Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 17 January 2018

Tradisi ‘Penaklukan’ Laut dalam Peradaban Islam


islamindonesia.id – Tradisi ‘Penaklukan’ Laut dalam Peradaban Islam

 

’’Laut adalah makhluk yang sangat besar yang di atasnya makhluk-makhluk kecil berlayar, seperti ulat berada di atas kayu.”

Kalimat itu diucapkan Amr Ibn al-Ash kepada Khalifah Umar Ibn Khattab sebagai nasihat agar tidak menggunakan kapal sebagai sarana peperangan.

Amr ketika itu menjadi komandan pasukan perang di Mesir yang baru saja ditaklukkan. Kalimat yang kemudian dikutip oleh sejarawan Ibn Khaldun itu menjelaskan ketidaksiapan pasukan Muslim ketika itu menghadapi musuh di laut. Teknologi kapal yang dimiliki belum mumpuni.

Barulah ketika para ahli pembuat kapal dari Bizantium (Romawi Timur), Persia, dan Koptik (Mesir) diundang oleh pemerintah Muslim untuk menyumbangkan pengetahuannya, penggunaan kekuatan maritim mulai dirintis di Dunia Islam. Banyak dari ahli pembuat kapal yang direkrut pemerintah Islam yang baru berdiri seumur jagung itu sudah mempunyai tradisi maritim yang panjang. Keahlian mereka yang diperoleh turun-temurun menjadi andalan untuk memenuhi kebutuhan kapal-kapal perang Muslim pertama.

Tradisi penjelajahan laut dan pembuatan kapal telah menjadi budaya yang melekat pada berbagai peradaban tua di Laut Tengah, Mesopotamia, Samudra Hindia, dan Teluk Persia sebelum hadirnya Islam. Budaya laut di pesisir Samudra Hindia terpisah dari budaya di Laut Tengah meskipun kontak dengan Mesir dan Levant (pesisir timur Mediterania) lewat Laut Merah juga berlangsung. Di tengah-tengah peradaban tua inilah terletak Semenanjung Arabia yang menjadi jantung utama peradaban Islam awal.

Kapal pada awalnya masih sederhana. Desain ditentukan oleh kebutuhan ekonomis, seperti jumlah awak, kargo, dan jarak jelajah. Lalu, ada faktor lingkungan, seperti cuaca, musim, dan faktor topografi, seperti kondisi perairan dan letak. Berbagai jenis kayu dipakai untuk membangun kapal. Bangsa Mesir sejak ribuan tahun sudah memakai kayu cedar dari Lebanon serta akasia, tamarisk, sycamor, mulberry, pinus, dan sidir.

Bangsa Mesopotamia menggunakan kayu cypress dan juniper. Kayu oak yang sangat kuat banyak dipakai untuk membangun lunas karena kapal kala itu banyak yang harus mampu menggasak pasir untuk mendarat di pantai. Kayu jati dari Asia Tenggara juga ditemui pada kapal-kapal di Timur Tengah.

Perahu paling sederhana adalah rakit. Orang Mesopotamia menggunakan kayu gelondongan yang diperkuat pelampung dari kulit hewan untuk mengarungi Sungai Eufrat dan Tigris. Di Dunia Islam, salah satu contoh wahana paling sederhana ini adalah rakit kelek (aklak atau kalaku) yang menjelajahi Sungai Tigris dari Mosul menuju Baghdad.

Kelek dibuat dari kayu yang diikat dengan anyaman sejenis rumput gajah atau alang-alang dan dilengkapi pelampung dari kulit kambing untuk memperkuat alang-alang dan menambah daya apung. Kelek dibuat menggunakan barisan kayu poplar yang diletakkan membujur dan menyilang dan di sela-selanya ditutup dengan rumput gajah atau alang-alang. Setelah itu, di bawahnya diletakkan pelampung dari kulit binatang yang diikat dengan tali. Jumlah kulit binatang yang dibutuhkan bisa mencapai ratusan untuk kelek besar pengangkut barang-barang komersial. Namun, kelek ini hanya bisa digunakan untuk berlayar ke hilir dari Mosul ke Baghdad karena sulit berlayar melawan arus sungai. Setelah sampai tujuan, kelek akan dibongkar dan diangkut dengan unta menuju hilir lagi.

Untuk perahu kecil, bentuk paling sederhana adalah perahu lesung yang dibuat dari kayu utuh yang dipahat dari India. Orang Oman menyebutnya huri dan Persia mengenalnya sebagai belem. Perahu lesung yang terkenal dari Malabar terbuat dari kayu pohon mangga.

Orang Arab juga mengenal perahu Sumeria yang dibuat dari alang-alang yang banyak ditemui di rawa-rawa Delta Eufrat dan Tigris yang disebut chalabiyya. Orang Mesir kuno memakai papirus. Orang Arab di Oman pun mengembangkan versinya sendiri yang dibuat dari daun kurma yang disebut sebagai wariyya. Versi lebih modern dibuat dari pelepah pohon kurma yang disebut shasha. Pelepah kurma direndam dalam air laut selama empat hari sampai sebulan bergantung pada kondisi cuaca hingga lunak dan kemudian dibuat sebagai anyaman untuk badan perahu.

 

EH / Islam Indonesia

One response to “Tradisi ‘Penaklukan’ Laut dalam Peradaban Islam”

  1. […] Laut adalah makhluk yang sangat besar yang di atasnya makhluk-makhluk kecil berlayar, seperti ulat berada di atas kayu.” Kalimat itu diucapkan Amr Ibn al-Ash kepada Khalifah Umar Ibn Khattab sebagai nasihat agar tidak menggunakan kapal sebagai sarana peperangan. Amr ketika itu menjadi komandan pasukan perang di Mesir yang baru saja ditaklukkan. Kalimat yang kemudian dikutip oleh sejarawan Ibn Khaldun itu menjelaskan ketidaksiapan pasukan Muslim ketika itu menghadapi musuh di laut. Teknologi kapal yang dimiliki belum mumpuni. […]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *