Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 20 July 2021

Kolom Haidar Bagir Alhabsyi: Pelajaran Hidup dari Pekuburan


islamindonesia.id – Kolom Haidar Bagir Alhabsyi: Pelajaran Hidup dari Pekuburan

Pelajaran Hidup dari Pekuburan

Oleh Haidar Bagir Alhabsyi | Presiden Direktur Kelompok Mizan, penulis buku-buku tentang Tasawuf, dan Dai Islam Cinta

Hari ini saya ikut mengantar kerabat yang meninggal dunia. Dari situ, sekali lagi saya melihat kematian dari jarak dekat, saya mendapat pelajaran berharga. Betapa tidak? Bukankah Rasul saw mengajarkan kepada kita: “Siapa yang baginya kematian tidak menjadi nasihat, maka tak akan ada lagi nasihat yang bermanfaat baginya.”

Tapi, berangkat dari sebuah hadis lain lagi tentang kematian, kali ini saya akan mengambil pelajaran lain lagi pula. Dan lebih penting.

Kata Sang Nabi: “Bicarakanlah hal-hal yang baik tentang orang-orang yang wafat di antaramu.” Tentu, mungkin seperti banyak di antara pembaca tulisan sederhana ini, saya sudah sering mendengar hadis ini. Tentu saja saya juga selalu terkesan mendengarnya. Khususnya dari segi kesantunan (adab) dan nada welas asih Nabi kita.

Tapi hari ini, dari sebuah pekuburan di Cimanggis, dari sebuah prosesi pemakaman yang dihadiri pelayat yang jumlahnya hanya sedikit lebih dari sepuluh orang ini, hadis tersebut bicara jauh lebih banyak kepada saya. Baiklah saya daftar di bawah ini mutiara-mutiara hadis yang baru saya temukan ini.

Pertama, Nabi Kasih Sayang ini mengajarkan kita agar berempati pada kedukaan keluarga yang ditinggalkan dan membesarkan hati mereka dengan penyebutan kebaikan-kebaikan mayit mereka.

Kedua, benar, hadis ini mengajarkan agar kita selalu bersangka baik pada orang lain. Jangankan kepada orang yang istimewa, bahkan kepada orang yang dianggap tak punya pencapaian luar biasa.

Nabi seperti ingin mengajarkan agar kita berkonsentrasi pada kebaikan orang lain, dan bersangka baik kepada mereka. Seperti akan kita lihat di bawah ini, bisa jadi penyebutan-penyebutan kebaikan orang itu membuka tabir keluarbiasaannya, yang selama ini tak kita lihat karena kejumawaan kita.

Ketiga, masih tentang sangka baik. Ajaran untuk berbicara baik tentang orang yang sudah meninggal kiranya juga penting di dalam mensugesti diri kita agar terus bersangka baik kepada Allah: “Aku tergantung sangka baik hamba-hambaku tentang-Ku. Karena itu bersangka-baiklah kepada-Ku.”

Maka kita harus bersangka baik bahwa Allah Sang Welas Asih dan Dermawan akan selalu lebih melihat kebaikan-kebaikan orang dan melipatgandakan pahala kebaikannya, serta memaafkan semua dosanya – sebagaimana banyak firman-Nya yang tersebar di Kitab-Suci-Nya. Bukankah Allah sendiri berfirman bahwa “Dia mengampuni dosa seluruhnya”?

Keempat, dan ini barangkali adalah pelajaran paling penting dalam konteks kematian sebagai nasihat ini. Apakah itu? Dengan berbicara tentang kebaikan-kebaikan si mayit, kita seperti dipaksa menyusun benchmark/standar penilaian tinggi untuk diri kita. Kita seperti dipaksa untuk raise the bar higher (menaikkan standar kualitas kebaikan) kita pada saat berbicara tentang kebaikan-kebaikan orang lain.

Tadi saya diminta menyambut sebagai wakil keluarga. Hanya beberapa menit, dan tak ada hal penting yang saya sampaikan, kecuali menyebut kebaikan-kebaikan si mayit, dan berterima kasih kepada penyelenggara jenazah yang dengan amat baik hati dan tanpa pamrih mengurusi jenazah itu dengan sebaik-baiknya.

Dan, setelah beberapa kali diminta memberikan sambutan atau sedikit sajian nasihat kebaikan di beberapa kesempatan prosesi pemakaman, saya seperti disadarkan bahwa sesungguhnya banyak orang yang biasa-biasa dan sederhana-sederhana saja di mata banyak orang, serta tak banyak mengundang puja-puji – termasuk di mata saya yang sombong ini – sesungguhhnya memiliki jauh lebih banyak kebaikan daripada yang saya bayangkan dengan ceroboh sebelumnya.

Bahwa dalam ke-biasa-an dan kesederhanaan mereka itu sesungguhnya banyak kebaikan telah mereka lakukan yang, bisa jadi, justru lebih sejalan dengan kemauan Pencipta mereka, dan keridhaan Sesembahan mereka.

Tiba-tiba saja, dengan menyebut kebaikan-kebaikan yang terlahir dari kesederhanaan itu, saya seperti disadarkan bahwa hidup dengan sederhana dan lempeng-lempeng saja lebih menjamin keselamatan kita di mata Allah Swt.

Bahwa kehidupan saya yang tak jarang diwarnai puja puji – atas pencapaian intelektual saya, atau (apa yang tampak sebagai) amal-amal sosial saya, bahkan keberhasilan bisnis saya – sebetulnya jauh lebih berisiko untuk jatuh ke dalam kehampaan nilai karena mengandung jebakan besar pamrih, riya, bahkan materialistik belaka.

Bukan saja sudah merupakan dosa dalam dirinya, itu semua juga berisiko saya mengidap penyakit panjang angan-angan (thul amal) yang membuat saya kehilangan semangat dan meremehkan amal-amal yang sebetulnya tak bisa saya abaikan, akibat sudah merasa baik dan disenangi Allah Swt.

Sehingga, pada akhirnya, terlalu sembrono jika saya menganggap diri saya sudah baik, apalagi kalau kemudian – secara sadar atau tidak – meremehkan “orang-orang biasa dan sederhana” itu (ketika menulis ungkapan yang saya taruh dalam dua tanda petik ini pun, sekarang saya merasakan malu yang sangat).

………

Maka pekuburan telah memberikan pelajaran kehidupan yang luar biasa berharga bagi saya: Selalu bersangka baiklah kepada orang lain – dan, lebih dari itu, bahwa bisa jadi orang lain kenyataannya memang jauh lebih baik dari saya.

Dan selalu pandang-rendahlah dirimu, agar kau tak keliru mengganggap baik dirimu padahal sebenarnya kau punya lebih banyak kekurangan ketimbang kebaikan….

Terima kasih, pekuburan…. []

PH/IslamIndonesia/Foto utama: Detik/Rengga Sancaya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *