Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 20 August 2022

Kolom Haidar Bagir: Argumentasi untuk Wahdah Al-Wujud


islamindonesia.id – Kolom Haidar Bagir: Argumentasi untuk Wahdah Al-Wujud

Argumentasi untuk Wahdah Al-Wujud

Oleh Haidar Bagir | Presiden Direktur Kelompok Mizan, penulis buku-buku tentang Tasawuf, dan Dai Islam Cinta

Pertama, tak ada yang ragu bahwa Allah mutlak, tak terbatas meliputi segala sesuatu. Nah, kalau ada sesuatu yang berada di luar dan terpisah dari Allah, apakah itu tak menjadikan Allah terbatas? Ada Allah, ada si Polan yang bukan merupakan bagian Allah. Berarti keberadaan Allah terbatasi oleh keberadaan si Polan? Mustahil.

Kesimpulan pertama, wujud Allah harus mencakup segala sesuatu. Segala sesuatu harus berpartisipasi dalam wujud Allah. Yang ada hanya wujud Allah. Inilah yang disebut Wahdah al-Wujud (ketunggalan wujud. Tak ada wujud di dalam dunia keberadaan kecuali wujud Allah). Laa maujuuda illal-Laah. 

Kedua, bagaimana wahdah menjelaskan Wujud Tunggal, Allah bisa menjadi majemuk dalam bentuk semua keberadaan di alam semesta, tanpa mengganggu ke-Tunggal-an dan ke-Mutlak-an-Nya? Inilah yang disebut tajalliy (manifestasi, pengejawantahan) Allah Swt. yang meng-“hasil”-kan keberadaan-keberadaan lain, selain (Dzat) Allah (maa siwaa Allah). 

Allah itu wujud, dalam makna ada, sekaligus “menemukan” (wajada). Dia ada dan mengetahui diri dan segala kemungkinan keberadaannya. Pengetahuan Allah tentang dirinya itulah yang secara niscaya men-“cipta”kan/melimpahkan ciptaan-ciptaan. 

Tajalliy disebut juga sebagai tanazzul. Beda dengan tajaafi. Tajaafi itu pindah ruang, dan melibatkan waktu. Kalau si Polan pindah/turun dari lantai 2 ke lantai 1. Maka, begitu bergerak, si Polan ada di titik baru dalam ruang dan tak ada lagi di titik sebelumnya. Kalau si Polan sampai ke lantai 1, si Polan sudah tak ada di lantai 2 lagi.

Tapi Allah Swt. tak terikat ruang waktu, dan kemutlakan-Nya memustahilkan ada yang kurang dari dirinya, kapan pun. Maka yang terjadi adalah semacam pemancaran itu. Bayangkan saja matahari dan sinarnya (Allahu nuurus-samwaati  wal-ardh. Yang pertama kali diciptakan/dipancarkan/dimanifestasikan Allah, kata Nabi, adalah cahayaku, Nur Muhammad. Lalu ciptaan-ciptaan, yang merupakan cahaya-cahaya dalam intensitas lebih rendah, berturut-turut, hingga makhluk dengan cahaya paling sedikit. Jadi, Allah adalah Cahaya di atas Cahaya).

Nah, matahari tak pernah terpisah dari sinarnya, dan sebaliknya. Tapi matahari beda dengan sinarnya. (Maka salah sekali orang yang bilang bahwa menurut wahdah al-wujud, manusia sama dengan Tuhan). Tuhan bersifat munazzah (transenden) dalam Dzat-Nya dan musyabbah (immanen) dalam tajalliy-Nya. Dan meski bersinar selamanya, tak ada yang berkurang dalam matahari (ilahi) itu sendiri.

Demikianlah, kadar keilahian manusia–sebagai tajalliy/tanazzul/faydh (emanasi) Allah Swt.—dalam hirarki wujud tergantung kedekatannya dengan sumber sinar. Makin dekat, makin terang. Makin intens wujudnya. Makin jauh, makin kurang intens.

Berbeda dengan makhluk-makhluk lain, khusus manusia, ia bisa naik turun dalam hirarki wujud itu, dengan melakukan mujahadah dan riyadhah, dalam upayanya menanamkan akhlak Allah (sebagai sumber, sebagai matahari, sebagai Cahaya di atas Cahaya) dalam dirinya. At-takhalluq bi akhlaq Allah (berakhlak dengan akhlak Allah), demikian sabda Nabi Saw.

Inilah tasawuf (atau tazkiyah al-nafs).

Pada kenyataannya, ada yang bisa menjadi wali, tapi ada juga yang keberadaannya dalam hirarki wujud begitu rendah, seperti hewan, bahkan lebih rendah lagi.

Tambahan:

Martabat wujud (martabat tajalliyat/tanazullat):

Dzat al-Wujud

Ghayb al-ghuyub

(Sepenuhnya Ghayb)

|

Ahadiyah

(Ketunggalan)

|

Wahdah

(Nur Muhammad)

|

Wahidiyah

Kemajemukan

(Asma’ dan Sifat)

|

A’yan Tsaabitah

(Model-model/Arketip-arketip Ciptaan)

|

———————

Alam Ruh/Akal

(Jabarut)

|

Alam Barzakh (Malakut/Mitsal)

|

Alam Syahadah

(Empiris/Dunia)

PH/IslamIndonesia/Foto utama: Mizan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *