Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 17 February 2016

Riwayat Kampung Paseban (1)


“Nyak, minte duit dong!”, ujar Dulo kepada ibunya. “Duat-duit, duat-duit, lo kate gue punye pu’un duit?”, jawab Nyak Aji Halime, “Minte ame babelo sono, kalo lo punye nyali.”
“Ah Nyak, kaye kagak tau Babe aje.” gerutu Dulo.

Di Paseban, penutur dialek di atas sudah hampir punah akibat tergusur oleh kapitalisme atau tergeser rentenir. Kapitalisme? Merk panci? Bukan tong! Gampangnye, itu pemilik modal besar yang bisa seenaknya mendukung calon pemimpin daerah dan membiayai pencalonannya. Dengan modal besar itulah kemudian sang pemilik modal sisipkan kepentingannya untuk menggusur beberapa wilayah tertentu yang diinginkannya sebagai lahan bisnisnya. Boleh jadi akan disulap menjadi apartemen, pusat perbelanjaan atau sebagainya.

Akibat pergeseran nilai pula, kata ‘Nyak’ nyaris tak terdengar lagi di telinga bak mobil Panther tempo doeloe. Kok bisa? Ya iyalah tong. Bukankah para tokoh daerah yang dulu dimanfaatkan calon pimpinan daerah sebagai tukang kampanye bisa pengaruhi warganya untuk pindah? Di era Orde Baru, intervensi pemerintah pusat sangat kuat untuk membombardir suatu wilayah yang dianggap potensial menjadi lahan bisnis pejabat.

Terletak di pusat ibukota, bahkan nama Paseban pun mulai terasa asing di telinga. Padahal dulu kampung ini pada masanya terkenal dengan tempat hilir mudik jalinan ‘Kyai’ dan ‘Jawara’ dari berbagai kampung di Batavia atau pun dari luar Batavia. Lagi-lagi, tempat ini tak lagi disebut kampung, karena tergantikan oleh kata ‘kelurahan’. Era 80-an seorang lurah masih disebut sebagai mandor. Lurah-lurah Jakarta di era Orde Baru pun berasal dari luar daerah.

Para kyai Betawi selalu menanamkan nilai-nilai kesabaran pada masyarakatnya. Bahkan di malam hari, diam-diam kyai-kyai juga mengajarkan pencak silat dan amalan-amalan dengan khasiat tertentu. Tidak lupa, sang kyai mengingatkan agar tidak pernah sesumbar (pamer) dengan kemampuan silatnya, terlebih ilmu tenaga dalam yang diwariskan kepada mereka. Para kyai hanya memilih orang-orang tertentu saja untuk diwariskan amalan-amalan tertentu yang berkhasiat tertentu pula. Apa pasal? Ada saja murid yang tidak sabar dalam kehidupan dunia dan terpana oleh kenikmatan duniawi akhirnya terpikat menjadi centeng-centeng bos besar di masanya. Padahal sejatinya, pencak silat yang diwariskan adalah untuk mempertahankan diri dan masyarakatnya dari berbagai serangan musuh berupa penindas bukan justru untuk mempertahankan sang penindas.

Nilai-nilai kesabaran yang ditanamkan tadi secara berlebihan dipahami berbeda oleh masyarakat itu sendiri. Pemahaman kesabaran telah berubah menjadi kerelaan ditindas dan dikorbankan. Perlahan tapi pasti, perpaduan antara ilmu agama dan pencak silat sebagai bekal kian sekarat akibat kematian para kyai dan jawara di Betawi. Anak turunan mereka sedang menanti kepunahan lebih dalam. Hanya roda zaman yang bisa menentukan mana yang bisa bertahan. Apakah orang Betawi ataukah pencak silatnya? Saat ini yang tersedia hanyalah lenong Betawi di layar kaca.⁠⁠

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *