Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 15 January 2022

Mengenal ‘Baayun Maulud’, Buah Akulturasi Budaya Lokal Kalimantan dan Islam


islamindonesia.id – Sejak zaman dahulu, Indonesia dikenal dengan keanekaragaman suku, kekayaan budaya dan tradisinya. Di antara sekian banyak budaya tersebut, ada yang merupakan budaya asli Indonesia dan ada juga yang terbentuk dari proses akulturasi.

Sekadar informasi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “akulturasi” adalah ‘percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling memengaruhi’. Adapun “akulturasi budaya” menurut Abd. Aziz Faiz, S.Sos., M.Hum yang merupakan dosen Sosiologi Agama dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta adalah ‘proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kelompok kebudayaan lain dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun dapat diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kebudayaan itu sendiri’.

Nah, tulisan ini akan membahas salah satu contoh akulturasi budaya di Indonesia yakni perpaduan antara tradisi lokal dan Budaya Hindu-Kaharingan dengan ajaran Islam, lebih khusus yang terjadi di Kalimantan Selatan.

Di Kalimantan dikenal keberadaan suku Dayak yang mempunyai kepercayaan animisme dan dinamisme. Animisme adalah kepercayaan terhadap roh-roh nenek moyang, sedangkan dinamisme adalah kepercayaan yang meyakini adanya perkara ghaib yang ada pada benda-benda seperti batu, api, keris, pohon beringin, dan sebagainya.

Sebagian buku sejarah mencatat bahwa masuknya Islam di Kalimantan Selatan diawali oleh para pedagang Gujarat Arab dan pedagang China tetapi tidak lantas mengubah seluruh kebudayaan lokal yang ada. Islam hanya menghapuskan tradisi yang bertentangan degan akidah, adapun tradisi yang tidak bertentangan akan tetap dipertahankan dan dilestarikan.

Contoh akulturasi budaya yang banyak dijumpai di Kalimantan Selatan antara lain adalah: Hadrah, Rudat, Batapung Tawar, Bubur Asy Syura, Aruh Ganal, Madihin, Baarwahan, Bahaulan, Basunat, dan Baayun Maulud.

Khusus budaya yang disebutkan terakhir di atas, yakni tradisi Baayun Maulud, adalah perpaduan antara budaya lokal, budaya Hindu, dan budaya Islam.

Baayun Maulud terdiri dari dua kata yaitu “Baayun” (ayunan) dan “Maulud” (peristiwa kelahiran Nabi Muhammad s.a.w) sehingga “Baayun Maulud” mempunyai arti ‘kegiatan mengayun anak (bayi) sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT dan kecintaan terhadap Nabi Muhammad s.a.w.

Tradisi ini berasal dari kepercayaan nenek moyang terdahulu yaitu kepercayaan Kaharingan (Dayak pedalaman) yang memiliki nama tradisi “Bapalas Bidan” dan kepercayaan Hindu yang memiliki nama tradisi “Baayun Wayang”.

Dahulu tradisi ini dilaksanakan karena orang-orang saat itu percaya bahwa seorang anak atau bayi yang lahir, dia tidak hadir ke dunia ini sendirian melainkan disertai oleh empat saudara ghaibnya yaitu Tubaniah, Tambuniah, Kamariah, dan Uriah. Kemudian agar si anak selalu sehat dan tidak sakit-sakitan akibat diganggu saudara ghaibnya, maka ia harus diayun dan diberi tapung tawar yang biasanya menggunakan daun pandan atau daun pisang dengan cara memercikkan air yang dibacakan doa atau mantra-mantra tertentu.

Tradisi yang awalya hanya terdapat di desa Banua Halat dan dilaksanakan secara turun-temurun ini, lalu berkembang dan dilaksanakan hampir di seluruh daerah di Kalimantan Selatan.

Sampai saat ini tradisi itu masih ada, hanya saja dilakukan dengan bentuk baru yang sudah mengalami proses akulturasi dengan budaya Islam. Pembacaan doa atau mantra sudah diganti dengan pembacaan ayat suci Alquran atau shalawat Nabi.

Selain Baayun Maulud, orang-orang Dayak Kaharingan juga mempunyai kebiasaan melaksanakan sebuah upacara yang bernama ”Aruh Ganal“. Seperti namanya, “Aruh” artinya ‘perayaan atau selamatan’, sedangkan “Ganal” artinya ‘besar’. Jadi, “Aruh Ganal” berarti ‘perayaan atau selamatan besar’.

Kegiatan utama dalam upacara Aruh Ganal itu biasanya dilaksanakan selama sepekan di Balai Adat dengan adanya pembacaan mantra-mantra dari para Balian (tokoh besar orang Dayak) dan disertai dengan Baayun atau Maayun anak.

Seperti yang terjadi pada tradisi atau budaya lokal lainnya, setelah Islam masuk dan banyak masyarakat yang memeluk ajaran Islam, terutama orang-orang Dayak di desa Banua Halat, maka tradisi ini pun mengalami proses akulturasi dan dinamailah upacara “Baayun Maulud” yang dirangkaikan dengan acara peringatan Maulid Nabi Muhammad s.a.w setiap tanggal 12 Rabiul Awal.

Pada masa kini, tujuan dilaksanakannya Baayun Maulud adalah agar anak yang dilahirkan, kelak setelah dewasa diharapkan dapat meneladani akhlak dari Nabi Muhammad dan menjadi anak yang berbakti kepada kedua orangtuanya.

Peserta Baayun Maulud sendiri tidak hanya anak-anak melainkan ada juga orang dewasa dikarenakan niat atau nazar tertentu, seperti: “apabila doanya terkabul atau sembuh dari suatu peyakit maka ia akan menggelar Baayun Maulud”.

Selain itu, ada juga yang tujuan penyelenggaraannya karena semata-mata berharap akan kesehatan, keselamatan, dan semata-mata untuk mengambil keberkahan atas kemuliaan Nabi Muhammad.

Dalam tradisi ini, anak yang diayun biasanya akan dibacakan syair-syair Maulid Habsyi. Pada saat pembacaan “Asyraqal” itulah orang-orang serentak berdiri dan si anak (bayi) akan diayunkan secara perlahan.

Alat dan bahan yang digunakan saat Baayun Maulud ada tiga kain yaitu kain kuning, kain Sarigading (kain Sasirangan khas Banjar), dan Tapih Bahalai (kain atau sarung panjang khas Banjar). Biasanya ayunan dihiasi dengan anyaman janur pohon nipah yang digantung di ayunan dalam berbagai bentuk. Tali ayunan dihiasi dengan bunga melati dan kenanga. Ada pula Wadai (kue) cucur dan Wadai (kue) cincin khas Banjar serta lakatan (nasi lamak) dan tape ketan.

Perlu diketahui bahwa syarat agar bisa melaksanakan tradisi Baayun Maulud ini adalah menyiapkan Piduduk (makanan), seperti beras 3,5 liter, jarum, gula habang (gula merah), hintalu hayam (telur ayam kampung), nyiur (kelapa), benang, binggul (uang receh), dan uyah (garam).

Semua prosesi itu pun hingga kini benar-benar dilaksanakan dan dipatuhi oleh masyarakat setempat sebagai perwujudan dari akulturasi budaya yang harus dilestarikan.

Dari uraian singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa akulturasi budaya yang terjadi di Indonesia, khususnya di Kalimantan Selatan ini terbukti membawa dampak positif bagi masyarakat, yaitu tetap lestarinya kebudayaan lokal namun juga tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

EH/ Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *