Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 18 September 2021

Kolom Haidar Bagir Alhabsyi: Bagai Daun-Daun Kering Tertiup Angin di Makkah dan Madinah (1)


islamindonesia.id – Kolom Haidar Bagir Alhabsyi: Bagai Daun-Daun Kering Tertiup Angin di Makkah dan Madinah (1)

Bagai Daun-Daun Kering Tertiup Angin di Makkah dan Madinah (1)

Oleh Haidar Bagir Alhabsyi | Presiden Direktur Kelompok Mizan, penulis buku-buku tentang Tasawuf, dan Dai Islam Cinta

Kalau tak salah ingat, waktu itu adalah tahun 1986. Umur saya 29 tahun. Saya diundang The Muslim Institute London untuk sebuah konferensi Islam. Muslim Institute adalah suatu organisasi Islam, pimpinan almarhum Dr. Kalim Siddiqui, yang berbasis di London.

Lembaga ini juga dikenal sebagai penerbit tabloid The Crescent, yang penyebarannya cukup luas di dunia Islam. Sebuah organisasi yang minatnya sampai ke kajian tafsir Alquran, tapi fokusnya adalah pada situasi politik Dunia Islam, khususnya pada masalah ketertindasan Dunia Islam oleh Barat, atau proxy-nya.

Memang, tak ayal, The Muslim Institute di bawah Dr. Kalim Siddiqui adalah sebuah organisasi revolusioner. Meski tak jarang kritis juga, The Muslim Institute juga mengagumi Revolusi Islam Iran.

Inilah kesempatan bagi saya untuk mengunjungi Eropa untuk pertama kalinya. Maka, saya pun ingin menjadikan kunjungan saya ini bukan hanya ke Inggris, tapi – jika mungkin – ke negara Eropa lain.

Belakangan saya baru sadar bahwa waktu perjalanan saya itu dekat sekali dengan bulan Dzulhijah alias musim haji. Kenapa tak saya manfaatkan saja sekalian, pikir saya lagi? Cara berpikir saya dalam hal-hal begini selalu sangat simpel. Persisnya, agak menggampangkan, kalau tak mau dibilang ceroboh. 

Saya waktu itu bahkan tak tahu bahwa melaksanakan ibadah haji mengharuskan kita memiliki syekh pengatur perjalanan haji dan pemasok semua fasilitas yang diperlukan, yang menuntut bayaran mahal.

Soal visa masih bisa diatasi, karena kebetulan ayah mertua saya bekerja di Kedutaan Saudi sehingga, dibantu juga oleh seorang wartawan senior, saya bisa mendapatkan Faskim (Fasilitas Keimigrasian), yang memungkinkan saya berhaji dengan visa kunjungan, alias tanpa visa haji. Lalu saya nekat mau mampir ke Mesir juga. Belum juga saya ingin mampir ke Belanda….

Nekat, benar-benar nekat. Saya tak berpikir panjang bahwa berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri lain membutuhkan biaya tinggi, bahkan pun jika saya punya tiket pesawat dan tempat menumpang. Apalagi jika tak punya tempat menumpang?

London, pada khususnya, adalah kota yang amat mahal. Ketika suatu saat setelah itu berkunjung ke sana dengan bekal uang cukup pun, saya harus benar-benar hati-hati dalam memilih hotel dan tempat makan.

Apalagi waktu itu, saya praktis tak punya tabungan sama sekali.

Tapi saya tetap saja nekat. Untungnya di Belanda, persisnya di Den Haag, ada adik nenek saya yang jadi Kuasa Usaha Kedutaan Besar kita. Saya bisa numpang, dong?

Di Mesir juga ada sepupu saya yang sedang bersekolah di Universitas al-Azhar. Di Makkah memang ada sepupu ayah saya. Tapi saya kan juga mesti ke Madinah?

Tak terbayang pada diri saya untuk pergi haji tanpa menyambangi Makam Nabi saw. Mustahil, bahkan betapa bodohnya?

Kecerobohan saya tak hanya sampai di situ saja. Saya bahkan memutuskan mengajak istri saya – kami waktu itu belum memiliki anak setelah menikah selama empat tahun. Tapi, rencananya, istri saya akan menyusul ke Saudi langsung, dan bertemu saya di sana, setelah saya ke London, Belanda (Den Haag), dan Kairo.

Mertua saya yang lebih berpengalaman pada waktu itu kiranya lebih memahami bahwa berangkat sendiri-sendiri dan bertemu di Saudi lebih rumit, bahkan mungkin berisiko. Apalagi waktu itu istri saya juga belum berpengalaman bepergian ke luar negeri. Akhirnya mertua saya memutuskan menambah dana saya sekadar agar istri saya bisa berangkat bersama saya ke semua tempat tujuan itu.

Dan saya bahagia-bahagia saja. Makin bahagia malah karena istri saya bisa ikut serta di sepanjang perjalanan. Tanpa membayangkan bahwa bekal saya bisa habis di tengah jalan, belum lagi saya tak memiliki dana untuk membayar syekh haji, yang tentang soal ini pun saya malah tak punya bayangan sama sekali. Saya pikir, asal sudah sampai Makkah, saya bisa haji begitu saja, dengan inisiatif sendiri, mungkin ikut rombongan backpacker atau bagaimana…

Saya pun berangkat bersama istri saya ke London. Nanti saat konferensi, selama dua hari kami masih akan dapat biaya menginap dari panitia. Tapi setelah itu bagaimana?

Tak ada pula info tentang tempat menginap (panitia hanya memberi bekal dana sedikit dan menyerahkan hal itu kepada peserta). Kalau pun ada, apakah ada dana cukup untuk pembayarnya, mengingat setelah konferensi saya masih akan tinggal beberapa hari lagi di kota ini?

Saya tenang-tenang saja justru karena tak tahu apa-apa. Kalau pun ada info yang bermanfaat, maka itu adalah alamat sebuah keluarga asal Indonesia, yang bisa kami hubungi untuk mungkin mencari info atau pertolongan apa saja yang mungkin kami butuhkan.

Di hari keberangkatan, kami mengalami sedikit persoalan di BandaraJakarta, karena petugas terheran-heran melihat saya bersama istri saya yang berbusana Muslimah ikut antri naik pesawat ke Eropa di musim haji (maklum perempuan berkerudung belum sebanyak sekarang pada waktu itu).

Tampaknya memang si petugas curiga bahwa kami adalah calon haji tanpa visa yang mau pergi haji lewat negara lain. Si petugas pun meminta kami keluar antrian. Dia pun merasa benar karena melihat ada faskim di paspor saya.

Saya pun dibawa menemui pimpinannya di suatu ruangan. Untungnya masalah bisa segera saya selesaikan ketika saya jelaskan bahwa visa saya peroleh sebagai fasilitas yang diberikan Kedubes Saudi kepada kami, setelah kami memiliki faskim.

Pesawat kami mendarat di Bandara Heathrow. Setelah proses imigrasi selesai, kami keluar dari bandara dan naik taksi. Mulai saat itu masalah sudah timbul, mau ke manakah kami? Ke hotel apa?

Dalam kebingungan, kami memutuskan untuk mampir dulu ke tempat keluarga Indonesia yang alamatnya ada pada kami tersebut. Maka tak lama kemudian, kami sampai di depan rumahnya. Tanpa appointment, tanpa pemberitahuan, sedang kami sama sekali tak mengenal keluarga ini.

Kami pun memencet bel yang ada di depan rumah. Segera saja seorang perempuan ramah membukakan pintu. Lalu kami memperkenalkan diri, dan disilakan masuk dengan penuh keramahan. Segera kami dipertemukan dengan suami si perempuan, dan tiga anak kecil mereka yang lucu-lucu.

Tapi, betapa pun juga, kepala saya masih dipenuhi pertanyaan: dari sini mau ke mana? Ke penginapan mana? Apakah uang kami cukup? Kalau tidak bagaimana? Apa yang mesti saya perbuat? []

Bersambung bagian 2.

PH/IslamIndonesia/Foto utama: haidarbagir.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *