Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 18 May 2022

Kolom Haidar Bagir: “Create Your Own Religion” (3- Habis)


islamindonesia.id –  Kolom Haidar Bagir: “Create Your Own Religion” (3- Habis)

Sambungan dari bagian 2 ….

“Create Your Own Religion” (3)

Haidar Bagir | Presiden Direktur Kelompok Mizan, penulis buku-buku tentang Tasawuf, dan Dai Islam Cinta

Keyakinan masing-masing individu terhadap apa saja–termasuk dalam hal pemahaman keagamaan–itu terkandung pada isti’dad (kesiapan, mencakup faktor genetik/nature, lingkungan/nurture, dan lain-lain, yang bersifat mendasar dan khas individu tersebut).

Padahal tak ada dua orang yang punya isti’dad yang sama. Semua orang isti’dad-nya unik, karena semua manusia itu adalah tajalli (pengejawantahan) Tuhan. Sedang prinsip tajalli Tuhan itu adalah laa tikraar fit-tajalli (tak ada pengulangan/kesamaan dalam tajalli). Tajalli Tuhan itu selalu baru dan unik, pada setiap saat, atas lokus tajalli/individu makhluk yang berbeda.

Boleh juga dibilang bahwa isti’dad orang adalah akalnya. Kata akal, berasal dari kata bahasa Arab ‘aql, maknanya adalah mengikat atau membatasi. Setiap individu makhluk hanya bisa menangkap/mempersepsi Tuhan, dan hal-hal yang berhubungan dengan itu, dalam bentuk terikat/terbatas/reduktif. Dan akal masing-masing individu mengikat dan membatasi Tuhan dengan cara berbeda-beda. Yakni, sesuai isti’dad masing-masing individu itu.

Yang harus ditekankan adalah, perbedaan persepsi/gagasan ketuhanan ini tak selalu harus identik dengan benar-salah, melainkan bisa sama-sama benar–yakni, hanya beda perspektif (cara/sudut pandang) yang menghasilkan penangkapan aspek yang berbeda-beda (dan terbatas) dari “obyek” Tuhan yang sama.

Sebagai ilustrasi lain, Ibn ‘Arabi juga menyatakan kemungkinan adanya  sejumlah nyaris tak terbatas tafsir—yakni, sebanyak jumlah manusia (yang mendekati Alquran dengan tulus)–yang bisa sama-sama benar, meski berbeda-beda.

Masing-masing menangkap pemahaman yang berbeda, meski bisa sama-sama benar (berkorespondensi secara obyektif dengan “obyek”-nya itu). Lagi-lagi, disebabkan oleh perbedaan atau keunikan isti’dad masing-masing individu.

Ini yang dimaksud dengan kata-kata Imam Junayd yang dikutip Ibn ‘Arabi dalam bagian sebelumnya artikel ini, bahwa warna air sesuai dengan warna bejananya. Bahkan demikian pula dengan pemahaman atau persepsi atas institusi-institusi keagamaan–kesakralan dan konsep tentangnya—tak terkecuali juga ritus-ritus keagamaan.

Ada yang mensakralkan semua institusi kehidupan–termasuk ekonomi, politik, dan sains—tapi malah mendesakralisasi kebudayaan. Sebaliknya ada yang mendesakralisasi ekonomi, politik, dan sains, dan justru mensakralisasilan kebudayaan.

Soal ritus? Memang sebagian ritus–khususnya yang terkandung dalam rukun Islam—disepakati keharusan meyakini dan melaksanakannya. Dalam bahasa agama disebut sebagai dharuriyatud-din—bagian agama yang tidak bisa tidak harus dipercaya dan diwujudkan, karena dia pasti benar sebagai bagian agama.

Tapi, bukan cuma teknis pelaksanaannya, bahkan motif orang melaksanakannya juga berbeda-beda. Ada yang shalat karena takut kepada (nerakanya) Tuhan seperti ketakutan budak kepada Tuannya, ada yang dimotivasi harapan imbal-balik (surganya) Tuhan bak pedagang, dan ada yang didorong oleh kecintaan kepada-Nya.

Alhasil, ketika sudah sampai kepada penafsiran dan pemahaman, sebetulnya setiap individu/kelompok seolah punya “agama” yang berbeda-beda, meski sepakat dalam penyebutan (literal) unsur-unsur pembentuknya.

Setiap orang bisa sama-sama Muslim, bahkan bersepakat soal unsur-unsur pembentuknya, tapi pemahaman/persepsi/gagasan tentang unsur-unsur pembentuk agama itu berbeda-beda.

Maka, “bikinlah agamamu sendiri”, lepas dari proyek penugasan Prof. Andani, bisa saja bermakna “bikinlah pemahaman/penafsiranmu sendiri tentang agamamu”. Karena pada kenyataannya, sekali lagi, orang secara sadar atau tidak telah mem-“bikin” agamanya sendiri. Yakni dalam makna membikin atau menafsirkan unsur-unsurnya. Dan ini bukan hanya tidak apa-apa, melainkan pada kenyataannya memang demikian halnya.

Saya, misalnya, bisa mengatakan, seperti Ibn ‘Arabi:

“Agamaku adalah agama cinta

Kemana pun kafilah cinta berada,

di situlah agamaku.”

Dengan mengatakan bahwa “agama saya adalah agama cinta”. Tentu, seperti ditegaskan Ibn ‘Arabi juga, yang saya maksud adalah bahwa agama saya adalah agama Muhammad Saw. yang saya yakini berprinsip/berporos pada cinta, yang alfa-omeganya, adalah cinta.

Dan, kalau saya adalah mahasiswa Prof. Andani, maka laporan penugasan saya kira-kira akan seperti apa yang saya tulis dalam buku terakhir saya–Manifesto Islam Cinta (atau juga yang pernah saya tulis dalam buku saya juga, Islam Risalah Cinta dan Kebahagiaan, atau pun buku-buku saya yang lain dalam jalur yang sama).

Dan saya berharap, orang tak keberatan dengan agama (Islam model) saya ini. Sebagaimana saya juga tak boleh menyalahkan, dalam makna menyesatkan atau mengafirkan, agama (Islam model) orang lain.

Ya, yang tidak boleh itu adalah mengklaim gagasan keagamaan kita sebagai satu-satunya gagasan yang benar, sambil menyalah-nyalahkan–bahkan mengafir-ngafirkan/menyesat-nyesatkan–gagasan, pemahaman, dan penafsiran orang lain—yang berbeda dengan punya kita.

WalLaah a’lam bish-shawab. Dan semoga Allah Swt. menolong kita untuk beragama dengan penuh keikhlasan dalam hidayah dan tawfiq-Nya. Amiin, Yaa Rabbal ‘Aalamiin ….

(Selesai)

PH/IslamIndonesia/Foto utama: UIN Sunan Gunung Djati

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *