Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 22 August 2020

Kolom Haidar Bagir: Islam Mempertimbangkan Teori Evolusi


islamindonesia.id – Islam Mempertimbangkan Teori Evolusi

Islam Mempertimbangkan Teori Evolusi

Oleh Haidar Bagir | Penulis buku Sains “Religius”, Agama “Saintifik”: Dua Jalan Mencari Kebenaran

“Aku mati sebagai mineral

dan menjelma sebagai tumbuhan,

aku mati sebagai tumbuhan

dan lahir kembali sebagai hewan.

Aku mati sebagai hewan dan kini menjelma manusia.

Kenapa aku harus takut?

Maut tidak pernah mengurangi sesuatu dari diriku.

Sekali lagi,

aku masih harus mati sebagai manusia,

dan lahir di alam para malaikat.

Bahkan setelah menjelma sebagai malaikat,

aku masih harus mati lagi;

Karena, kecuali Tuhan,

tidak ada sesuatu yang kekal abadi.

Setelah kelahiranku sebagai malaikat,

aku masih akan menjelma lagi

dalam bentuk yang belum kupahami.

Ah, biarkan diriku lenyap,

memasuki kekosongan, kesejatian

Karena hanya dalam kesejatian itu

terdengar nyanyian luhur.”

(Rumi, penyair Muslim abad ke-12)

Sebetulnya bukan cuma Rumi, sejarah pemikiran Islam mencatat beberapa pemikir terkemuka lain yang berbicara tentang sifat evolusioner kejadian makhluk hidup. Termasuk di dalamnya al-Jahiz (hidup pada abad ke-8), Ibnu Miskawaih (hidup pada abad ke-11), Mulla Sadra (hidup pada abad ke-16-17), dan lain-lain.

Sebagian juga menyebut ad-Damiri, al- Biruni, Ibnu Thufail, dan Ibnu Khaldun sebagai ilmuwan yang mengungkapkan gagasan evolusi ini. Sebagian yang lain lagi malah menyebut belasan pemikir Muslim terkemuka lainnya sebagai prekursor teori evolusi Darwinian.

Pada zaman modern ada, antara lain, Muhammad Iqbal dari anak benua India, dan Murtadha Muthahhari dari Iran.

Saya akan membuka tulisan pendek-sederhana ini dengan menyitir Murtadha Muthahhari, seorang filosof/pemikir kontemporer dari Iran. Muthahhari – seperti juga Thabathabai, gurunya, seorang ahli tafsir terkemuka yang menulis Tafsir Mizan, 20 jilid – pernah menyatakan pandangan positifnya tentang kemungkinan kebenaran teori evolusi.

Muthahhari bahkan mengkritik keras Muslim “yang berpikir bahwa Tauhid hanya bisa ditegaskan dengan menolak teori evolusi.” Sebaliknya, ujar sang ulama, salah satu keajaiban penciptaan adalah adanya berbagai macam makhluk dengan beraneka anggota dari satu substansi sederhana dan seragam, seperti yang dikemukakan teori itu.

Dia juga menegaskan bahwa “menurut Alquran, penciptaan bukan fenomena sesaat/instan.” Dalam ungkapan Muthahhari, Tuhan tak perlu sesekali “menjulurkan lengan dari balik jubah-Nya” ketika akan menciptakan spesies-spesies baru, termasuk manusia, karena sesungguhnya Ia selalu terlibat dalam peristiwa-peristiwa alam.

Selanjutnya Muthahhari menyatakan, “Jika (bisa dibuktikan – Haidar Bagir [HB]) bahwa manusia memiliki nenek moyang hewan, maka ini berarti bahwa Alquran menarasikan penciptaan manusia (sebagai terkesan sekali jadi [instan] – HB) sebagai lebih bersifat simbolik dan bukannya bermaksud menggunakan bahasa saintifik.”

Kenyataannya, memang Alquran bukanlah buku sains, yang banyak menggunakan simbolisasi, bahkan mitos (makna kata “mitos” di sini, bukanlah dongeng khayalan yang terbelakang dan ngawur, melainkan – sebagaimana makna akademis istilah ini – adalah kisah rekaan yang dibuat untuk menyampaikan sebuah kebenaran dengan cara non-proposisional, melainkan simbolik, atau metaforik).

Kalau pun ada, paling jauh Alquran menyimpan isyarat saintifik seperti, antara lain, akan ditunjukkan di bawah sehubungan dengan evolusi makhluk hidup. Yang jelas, dalam sebuah hadis yang juga dikutip Rumi, dikatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia dalam 40 hari. Bagi yang paham simbolisasi angka dan hari dalam Alquran dan hadis, tentu bisa memaknai kata “40 hari” sebagai waktu/durasi yang panjang, dan bukan 40 hari seperti yang kita kenal.

Teori evolusi, jika benar, paling jauh membuat kita mempertimbangkan kembali argumentasi “desain inteligen” (intelligent design atau arguments from design) terkait bukti keberadaan Tuhan. Sebagian orang menyatakan bahwa teori evolusi meruntuhkan argumen ini. Karena kenyataannya penyempurnaan makhluk hidup terjadi secara random (acak).

Tapi, pernyataan bahwa semuanya terjadi secara random ini harus segera dipertanyakan. Yang pasti benar adalah bahwa evolusi terjadi dalam waktu yang sangat lama. Tapi bukan tanpa pola atau hukum yang teratur.

Bagi sebagian orang, malah sebaliknya. Survival of the fittest (sintasan yang terbugar) itulah hukum evolusi yang teratur dan inteligen: berpola/berulang, dan konsisten.

Sehingga, di tempat lain Muthahhari mengatakan bahwa: “Teori evolusi, lebih dari di masa sebelumnya, (justru) menunjukkan keterlibatan suatu kekuasaan yang mengelola, mengarahkan, dan membimbing dalam penciptaan makhluk hidup, yang menunjukkan adanya prinsip kebertujuan (penciptaan) itu.”

Al-Jahiz dengan gamblang menyatakan bahwa tanaman merupakan pengembangan dari benda tak hidup, hewan merupakan pengembangan dari tumbuhan, dan manusia dari hewan.

Ibnu Miskawaih menyatakan, “Semua hewan sesungguhnya berasal dari non-hewan…. dan semua makhluk hidup berasal dari bahan tak hidup.”

Beberapa ayat Alquran yang bisa dirujuk/ditafsirkan sebagai yang memberikan isyarat kepada adanya kesejalanan dengan teori evolusi biologis itu, termasuk oleh Muhammad Iqbal, adalah sebagai berikut:

لَتَرْكَبُنَّ طَبَقًا عَنْ طَبَقٍ

“Sesungguhnya kalian akan melewati tahap demi tahap.” (QS al-Insyiqaq [84]: 19)

وَقَدْ خَلَقَكُمْ أَطْوَارًا

“Padahal Dia sesungguhnya telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkatan kejadian.” (QS Nuh [71]:14)

هَلْ أَتَىٰ عَلَى الْإِنْسَانِ حِينٌ مِنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ شَيْئًا مَذْكُورًا

“Ada saat pada manusia yang di dalamnya dia adalah sesuatu yang tak layak disebut (manusia).” (QS al-Insan [76]:1)

ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ ۚ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ

“Maka Kami menyebabkan (manusia dalam bentuk awalnya) itu tumbuh menjadi makhluk yang lain. Maha Suci Allah, Pencipta yang terbaik.” (QS al-Muminun [23]: 14)

قُلْ سِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ بَدَأَ الْخَلْقَ ۚ ثُمَّ اللَّهُ يُنْشِئُ النَّشْأَةَ الْآخِرَةَ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Katakanlah: ‘Berjalanlah di bumi, maka perhatikanlah bagaimana (Allah) memulai penciptaan (makhluk), kemudian Allah menjadikan kejadian (bentuk) yang lain. Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.’.” (QS al-Ankabut [29]:20)

Orang boleh saja tak setuju dengan kecenderungan memahami ayat-ayat di atas sebagai yang sejalan dengan teori evolusi. Tapi, tak bisa juga penafsiran itu dengan serta merta ditolak sebagai menyeleweng.

Ya, kita memang tak boleh membaca ayat-ayat suci seolah-olah ia adalah buku sains, tapi pada saat yang sama bukanlah sesuatu yang keliru untuk menunjukkannya sebagai yang bisa sejalan dengan tema-tema sains.[]

PH/IslamIndonesia/Foto utama: Mizan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *