Satu Islam Untuk Semua

Monday, 02 May 2022

Mengenal Sejarah dan Makna Tradisi Halalbihalal


islamindonesia.id – Saling mengunjungi atau bersilaturahmi, untuk saling bermaafan, selama ini telah menjadi tradisi penting dalam perayaan Idulfitri. Ada yang bertanya, haruskah itu semua dilakukan menunggu saat lebaran? Tentu tidak. Setiap saat kita bisa bersilaturahmi dan saling mengunjungi.

Bermaafan juga demikian. Islam mengajarkan, hendaknya kita memaafkan siapa saja. Bahkan sebenarnya, tidak ada kamus meminta maaf. Yang diajarkan, justru memberi maaf. Kepada yang menzalimi sekalipun, kita harus memaafkan.

Tradisi saling bermaafan saat lebaran—dengan saling mengunjungi atau bersilaturahmi—itu kemudian disebut Halalbihalal. Tradisi demikian memang hanya ada di Indonesia, juga sebagian di Asia Tenggara. Kita tak akan menemukan tradisi itu di negara-negara lain yang merayakan Idulfitri.

Bahkan di Arab sekalipun, di mana Islam pertama kali muncul dari sana, kita tak akan menemukannya. Idulfitri mereka rayakan dengan berkumpul keluarga, bersilaturrahmi, dan saling mendoakan: TaqabbalaLlahu minna waminkum, semoga Allah menerima amalan kami dan kalian semua, sebagaimana yang memang disunahkan.

Istilah Halalbihalal itu sendiri, meski bahasa Arab, namun di negara-negara Arab sekalipun kosa kata itu tak pernah dikenal. Bahkan tak lazim digunakan, apalagi dipahami sebagai “ajaran” untuk saling memaafkan di saat lebaran. Dari sini sebenarnya bisa dilihat, betapa luhurnya tradisi masyakarat kita, terutama komunitas Muslim Nusantara.

Bila dirunut kesejarahannya, tradisi Halalbihalal sebenarnya sudah berkembang sangat lama, jauh sebelum negara ini berdiri. Beberapa referensi menyebut, sebagaimana dijelaskan Antropolog UIN Sunan Kalijaga Mohammad Soehadha, tradisi ini berakar dari “pisowanan” yang sudah ada di Praja Mangkunegaran Surakarta pada abad ke-18. Meminjam istilah Robert Redfield, Soehadha menjelaskan bahwa Halalbihalal bermula dari “great tradition” di keraton yang kemudian diabsorpsi umat Islam Indonesia, kemudian memancar pada keseharian rakyat biasa sebagai “little tradition”.

Saat itu, Raden Mas Said KGPA Arya Mangkunegara I mengumpulkan para bawahan dan prajurit di balai astaka untuk melakukan “sungkeman” kepada raja dan permaisuri selepas perayaan Idulfitri. Pisowanan secara bersama ini dianggap lebih efektif dan efisien dibanding dilakukan secara perorangan.

Secara terminologis, istilah Halalbihalal sudah dikenal sejak 1920-an. Majalah Suara Muhammadiyah, misalnya, pada tahun 1926 telah memuat istilah itu pada edisi menjelang 1 Syawal 1344 H. Bahkan dalam dokumen tahun 1924, majalah itu pun sudah menyebutkan dalam salah satu paragraf artikelnya.

Dari sanalah, mungkin istilah itu kemudian dituangkan dalam kamus Jawa-Belanda karya Theodoor Gautier Thomas Pigeaud (w.1988) yang terbit pada 1938. Ahli sastra Jawa dari Universitas Leiden ini menyusun kamus pada 1926 atas perintah Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu, Andries Cornelis Dirk de Graeff (w.1957). Pada entri huruf “A” dalam kamus ini misalnya, ditemukan kata “Alal Behalal” yang diartikan dengan ‘acara maaf-memaafkan ketika hari raya’.

Memang belum sempurna penulisannya. Namun hal itu telah menjadi konstribusi pustaka yang sangat berharga. Ahli perkamusan, tokoh sastra, dan penulis kamus bahasa Indonesia WJS Poerwadarminta (w.1968), menjadikannya sebagai dasar dan Baoesastra Djawa.

Maka dalam kamus besar bahasa Indonesia saat ini kita bisa membaca penyempurnaannya. Bahwa Halalbihalal diartikan sebagai ‘hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan, biasanya diadakan di sebuah tempat (auditorium, aula, dan sebagainya) oleh sekelompok orang’. Tak hanya itu, dari sisi penulisannya pun mengalami perubahan. Halalbihalal menjadi istilah baku yang harus ditulis dengan benar sebagai satu kesatuan kata yang tak terpisahkan.

Tradisi pertemuan untuk saling bermaafan tersebut menjadi populer sejak 1945. KH. Nasaruddin Umar (2018) bahkan menyebutnya sebagai asal usul Halalbihalal itu sendiri. Dijelaskan, ketika para pemuda Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta kebingungan mencari tema untuk mewadahi dua momentum istimewa, yakni Idulfitri dan Proklamasi Kemerdekaan RI. Kita tahu, Proklamasi sendiri terjadi pada Jumat (sayyidul ayyam) di bulan Ramadhan (sayyidus syahr).

Suasana batin itulah yang dirangkum dalam sebuah “ritual” dengan mengusung tema Halalbihalal, sebagai upaya saling memaafkan, merelakan, dan menghalalkan. “Momentum Idulfitri digunakan untuk menggalang persatuan dan kesatuan dalam mengisi kemerdekaan“. Demikian Imam Besar Masjid Istiqlal itu menjelaskan.

Halalbihalal kian populer lagi ketika Presiden Soekarno menggunakannya sebagai ajang rekonsiliasi antartokoh bangsa saat konflik memuncak pada 1948, pascapemberontakan PKI Madiun dan DI/TII di Jawa Barat. Pertikaian para elite politik tak kunjung menemukan titik penyelesaian. Masing-masing pihak justru menunjukkan egonya sendiri, bersikap menang-menangan, dan tidak mau duduk bersama untuk mencari solusi. Bahkan, terkesan saling menyalahkan.

Di tengah kegelisahan karena kondisi itu, pada pertengahan Ramadhan 1367 H, Presiden Soekarno melakukan komunikasi khusus dan berkonsultasi dengan KH. Wahab Hasbullah, Rais Aam PBNU saat itu, untuk merumuskan langkah terbaik dalam rangka penyelesaian konflik. Konon, saat itu Kiai Wahab mengusulkan agar dilakukan pertemuan silaturahmi pada saat Idulfitri. Namun Bung Karno meminta istilah lain karena istilah silaturahmi menurutnya sudah sangat umum digunakan.

Kiai Wahab pun kemudian memberikan argumen keagamaan. Dijelaskan, bahwa saling serang dan menyalahkan itu termasuk dosa, dan haram hukumnya. Agar terlepas dari dosa (haram), maka di antara mereka harus dihalalkan.

Thalabu halal bi thariqin halal,” kata Kiai Wahab berhujjah. Maksudnya, mencari penyelesaian masalah atau keharmonisan hubungan (halal) dengan cara memaafkan kesalahan (halal). Dengan cara ini, maka para elite politik harus duduk satu meja, berbicara satu sama lain secara terbuka, saling memaafkan, juga saling menghalalkan. Pelaksanaannya disebut dengan Halalbihalal.

Sejak itulah, istilah dan tradisi Halalbihalal menjadi sangat dikenal luas. Tak hanya di kalangan rakyat biasa. Semua lapisan masyarakat pun melakukannya. Bahkan komunitas Muslim di Malaysia dan Brunei juga menyelenggarakan tradisi serupa.

Inilah model Islam khas Indonesia, sebagai perwujudan universalitas nilai-nilai Islam dalam konteks keindonesiaan dan hasil interaksi, interpretasi dan kontekstualisasi, yang sejalan dengan realitas sosial budaya masyarakat Indonesia.

EH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *