Satu Islam Untuk Semua

Friday, 10 December 2021

Haidar Bagir: Tak Sembarangan Menerapkan Syariah, Apalagi Hudud, di Mana Saja, di Masa Sekarang


islamindonesia.id – Haidar Bagir: Tak Sembarangan Menerapkan Syariah, Apalagi Hudud, di Mana Saja, di Masa Sekarang

Pertama, apa itu syariah? Dalam arti luas syariah identik dengan agama (din) itu sendiri. Tapi, dalam arti yang lebih sempit, syariah bermakna aspek praktis-legal agama. Menyangkut fikih – ibadah (mahdhah), muamalah, dan akhwal syakhshiyah – termasuk hudud/ta’zir. Yang kita bicarakan saat ini adalah syariah dalam makna yang lebih sempit ini.

Dalam konteks ini, selain substansi/materi syariah yang bersifat statis, ada maqashid (tujuan) syariah yang bersifat lebih dinamis. Nah, terkait dengan syariah dalam makna hukum ini, ada hukum yg bersifat ta’abbudi (terkait ibadah mahdhah/praktis, yang relatif permanen/statis) itu, ada syariah yg ta’lili, yang pemberlakuannya bisa berubah sesuai perubahan konteks. Yakni, terkait keberadaan atau ketiadaan ‘Illah (ratio legis) – baik terkait tempat (budaya) maupun waktu (perkembangan zaman). Jika alasan diberlakukannya suatu hukum pada awalnya, yakni di zaman Nabi Saw, juga ada di zaman yang di dalamnya suatu hukum dipertimbangkan untuk diberlakukan, maka barulah suatu hukum bisa diberlakukan.

Begitu pun, yang mestinya didulukan adalah pencapaian maqashid. Menurut Imam Syatibi, maqashid syar’iyah meliputi lima hal: Perlindungan agama, perlindungan akal, perlindungan nyawa; perlindungan harta, dan perlindungan keturunan.

Maqashid syariah, kadang, juga diidentikkan dengan ideal moral, khususnya dalam menegakkan kebaikan dan menebarkan rahmah (welas asih) kepada seluruh alam.

Jadi, dalam hal yang ta’lili ini, yang lebih penting adalah ketercapaian maqashid syariah atau ideal moral ini. Karena, bukankah memang tujuan risalah Islam adalah penyempurnaan akhlak dan penebaran rahmah?

Maka, selama maqashid atau ideal moral ini tercapai, tercapai jugalah tujuan pemberlakuan syariah, meski substansinya tak sepenuhnya sejalan dengan bahan-bahan tekstual. Dalam hal ini, yang lebih penting adalah pengembangan “Sunah” – menurut pengertian, antara lain, Fazlur Rahman, dan lain-lain – yang mengambil bentuk hukum/adat (kebiasaan) baru yang diperkembangkan masyarakat Muslim merujuk kepada maqashid syariah atau ideal moral tersebut.

Begitu pentingnya maqashid, sampai-sampai seorang ulama Sudan – Mahmud Muhammad Thaha – sampai sejauh berpendapat bahwa bagian Alquran, yang ayat-ayatnya bersifat Madaniyah, sudah tak lagi mengikat karena eratnya hubungan dengan situasi politik sesaat (political expedienciea) zaman itu. Berbeda halnya dengan ayat-ayat Makkiyah yang dianggapnya lebih beraifat universal.

Akhirnya, apa pun pemahaman kita tentang syariah dan pemberlakuannya, ia tak bisa diterapkan oleh sembarang Muslim. Apalagi dengan cara main hakim sendiri. Nah, siapakah yang berhak memutuskan dan menerapkan hukum mana dari syari’ah yang bisa diberlakukan, di suatu temlat atau masa? Hanya pemimpin masyarakat Muslim, yang memiliki kapasitas keulamaan – di bidang syariah – dan kapasitas kepemimpinan saja yang berhak. Semua masalah hukum harus dibawa kepada mereka untuk diputuskan menuruti adab dan tatanan politik kemasyarakatan yang sesuai  bisa diterima.

Pada kenyataannya, di zaman Nabi Saw, Nabi sendirilah yang menempati posisi ini. Semua pemberlakuan hukum dibawa kepada beliau dan diputuskan oleh beliau sendiri. Tak ada orang yang bisa memutuskan dan memberlakukan hukum kecuali beliau atau atas reatu beliau Lalu diteruskan oleh para Khulafa’ Rasyidin, sebelum kemudian kekuasaan diambil oleh para politikus sekuler pascamereka – betapa pun mereka resminya menyandang gelar khalifah, amir, dan sebagainya.

Dalam kasus negara berdasar syariah seperti ini, hanya otang-orang yang memiliki kapasitas keulamaan sajalah, yang seharusnya menempati posisi kepemimpinan dalam bidang ini, termasuk di dalamnya para qadhi, mufti, atau syaikhul Islam, dan sebagainya. Mereka inilah yang berhak memutuskan dan menyimpulkan apakah sesuatu itu bersifat ta’abbudi atau ta’alli, dan apakah ia sesuai dengan maqashid atau ideal moral jika diberlakukan? Dengan kata lain, mereka  yang memang memiliki/diberi otoritas penerapan hukum resmi yang diakui. Sekali lagi, bukan sembarang orang, apalagi gerombolan tanpa aturan (mob), yg hanya bisa mengandalkan amuk masaa saja.

Bagaimana halnya dengan di negara demokratis-sekular?

Dalam kasus seperti ini, orang-orang yg memiliki aspirasi pemberlakuan syariah mesti mengupayakannya via konsensus melalui mekanisme demokratis. Dengan kata lain, syariah hanya memiliki efektivitas jika sudah diadopsi sebagai hukum positif negara. Dan justru dengan cara ini pemberlakukan syariah bisa mendapatkan basis dukungan yang lebih luas dalam suasana damai – mengingat pendapat terkait syariah/hukum dalam Islam biasanya amat bervariasi dan beragam. Otherwise, ada risiko besar pecah konflik internal jika ia tak diakomodasi dalam suatu proses musyawarah-demokratis. Pemikiran tentang hal yang disebut belakangan ini diuraikan dengan sangat baik dan masuk akal antara lain oleh Abdullahi am-Naim – yang “kebetulan” adalah murid Syaikh Mahmud Muhammad Thaha yang disebut sebelumnya.

AL/IslamIndonesia/Foto utama: Islami.co

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *