Satu Islam Untuk Semua

Monday, 03 August 2015

SURAT dari KUDUS – Menikmati Shalawat & Tembang Kesadaran Diri Orang Desa


Halaman masjid Al Wustho, Kudus, nampak semarak. Warna-warni lampu menambah kesan megah mesjid tua di pinggiran Kota Jenang, Minggu malam. Ribuan orang jamaah masjid kompak melantunkan shalawatan dalam sebuah pentas seni yang meghadirkan budayawan Emha “Cak Nun” Ainun Najib dan group musik binaannya, Kiai Kanjeng. Pentas itu bertajuk “Sinau Bareng bersama Cak Nun dan KiaiKanjeng”. Sinau, dalam bahasa Jawa berarti belajar’.

Masjid Al Wustho terletak di Desa Piji Kecamatan Dawe, sekitar enam kilometer dari makam Sunan Kudus. Acara yang digagas Organisasi Remaja Masjid Al Wustho itu bertujuan mengajak masyarakat Piji memakmurkan masjid melalui shalawatan dan “pendekatan budaya”.

Cak Nun membuka acara malam itu dengan menyampaikan “dasar-dasar hidup nan sederhana”. Cak Nun mengajak jamaah yang hadir agar belajar menempatkan yang nomor satu pada nomor satu, nomor dua pada nomor dua begitu seterusnya. “Dan jangan dibolak-balik,” katanya.

Jamaah yang memadati halaman masjid datang dari berbagai pelosok desa di Kudus, bahkan dari kota Jepara, Demak dan Pati. Cak Nun menanyakan apakah masyarakat Piji masih menjalankan tradisi pujian, dzibaan, berjanjen dan budaya-budaya masa silam? Sontak para hadirin menjawab “masih”.

“Semua tradisi tadi tidak wajib, tetapi daripada nganggur atau ngrasani tetangga, lebih baik melantunkan pepujian itu,” kata Cak Nun.

Sinau Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng tak afdhol jika tak diselingi sholawatan. Kemudian beliau meminta salah satu di antara jamaah melantunkan shalawat yang ada di Al Barzanji, dilanjut “Shalatullah Salamullah” disertai penjelasan dan pelajaran dari shalawat yang dibaca.

“Rusaknya bangsa ini karena kurangnya orang baik dan lebih banyak orang pinter yang kepinteren,” kata Cak Nun. “Namun selama ada ulama yang menjaga martabat bangsa, kita orang-orang kecil akan tetap aman.”

Cak Nun pun mengajak anak-anak kecil untuk berdiri di panggung, kemudian mengetes mereka dengan shalawatan dan melantunkan surat-surat pendek yang mereka hapal. Namun, keberanian mereka belum terlihat. Masih malu-malu laiknya gadis yang akan menerima pinangan.

“Kelemahan pendidikan Islam di kita adalah anak-anak tidak dilatih mengekspresikan diri dengan baik,” katanya.

Setelah anak-anak dilatih dengan hal sederhana agar berani mengekspresikan diri, hasilnya mereka lancar menyanyikan lagu Gundul-gundul Pacul dari Sunan Kali Jaga serta lagu Asmaul Husna.

Cak Nun mengingatkan agar orang tua melatih anak-anak mereka memiliki keberanian dan tidak malu menunjukan bakat diri mereka. Namun saat ini, rasa malu justru hilang dari para pemimpin bangsa ini. “Negara ini rusak karena pemimpinnya tidak punya malu.” kata budayawan dari Jogja ini.

Setelah tanya jawab dengan para hadirin, Cak Nun pun menutup acara malam itu dengan mengajak masyarakat bersholawat dan mengumandangkan tembang kuno “Lir Ilir” dengan beragam nada. Sambil berdiri hadirin hanyut dalam tembang Sunan Kali Jaga itu.

Sebuah tembang yang mengingatkan manusia agar sadar dan bangkit dari keterpurukan hidup. Bangun menuju kesadaran sebagai hamba Allah yang sejati.

MA/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *