Satu Islam Untuk Semua

Monday, 10 January 2022

Tak Perlu Tendang Sesajen dengan Rasa Benci, Pakai Jurus Dakwah ‘Tut Wuri Hangiseni’ para Wali Ajak Berislam Sukarela dan Senang Hati


islamindonesia.id – Beberapa hari terakhir ini, beredar viral sebuah video yang menunjukkan seorang diduga relawan di area bencana Gunung Semeru menendang dan membuang semacam sesajen sambil mengeluarkan sumpah serapah bernada kesal diiringi teriakan takbir. Padahal sesajen tersebut sengaja dibuat oleh warga setempat sesuai dengan kepercayaan dan tradisi mereka, yakni berupa semacam persembahan kepada Sang Pencipta, saat mereka berharap keselamatan dari bencana.

Banyak pihak mengecam perbuatan si penendang sesajen dalam video itu, tak terkecuali Bupati Lumajang sendiri yang bahkan meminta aparat dan masyarakat menangkap orang yang dianggap telah melakukan perbuatan tak terpuji karena terkesan tak menghargai keberagaman dan budaya saling berdampingan antarumat beragama dan berkeyakinan di wilayah yang dipimpinnya tersebut.

Sebagian pihak juga menilai bahwa perbuatan pelaku dalam video tersebut menunjukkan sikap intoleransi dan arogansi yang diduga timbul akibat yang bersangkutan merasa paling benar sendiri dan pada saat yang sama, berhak merendahkan keyakinan orang lain.

Mengapa hal itu bisa terjadi? Bukankah para wali di Tanah Jawa pada masa lalu dalam mendakwahkan Islam justru menggunakan prinsip utama Tut Wuri Hangiseni? Lalu mengapa prinsip dakwah serupa tidak diterapkan saat ini?

Tidak seperti Tut Wuri Handayani, kalimat Tut Wuri Hangiseni mungkin masih jarang terdengar di telinga masyarakat Indonesia. Padahal inilah strategi yang digunakan oleh para wali (khususnya di Tanah Jawa) saat ingin menarik hati masyarakat untuk masuk Islam tanpa paksaan, melainkan dengan sukarela dan senang hati.

Artinya, jika Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara dikenal dengan falsafah kependidikannya yakni Tut Wuri Handayani, maka para wali dalam memperkenalkan dan mengembangkan agama Islam di Pulau Jawa berpedoman pada falsafah Tut Wuri Hangiseni. Maksudnya, dalam melakukan dakwah para wali berkeinginan ikut mewarnai tradisi atau budaya yang telah ada di tengah masyarakat dengan corak keislaman. Mengisinya dengan nilai-nilai Islami, sehingga terjadilah proses akulturasi budaya.

Akulturasi budaya itu demikian intens dilakukan para wali, sehingga masyarakat Jawa bisa menerima agama Islam dengan tangan dan hati terbuka.

Dengan cara dakwah damai semacam ini, para wali ingin menekankan bahwa Islam dengan kebudayaan itu tidak bertolak belakang. Islam itu luwes. Tidak ada persoalan dalam hal akulturasi, perpaduan kebudayaan dalam Islam dengan kebudayaan setempat. Namun, dalam hal-hal yang bersifat sinkretisme, percampuran kepercayaan, Islam tetap melarangnya dengan tegas.

Bahwa para wali tidak mempunyai sikap menentang, memusuhi serta berusaha menghilangkan budaya setempat, tersaksikan dari naskah kuno Astana Tuban yang dipercaya sebagai notulen para wali. Di dalam naskah itu antara lain termaktub pengertian yang menyiratkan dalam menyiarkan agama Islam para wali berpedoman pada falsafah Tut Wuri Hangiseni, supoyo sanak kadang lega legawa manjing ing Islam.

Naskah kuno itu mencerminkan serta memberikan bukti bahwa dalam berdakwah, para wali melakukannya dengan berbagai cara asal tidak bertentangan dengan kaidah Islam. Cara dimaksud antara lain lewat media sekaten, yang menggunakan gamelan sebagai alat untuk mengumpulkan massa.

Dalam memperkenalkan dan mengembangkan agama Islam, para wali juga banyak menggunakan simbol-simbol yang telah ada, atau menciptakan simbol-simbol baru. Sehingga yang berkembang di Pulau Jawa itu seni budaya yang diwarnai simbol-simbol keislaman. Misalnya, baju takwa yang menunjukkan bahwa pemakainya adalah orang-orang yang dalam keadaan takwa kepada Allah. Atau paling tidak, sedang berusaha menggapai nilai ketakwaan.

Simbol-simbol itu, banyak terdapat juga dalam bangunan masjid. Salah satunya, di Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta, simbol itu bermula dari gapura yang merupakan pintu masuk kawasan masjid. Kata gapura itu berasal dari kata Arab ghafura yang bermakna ampunan. Sementara tembok masjid dihiasi dengan ornamen buah waluh yang bermakna Allah karena tempat ibadah itu merupakan rumah Allah. Sedangkan tiang-tiang serambi masjid dihiasi dengan ragam dedaunan yang bertuliskan Ar-Rahman Ar-Rahim yang merupakan sifat-sifat utama Allah.

Simbol-simbol itu juga terdapat di Masjid Agung Demak. Di dinding depan mihrab, pengimaman, terdapat lambang binatang bulus yang mengandung 2 macam makna. Pertama, sebagai adagium Jawa yang menyiratkan makna wong kang mlebu masjid kudu alus, atau orang yang masuk masjid harus dalam keadaan suci. Kedua, berfungsi sebagai condro sengkolo yang berbunyi sariro sunyi kiblating gusti atau tahun Jawa 1401 Saka identik dengan tahun 1479 Masehi untuk menandai purna pugar masjid Kasultanan Bintoro. Selain gambar bulus, di dinding bagian atas pengimaman juga terdapat lambang Surya Majapahit, akar mimang, piringan Putri Campa, serta huruf-huruf Ilahiyah.

Lebih lanjut, prinsip dakwah Tut Wuri Hangiseni berarti jalan di belakang sambil mengisi. Maknanya, para ulama tidak bicara dengan nada paksaan, harus begini dan harus begitu, melainkan mengajarkan agama Islam dengan cara yang tidak kentara atau samar tapi kontinyu dan mendalam.

Salah satu contohnya adalah Sunan Bonang yang dikenal sebagai Sunan yang suka berdakwah dengan musik gamelan. Guru Sunan Kalijaga inilah yang menciptakan alat musik Bonang, Kenong dan Bende.

Bukti keberhasilan dakwah dengan cara Tut Wuri Hangiseni bisa dilihat dengan berbondong-bondongnya masyarakat pindah dari agama sebelumnya ke agama Islam dengan damai. Terbukti, candi Prambanan peninggalan zaman Hindu dan Candi Borobudur peninggalan agama Budha tetap tegak hingga kini.

Hal itu dinilai sebagai keberhasilan dakwah Islam dengan cara Tut Wuri Hangiseni, bukan dengan cara indoktrinasi. Sebab indoktrinasi menanamkan gagasan baru ke jiwa orang lain (dengan paksa). Akibatnya gagasan baru tersebut akan ditelan mentah-mentah, tidak dicerna oleh pikiran dan rasa. Akibatnya, si penerima akan cenderung beragama dengan cara kaku dan pada gilirannya juga akan suka memaksakan pandangan dan keyakinannya kepada pihak lain karena merasa seolah paling benar sendiri.

EH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *