Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 07 January 2014

Sinema, Isu Agama, dan Dunia Islam


theguardian.com

Pengaruh film bukan saja terkait dengan soal seni semata, namun juga berkelindan dengan bisnis, politik bahkan agama.

 

Film punya interaksi dan posisi yang cukup unik dengan isu-isu  sosial, politik, dan budaya. Ia mempunyai banyak fungsi dan tujuan, mulai dari alat berekspresi, penyalur gagasan, dan berkreasi (film sebagai seni), menjual tema-tema tertentu (film sebagai bisnis), hingga  sebagai wahana  komunikasi (film sebagai alat propaganda), dan tentu saja irisan ketiganya. Tak terkecuali saat bersentuhan dengan topik (kehidupan ber)agama dan pemeluknya.

Bahkan sejarah hubungan antara film dan isu-isu keagamaan sudah hampir setua umur film itu sendiri. Misalnya The Birth of A Nation(DW Griffith, 1915)  yang kontroversial karena (spoiler alert) berpihak pada kelompok rasisme Klu Klux Klan yang berbasis agama dan merendahkan Afro-Amerika—dan, walaupun laris manis, tapi  dilarang diputar di kota-kota besar seperti Los Angeles dan Chicago. Atau The Jazz Singer (Alan Crosland, 1927), film bicara pertama, yang mengisahkan seorang penyanyi yang dilanda dilemma antara debut pertamanya di Broadway dengan memenuhi harapan orang tuanya untuk memimpin nyanyi di sinagog.  Sedangkan Metropolis (Fritz Lang, 1927) kental dengan semangat khotbah dan penantian sang Ratu Adil yang sangat biblikal.

Tahun 2014 ini saja, setidaknya ada dua kisah nabi versi Perjanjian Lama yang akan difilmkan dengan bujet supermahal: Noah (Nabi Nuh, diperankan Russel Crowe) oleh Darren Arranowksi (sutradara Black Swan) dan Exodus oleh Sir Ridley Scott (sutradara Kingdom of Heaven dan Black Hawk Down) yang mengisahkan kisah Nabi Musa (diperankan oleh Christian Bale).

Bagaimana dengan umat Islam dan Indonesia?  Tentu saja yang legendaris adalah film Ar-Risalah alias The Message yang disutradarai oleh Moustapha Akkad (yang juga menyutradarai Lion of the Dessert, di Hollywood lebih dikenal sebagai  film-film Halloween-nya) tahun 1977. Film ini adalah semacam film wajib bagi aktivis dakwah kampus tahun 1980an dan 1990an. Dan saya dengar, biopic tentang Nabi Muhammad SAW akan diangkat lagi ke layar kaca oleh sutradara Iran terkenal Majid Majidi yang di Indonesia dikenal lewat Children of Heaven (1997).

Di Indonesia, sang peretas tema ini adalah Asrul Sani, baik sebagai sutradara (Titian Serambut Dibelah Tudjuh/1959, Tauhid/1964, Para Perintis Kemerdekaan/1977) dan penulis skenario (Al-Kautsar/1977, Nada dan Dakwah/1991).  Di masa Reformasi, agaknya Hanung Bramantyo yang sering mengangkat topik ini, di antaranya lewat Ayat-Ayat Cinta (2008), Perempuan Berkalung Sorban, dan Sang Pencerah.  Saya ada di konperensi pers AAC, dan menjadi saksi Hanung bergetar terharu karena ada orang non-Islam yang sudi membiayai film itu, sembari bersyukur karena akhirnya ia menunaikan pesan ibunya untuk “memfilmkan agamamu”.  Singkat cerita, AAC memicu tumbuhnya tren “film Islami” dan juga kajian terhadapnya. Novelis Habiburrahman Syairazi termasuk yang aktif menulis scenario bahkan menyutradarai satu  film.. Tak sedikit pula epigon alias pengikutnya yang mutunya pas-pasan. Puncaknya barangkali adalah Sang Kyai yang Berjaya di FFI tahun lalu.

Tentu, kita juga tak boleh melupakan film-film seperti seri Wali Songo atau Jaka Sembung atau sebagian fillm-film Rhoma Irama. Dari pendekatan seni, ada Kantata Takwa yang menurut saya adalah salah satu film terbaik Indonesia sepanjang masa.Dan film seperti Laskar Pelangi yang tidak diberi cap “islami” juga layak dikaji sebagai film yang mengangkat representasi problematika umat Islam, dalam hal ini Muhamadiyah di Belitung .  atau film semacam Bukan Cinta Biasa.

Sebagaimana disebut diatas, sineas yang meggarap karya bertema keislaman, atau representasi umat Islam, mempunyai fungsi sebagai seniman, pebisnis, dan  pendakwah (propagandis). Ketiga elemen ini mau tidak mau harus hadir bersama dalam sebuah tim pembuat film, dengan derajat prosentasi yang berbeda-beda antara ketiganya. 

Mulai pekan ini, saya akan mengulas soal film dan hubungannya dengan isu-isu keislaman dan representasi dunia Islam secara berkala di Islam Indonesia. Karena, pada dasarnya, film adalah alat ampuh untuk bercerita. Dan begitu banyak cerita yang sudah diangkat ke layar lebar. Sayangnya, lebih banyak kisah-kisah dari dunia Islam yang belum terangkat dan teradaptasi ke dalam format film.

*) Ekky Imanjaya adalah dosen tetap School of Media and Communication, BINUS Internasional, Universitas Bina Nusantara, Jakarta. Salah satu pendiri  sekaligus redaktur rumahfilm.org  itu kini sedang menempuh studi S3 di bidang Kajian Film di University of East Anglia, Norwich, Inggris Raya.

 

Sumber:Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *