Satu Islam Untuk Semua

Friday, 12 October 2018

Merawat Syair dan Hikayat Penyelamat Bencana


islamindonesia.id – Merawat Syair dan Hikayat Penyelamat Bencana

 

Tak lama pasca terjadinya gempa dan tsunami Palu dan Donggala, di media sosial orang-orang sibuk menyalahkan banyak hal terkait bencana itu. Mulai dari BMKG yang dinilai tidak bisa mendeteksi adanya tsunami, teknologi deteksi yang jadul dan tidak berfungsi, hingga sibuk membagikan artikel tentang bagaimana negara lain, di antaranya Jepang, mempersiapkan diri.

Dalam satu perjalanan ke pulau kecil di Aceh, peneliti Jepang terheran-heran menemukan fakta, saat tsunami menewaskan ratusan ribu warga Aceh, justru hanya ada tujuh orang tewas di pulau kecil yang jaraknya paling dekat dengan pusat gempa itu.

Padahal, penduduknya hampir 70 ribu orang. Warga Pulau itu selamat berkat syair dan dongeng yang dituturkan turun-temurun.

Makanya, ketimbang sibuk menyalahkan teknologi canggih yang bisa mendeteksi tsunami, mengapa kita tak berpaling pada bagaimana merawat hikayat, dongeng, syair, dan kearifan lokal kita yang telah terbukti selama ribuan tahun menyelamatkan generasi ke generasi?

Marilah kita berguru pada peneliti Jepang, Yoko Takafuji yang telah belajar pada masyarakat kita sendiri dan fokus pada bagaimana kesiapan warga menghadapi tsunami.

Dia kagum dengan fakta-fakta yang ditemuinya. Tahun 2004 lalu, Aceh dan sekitarnya dihantam tsunami. Namun, hanya ada tujuh warga tewas di pulau kecil itu yang ditemukan tewas. Itu pun ketujuh orang itu adalah pendatang.

Penelitian Yoko sampai pada kesimpulan bahwa ribuan warga di pulau itu bisa selamat karena mereka percaya pada ujaran-ujaran atau dongeng yang disampaikan nenek moyang mereka Warga Pulau Simeulue bercerita tentang syair-syair yang didendangkan saat mereka masih kecil.

Syair itu berisikan pesan agar semua warga harus mengungsi ke tempat lebih tinggi saat melihat tanda-tanda alam. Syair itu dihafal oleh semua warga Simeulue, tua dan muda. Mereka tahu apa yang harus dilakukan saat melihat tanda-tanda alam.

Saat tsunami menerjang di tahun 2004 lalu, anak-anak muda berteriak-teriak “Smong” atau tsunami lalu meminta semua penduduk berlarian ke bukit-bukit. Warga Simeulue membaca tanda-tanda alam, seperti air surut, iring-iringan kerbau yang ke pegunungan, serta suara yang gemeretak di kejauhan.

Orang-orang menuju pegunungan karena dipandu oleh syair dan pesan turun-temurun dari nenek moyang. Syair itu disampaikan kepada anak-anak dalam bahasa lokal sebagai pengantar tidur.

Berikut, terjemahan syair itu:

“Dengarlah sebuah cerita. Pada zaman dahulu. Tenggelam satu desa. Begitulah mereka ceritakan. Diawali oleh gempa. Disusul ombak yang besar sekali. Tenggelam seluruh negeri. Tiba-tiba saja. Jika gempanya kuat. Disusul air yang surut. Segeralah cari. Tempat kalian yang lebih tinggi. Itulah smong namanya. Sejarah nenek moyang kita. Ingatlah ini betul-betul. Pesan dan nasihatnya.”

Syair ini disampaikan orang tua kepada anak-anaknya, dengan beberapa cara. Ketika di meja makan, atau setelah makan, atau di ruang keluarga. Orang dewasa bercerita saat kejadian smong datang satu abad silam, banyak keluarga tewas, ada pula yang jatuh dari gendongan orang tua, lalu tersangkut di atas pohon bambu dan selamat. Cerita itu terus berulang hingga akhirnya mengendap di benak banyak orang.

Kata warga asli Pulau Smeulue, syair tersebut kira-kira bermula sejak letusan Gunung Tambora di awal tahun 1900-an. Pada saat itu ada tsunami besar yang merendam pulau ini. Makanya, syair itu muncul agar kejadian serupa tidak terjadi lagi di masa mendatang.

Dalam syair itu tersembunyi satu hikmah dan pembelajaran atas apa yang sebelumnya terjadi. Apa yang kita sebut sebagai kearifan lokal sejatinya adalah himpunan-himpunan pengetahuan yang lahir sebagai upaya manusia memahami alam semesta dengan segala isinya.

Saat manusia memahami semesta, saat itu juga manusia mencipta sains dan segala pengetahuan sebagai mutiara berharga yang lalu ditebar ke masyarakat, diwariskan turun-temurun, serta menjadi api yang menerangi berbagai zaman.

Peristiwa Tambora itu menjadi pelajaran berharga bagi nenek moyang Simeulue. Mereka tak ingin kejadian serupa terjadi di masa mendatang. Syair-syair lahir sebagai jembatan untuk memberikan early warning system bagi generasi mendatang agar selalu waspada pada berbagai kemungkinan.

Syair itu mencakup pengetahuan yang sejatinya lahir dari social learning process, proses belajar masyarakat yang lalu menjadi tradisi dan kebudayaan. Di saat krisis, kebudayaan lalu menyediakan berbagai protokol demi menyelamatkan masyarakat.

Ternyata yang membuat syair itu sedemikian bertenaga adalah masyarakatnya yang masih memegang tradisi dan penghormatan pada nenek moyangnya sehingga mereka menganggap bahwa segala bencana tak harus dipandang sebagai sesuatu yang harus dihindari.

Bencana adalah sahabat yang harus diakrabi dan dikenali, demi tindakan-tindakan preventif yang bisa membuat kita terhindar darinya, sebagaimana pesan tersirat dalam syair berikut;

Anak-Ö SMONG, Dumek-dumekmo LINON, Uwak-uwakmo AHOI, Ralang-ralangmo ELAI, Kedang-kedangmo KILEK, Sulu-sulumo

Anakku Tsunami, Mandi-mandimu Gempa, Ayun-ayunanmu Api, Penghangat tubuhmu Guntur, Gendang-gendangmu Kilat, Cahaya penerangmu

Syair-syair itu dilagukan untuk menguatkan mental. Pesan itu dituturkan kepada anak-anak agar tidak takut menghadapi perubahan alam. Bahwa guntur dan kilat tak perlu ditakuti. Bahkan tsunami pun tak perlu dikhawatirkan.

Manusia harus berselancar dan melintasi berbagai tanda-tanda alam itu, berdamai dengan semuanya, lalu mencari cara-cara kreatif untuk menyelamatkan kehidupan. Pesannya adalah jangan sesekali menghindari segala yang ada di alam dengan penuh kebencian, tetapi dekati, pahami, lalu mengalir bersamanya.

Hanya dengan mengalir bersama semesta, seseorang bisa memahami tabiat alam, lalu menyerap saripati pengetahuan di tengah semesta itu. Pandangan ini menegaskan posisi manusia Simeulue yang berselancar di tengah bencana demi menyelamatkan diri.

Maka ketika tanda-tanda alam menunjukkan adanya tsunami, masyarakat telah siaga dengan berbagai kemungkinan. Mereka lalu bergerak ke perbukitan untuk menyelamatkan diri. Mereka membaca tanda alam, memahami makna di balik setiap realitas, lalu menentukan langkah-langkah terbaik. Kearifan inilah yang membuat dunia begitu mengagumi Simeulue.

Yoko Takafuji membandingkan syair di Simeulue itu dengan syair Inamuranghi di daerah Wakayama, Jepang. Ada juga syair tsunami Tendenko dari daerah Iwate. Di dua daerah ini, bila terjadi tsunami, korbannya lebih sedikit.

“Isi cerita agak beda, tapi intinya sama. Tsunami Tendenko misalnya. Warga diminta untuk langsung lari dan tidak perlu memikirkan keluarga,“ katanya, sebagaimana dikutip satu media.

Kunjungan di Pulau Simeulue membuat Yoko tergerak untuk melakukan banyak hal. Dia memiliki misi untuk menyebarkan cerita-cerita Simeulue di berbagai belahan bumi lain yang rentan tsunami, termasuk Jepang dan negara-negara Pasifik.

Setidaknya, pengalaman warga Simeulue bisa menjadi inspirasi bagi orang-orang untuk menyusun satu protokol atau panduan penyelamatan yang berbasis pada kearifan lokal.

 

EH / Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *