan nggladrah (bahasa Jawa: berkepanjangan, tak karuan—red) ke mana-mana. Politik mau dikuasai, sains dan teknologi dianggap tidak Islami dan perlu diislamisasi, bentuk dan ukuran kerudung – padahal sudah menutup aurat – masih diurusi, cara kencing dipersoalkan, bahkan arah jarum jam pun mau dibalik supaya searah dengan putaran thawaf (ini beneran, lho, bukan sinisme).

Bukan itu saja, semuanya diperdebatkan. Segala macam pandangan, sampai yang aneh-aneh dan lebay dilontarkan, dan dijadikan bahan pertengkaran. Salafi mengritik tradisionalis, tapi antar salafi pun saling kritik (sekarang pun juga antar kaum tradisionalis). Tak jarang sampai membid’ahkan, memunafikkan, dan mengafirkan.

Ruwet bin Kusut. Habis energi kaum Muslim buat ngurusi hal-hal yang mestinya tak harus diurusi. Ditambah lagi syahwat untuk saling menumpas, yang dikhayalkan dibenarkan oleh ajaran Islam. Maka meroyaklah potensi konflik dan kekerasan yang mengerikan. Tidak cuma terhadap non-Muslim, tapi di antara berbagai kelompok dalam lingkungan internal Islam itu sendiri.

Mbok sudah, kita kembali kepada tujuan diturunkannya agama dan diutusnya Muhammad saw dan konsentrasi di situ saja?

“Dan tak kami utus engkau (Muhammad) kecuali untuk menebar belas-kasih (rahmat) bagi semesta alam.”

“Aku,” kata Muhammad saw sendiri, “diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak mulia saja (tak ada lain! – ini tambahan saya sendiri).”

Kenapa tak fokus pada pembinaan akhlak dan penyelenggaraan amal-amal yang penuh belas kasih saja?

Yakni, seperti ajaran Nabi sendiri, bahwa, “Ibadah paling utama adalah memasukkan rasa bahagia di hati sesama.”?

Atau seperti firman Allah kepada Musa as, “Satu-satunya ibadahmu buat-Ku adalah membahagiakan orang yang patah hatinya.”?

Padahal ada ratusan ayat dan hadis lain yang mendukung pandangan seperti ini. Kenapa tidak membiarkan politik diurusi institusi-institusinya – sedang agama mengawal dalam hal etika/moralnya saja?

Kenapa sains dan teknologi tak diserahkan kepada kaum saintis/ilmuwan – dan kita malah ikut aktif dalam kafilah pengembangannya – kecuali agama ikut menyumbang pada penyempurnaan falsafah ilmunya saja? Bersama para ahlinya dari mana-mana?

Kenapa semua mau dibawa ke titik ekstremnya, sampai soal model dan ukuran kerudung serta arah putaran jarum jam?

Lalu sebagian orang pun akan bilang, mengidentifikasi bid’ah dan munafik serta menghalanginya, adalah bagian dari menyempurnakan akhlak. Memerangi orang kafir – meski mereka hidup damai dengan kita – adalah bagian dari upaya menebarkan belas kasih kepada semesta alam. Betapa jakasembung-nya?

Atau, mengurusi model dan ukuran kerudung adalah bagian upaya memurnikan ajaran Islam, padahal di zaman Nabi pun kerudung modelnya macam-macam dan yang diperintahkan hanyalah menutup aurat dengan pakaian tidak ketat dan larangan ber-tabarruj (pamer dan berdandan menor) saja di depan yang bukan mahramnya? Lalu kalau putaran jarum jam harus sesuai arah thawaf, maka tak boleh lagi ada apa saja yang berputar melawan arah thawaf?

Pemahaman Islam model begini inilah yang kemudian dianggap sebagai “menyeluruh” (kaffah) sebagaimana diperintahkan al-Quran (padahal kata “silmi” di sini, kata tak sedikit ulama tak harus bermakna “bersyariat islam” secara formal, melainkan beramal baik, kedamaian, atau kepasrahan. Bahkan yang menafsirkan sebagai syariat Islam, masih mengembel-embelinya dengan keharusan menyesuaikannya secara dinamis dengan perkembangan zaman).

Bahkan bukan saja tidak menyeluruh, saya khawatir, yang terjadi adalah semua urusan yang tak langsung berurusan dengan ajaran Islam diurusi, sedang yang merupakan inti ajarannya – akhlak dan belas kasih – justru diabaikan?

Inilah seolah Islam maksimalis, padahal minimalis, alias cuma menjalankan aspek-aspek non-esensialnya. Mari kita jalankan Islam “minimalis”, dengan cukup berfokus pada menyempurnakan akhlak/moralitas dan menebar belas kasih – yang dengan itu sejatinya kita sedang menyelenggarakan Islam maksimalis, yakni, Islam “kaffah” sesungguhnya.

Dan kalau kita mau menyelenggarakan Islam dengan cara ini, sebaliknya dari konflik dan kekerasan, yang akan tercipta adalah persatuan, kedamaian, dan kebahagiaan. Karena, dari akhlak mulia dan belas kasih tak akan lahir kecuali kebaikan hati, adab, kelembutan, permakluman, dan permaafan. Utopiakah harapan seperti ini? []

PH/IslamIndonesia/Foto utama: Mizan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *