Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 21 March 2023

Mengenal Nyadran Menyambut Ramadhan


islamindonesia.id – Memasuki Bulan Ramadhan 1444 H, sejumlah warga Muslim di pulau Jawa mulai melakukan tradisi nyadran atau ziarah kubur. Tradisi yang telah berlangsung secara turun temurun ini dimanfaatkan warga untuk bersih-bersih makam dan mendoakan keluarga yang telah meninggal dunia.

Rangkaian nyadran meliputi pembersihan makam leluhur, tabur bunga, dan kenduri di masjid atau rumah kepala dukuh setempat.

Lalu, selain itu akan dilakukan kenduri, pembacaaan ayat-ayat suci Alquran, tahlil, doa, dan makan bersama. Saat tiba di makam, orang-orang akan mencabuti dan membersihkan area pemakaman orang tua atau kerabat mereka.

Tradisi ini banyak dilaksanakan oleh masyarakat Islam Jawa kejawen. Dalam istilah Islam Jawa kejawen, nyadran dapat diartikan sebagai kegiatan ziarah kubur atau pergi mengunjungi makam leluhur untuk berdoa sambil membawa kemenyan, bunga, dan air.

Apabila menilik sejarahnya, nyadran merupakan hasil dari perpaduan antara beberapa kepercayaan yang menghasilkan kepercayaan baru antara Hindu, Islam, dan Jawa.

Nyadran dipercaya telah dilaksanakan oleh masyarakat Jawa sejak agama Hindu berkembang di Nusantara. Pada masa itu, istilah nyadran disebut dengan shraddha, yang memiliki arti iman.

Shraddha merupakan upacara penghormatan terhadap arwah orang-orang meninggal yang dianggap suci. Inti dari ritual upacara shraddha adalah menunjukkan rasa hormat kepada leluhur (nenek moyang) dan mensyukuri atas kelimpahan air dan alam.

Pelaksanaan upacara shraddha dilakukan setiap tahun, waktunya menyesuaikan dengan tanggal kematian seseorang yang dihormati. Namun, jika pihak keluarga tidak mengetahui tanggal kematian seseorang yang akan didoakan dalam shraddha, maka ritual dilakukan pada hari yang luar biasa. Penentuan hari luar biasa tersebut didasari oleh perhitungan tertentu.

Inti pelaksanaan shraddha adalah untuk menunjukkan rasa hormat kepada para leluhur dan wujud syukur atas kelimpahan alam dan air.

Seiring berjalannya waktu, agama Islam mulai masuk dan disebarkan di Jawa. Kontak budaya antara Islam, Hindu, dan Jawa pun terjadi. Lambat laun, istilah shraddha berubah menjadi sadranan atau nyadran, yang tradisinya telah mendapatkan pengaruh nilai-nilai ajaran agama Islam.

Penyebaran agama Islam di Jawa yang massif tidak dapat dipisahkan dari peran Wali Songo. Salah satu upaya Wali Songo dalam penyebaran Islam adalah memasukkan ajaran agama ke budaya yang telah ada supaya lebih mudah diterima masyarakat. Upaya tersebut kebanyakan berbuah manis.

Ritual nyadran merupakan salah satu contoh budaya Hindu dan Jawa Kuno yang berhasil dimasuki ajaran agama Islam. Hasil dari campuran budaya Hindu, Jawa, dan Islam membuat kegiatan dalam nyadran sedikit berbeda. Nyadran menjadi aktivitas kunjungan dan berdoa di kuburan keluarga.

Lambat laun, nyadran menjadi ajang pertemuan dan perkumpulan berbagi makanan tradisional atau saling memberi satu sama lain. Dalam perkembangan selanjutnya, nyadran berkembang menjadi upacara yang dilaksanakan sesaat sebelum bulan Ramadhan tiba, atau bulan Ruwah dalam penanggalan Jawa.

Tradisi nyadran sebelum bulan Ramadan yang dilakukan di berbagai daerah Jawa memiliki ciri khas masing-masing. Beberapa daerah melaksanakan tradisi ini dengan cara mengunjungi makam leluhur sambil membawa bungkusan berisi makanan hasil bumi. Bungkusan makanan tersebut selanjutnya akan ditinggalkan di area makam. Biasanya, pihak keluarga juga akan meninggalkan uang untuk biaya pengelolaan makam.

Sementara beberapa daerah lain ada yang tidak membawa bungkusan makanan, tetapi cukup mengunjungi makam dan melakukan kegiatan bersih-bersih kuburan serta menabur bunga. Tidak lupa, mereka juga melakukan doa bersama untuk mendoakan para leluhur. Saat ini, beberapa masyarakat Jawa menilai bahwa nyadran serupa dengan ziarah kubur.

EH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *