Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 19 March 2014

Sang Mujahid Seni Indonesia


foto:filemmalyasia.blogspot.com

Lebih mengenal salah satu sutradara legendaris Indonesia: Usmar Ismail


SETIAP 30  Maret, Hari Film Nasional dirayakan, dan nama Usmar Ismail sudah tentu disebut-sebut kembali.  Di hari itu, 61  tahun yang lalu, Usmar yang kala itu masih berusia 29 tahun mulai membuat film ketiganya, Darah dan Doa (atau Long March), yang selalu dianggapnya sebagai film pertamanya, bersama perusahaannya sendiri, Perfini.

Banyak sekali kisah-kisah yang sudah diceritakan tentang Bapak Film Indonesia itu. Apalagi yang masih tersisa untuk dibahas?

Saya hendak menyajikan dua hal: pikiran Usmar Ismail tentang film dan keislaman  yang ia tulis sendiri, serta pandangan dua tokoh perfilman tentang Usmar.

Usmar Ismail memang punya banyak talenta dan jabatan: dramawan, sineas, wartawan, intelektual, penyair,  politikus, Ketua Umum Lesbumi  hingga, uniknya,  pemilik klub malam pertama di Jakarta. Salah satu yang membuatnya “abadi” selain karya-karyanya dalam bentuk film, puisi, dan naskah drama, adalah kebiasaannya menulis di media.  Jika kita senang film, atau hobi  mencari buku bekas, tentu akrab dengan buku Usmar Ismail Mengupas Film.  Dan bahkan saat ia mendapatkan beasiswa ke UCLA, ia rajin menulis ke surat kabar, termasuk soal pertemuannya dengan para sutradara Hollywood seperti Elia Kazan.

Sebagai Ketua Umum Lesbumi (link:http://islamindonesia.co.id/detail/1184-Lesbumi-Jembatan-Ulama-Seniman ), tentu Usmar acap menulis atau berpidato tentang konsep keislaman dan kesenian. Salah satunya adalah Film sebagai Media Dakwah yang dimuat di Pembina, 8 September 1965. Di sini, Usmar menyataan bahwa sebagai alat hasil karya teknik dan komunikasi massa, film, film dipakai untuk banyak hal.  Ujung-ujungnya adalah “seni untuk Dollar” dan “seni untuk rakyat” yang intinya adalah materialisme. Namun, film juga bisa dijadikan media dalam berdakwah dan, dalam istilahnya, “media perjuangan”. Jika yang terakhir yang  diambil, maka, tulisnya, ulama harus memusatkan perhatian untuk “ mencari dan menyelidiki secara sadar rahasia selera penonton umumnya dan bagaimana cara-cara untuk memberikan kepuasan kepada selera itu”. Sementara, para penulis Muslimin juga harus menyadari dan menghayati sumber-sumber ilham dari Quran dan Sunah Rasulullah sebagai sumber inspirasi, di samping keterampilan menulis skenario.

Di tulisan lainnya, Siapa yang Najis: Film atau Pembikinnya?, Usmar yang membuat film mahakaryanya Lewat Djam Malam(1954) kala berusia 33 tahun itu membantah pendapat yang menyatakan bahwa film adalah barang haram. Bagi Usmar, film itu netral, tidak najis atau haram. Pembuatnyalah yang mengarahkan kadar najis dan keharamannya. Dan Usmar menegaskan bahwa duta film adalah untuk mengajar penonton yang jumlahnya jutaan itu untuk menyukai kebenaran, tidak terlalu penting apakah caranya dengan tertawa atau menangis, atau tersenyum.

Usmar sendiri adalah teladan yang baik bagi teori-teorinya sendiri. Ia membuat film dengan segala perjuangan dan pergumulannya antara mencari tahu selera penonton, idealismenya, dan upaya mendapatkan keuntungan dari sana untuk perusahaannya, Perfini. Maka, jadilah film Tamu Agung(1955), komedi satir  yang menyindir fenomena politik menjelang Pemilu 1955, namun tidak melukai pihak yang dikritiknya.    Film ini menyamakan politikus dengan tukang obat. Genre komedi sindiran ini diteruskan Nyak Abbas Akub, salah satu muridnya. Tiga Dara(1956), yang  menjadi tren kala itu, adalah pencarian Usmar seputar film musikal yang mengindonesia.

Sedangkan Krisis (1953)—yang materi filmnya  sayangnya sudah rusak—sangat laris dan menjadi film terlaris Indonesia kedua setelah Terang Boelan (1937),   hingga dibuatkan sekuelnya, Lagi-Lagi Krisis (1955).Bahkan, dalam film komersilnya itu, ia masih menyelipkan kritik seputar krisis perumahan dan korupsi. Kelak, Nyak Abbas Akkub membuat Cintaku di Rumah Susun (1987) yang bernuansa mirip Krisis, dan juga sukses secara komersial.

Kenapa film-film Usmar hingga saat ini masih menarik dan masih relevan? Budayawan Umar Kayam punya pendapat menarik.  Hal ini diungkapnya saat berdisuksi di Kineklub UGM, September 1987, dan dimuat di Kedaulatan Rakyat (21/9 1987). Pertama: karena karya-karya Usmar memiliki kedalaman dan ada sesuatu yang ingin disampaikan. Dan  cara penyampaiannya tidak dihidangkan secara mentah, tapi diracik dan dikemas secara artistik. Kedua, terasa adanya kesungguhan dalam film-filmnya yang dirasakan penontonnya.“Ada niat mencoba menggali suatu sisi sehingga membuat film sederhana sekalipun tetap menarik”, jelas Kayam. Hal lainnya, masih menurut Umar, Usmar adalah seorang yang “berani bertaruh”, misalnya tanpa modal besar dari cukong besa dan tak tergantung “uang panas”, alias uang yang seharusnya terus diputar demi usaha yang lain, sehingga pemodal mengharapkan modalnya cepat kembali.

Gayus Siagian punya cerita lain lagi. Kritikus film senior yang sahabat dekat Usmar itu menulis di B.Y. Sport & Flm, 23 Maret 1974 dengan judul Dramawan, Cineast & Star Maker. Ia mengungkapkan hubungan akrab dua insan seni beda agama dan bidang: Usmar dan Cornel Simanjuntak.  Mereka bertemu di markas Keimin Bunka Sidosho atau Pusat Kebudayaan, daerah Harmoni, Jakarta di jaman Jepang. Ini adalah institusi  budaya tempat penjajah mengumpulkan para seniman local berbagai bidang, seperti Sanusi Pane, Armyn Pane, Sumanto, Amir Pasaribu, Oto dan Agus Djaya.  Masa itu, Usmar membuat syair-syair untuk lagu gubahan Cornel, baik propaganda pesanan   Jepang atau kolaborasi seni dan patriotis  seperti Pada Pahlawan danTeguh Kukuh Berlapis Baja. Yang paling  terkenal mungkin adalah Tjitra yang dipublikasikan pertama kali di majalah Djawa Baroe pada Desember 1943. Sajak dan lagu itu lantas difilmkan tahun 1946 (ini film kedua Usmar sebelum Darah dan Doa) dan didaurulang di Singapura dengan judul Bajangan di Waktu Fadjar (yang VCD-nya bisa dibeli di Malaysia).  Lagu itu   lantas menjadi nama piala dan lagu tema Festival Film Indonesia. Beberapa hari setelah kemerdekaan, para seniman banyak membuat gerakan budaya. Usmar dan Cornel masuk dalam Seniman Merdeka (sebuah sandiwara keliling, acap naik truk ke berbagai penjuru Jakarta, mengobarkan semangat anti penjajah yang sedang berupaya masuk Indonesia lagi) bersama Rosihan Anwar, Hamidy Djamil, Suryo Sumanto, Djajakusuma, Suryosumanto, dan banyak lagi. Saat Ibukota Negara pindah ke Jogjakarta (4 Januari 1946 – 27 Desember 1949), Usmar turut pindah dan masuk militer. Cornel, yang terluka akibat perang melawan Gurkha di Malang, akhirnya juga berhasil diselundupkan ke Jogjakarta lewat Karawang. Dan keduanya bertemu lagi dan berkolaborasi menciptakan Pada Pahlawan dan Teguh Kukuh Berlapis Baja. Sayang, tak lama kemudian pencipta lagu  Tanah Tumpah Darah dan Maju Tak Gentaritu meninggal, September 1946 karena TBC, dan Usmar pun berduka.

Gayus yang juga menulis skenario untuk Perfini  itu, juga menyatakan bahwa kelebihan Usmar lainnya adalah menemukan dan membesarkan bakat baru.  Dari bidang akting, ada  Bambang Hermanto, Alcaff, fan Lenny Marlina. Dari bidang produksi, ada  Djajakusuma, Sumardjono, W.Sihombing, Misbach Jusa Biran, dan Nyak Abbas Akkub.

dan, tentu saja, semua itu sulit terjadi kalau taka da sifat-sifat kepemimpian dalam dirinya, seperti yang ditulis Gayus di bawah ini:

“ Sifat yang paling menonjol pada Usmar adalah ketekunan, kemauan keras untuk   melaksanakan gagasan-gagasannya dan kesederhanaannya. Dia dapat memupuk dan memelihara sense of belonging dan rasa solidaritas di kalangan pembantu-pembantunya yang dia pandang dan perlakukan sebagai rekan dan teman, bukan sebagai bawahan, tanpa kehilangan kewibawaan…”

 

*) Ekky Imanjaya adalah dosen tetap School of Media and Communication, BINUS Internasional, Universitas Bina Nusantara, Jakarta. Salah satu pendiri  sekaligus redaktur rumahfilm.org  itu kini sedang menempuh studi S3 di bidang Kajian Film di University of East Anglia, Norwich, Inggris Raya

 

Sumber: Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *