Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 15 December 2021

Mencapai ‘Suwung’, Mengenal Kesejatian Diri


islamindonesia.id – Para leluhur Jawa telah menyampaikan tentang hakikat dari kata “suwung”. Yakni sebuah konsep dalam masyarakat Jawa yang menggambarkan tentang rasa hampa lantaran sudah adanya kesadaran diri. Hampa di sini bisa diartikan sebagai kondisi kosong yang arupa alias tidak memiliki bentuk namun “ada sesuatunya”.

Sehingga suwung juga bisa diartikan sebagai kekosongan yang bernuansa pengendalian diri yang sempurna dan kesadaran sejati akan diri pribadi yang berkaitan dengan ke-Tuhan-an. Karena itulah suwung juga dapat dimaknai sebagai suatu kondisi ketika seseorang secara mental dan spiritual merasa keluar dari dirinya sendiri dan akhirnya merasa hilang sirna alias tiada. Ini bukanlah sebatas pemahaman yang ada di otaknya saja, tetapi benar-benar ia rasakan dengan segenap hati sanubarinya. Bahkan pada tahap selanjutnya bisa ia rasakan dan lihat langsung dengan mata ketiganya.

Untuk itu, suwung adalah kenyataan mutlak yang tidak bisa lagi dijangkau oleh panca indra. Hanya dapat dirasakan oleh batin yang bersih dan tentunya dengan melalui latihan yang sungguh-sungguh. Sebab, kondisi suwung itu berbeda dengan hening cipta dalam ber-dhyana (meditasi). Ibarat sekolah, maka dhyana (meditasi) itu masih di tingkat SMA, sementara suwung telah berada di level Universitas. Tingkatannya pun ada beberapa jenis, yaitu S1, S2, dan S3, bahkan Doktor dan Profesor.

“Intinya, suwung itu adalah kondisi pribadi yang telah memiliki kesadaran penuh akan hilangnya ke-aku-an diri. Artinya, ia merasa telah sirna lantaran sudah memahami bahwa dirinya itu memanglah tiada. Tiada dalam wujud materi, juga dalam wujud non materi. Ia pun telah bisa meraih ketransendenan yang sesungguhnya dengan tidak lagi merasa transenden. 

Pun dapat dimaknai sebagai perwujudan dari dualisme yang berubah menjadi ke bentuk tunggal (kemanunggalan). Artinya, tak ada lagi aku dan kamu, dia dan saya, serta ada dan tiada. Karena semuanya telah melebur dalam kesejatian YANG ESA.” 

Makanya tak mengherankan jika kondisi suwung ini oleh kalangan sufisme Jawa dianggap sebagai tahapan yang tertinggi, yaitu makrifat. Dan orang yang berhasil mencapainya lalu disebut sebagai sosok yang Kaweruh atau Waskita. Di sinilah pada akhirnya akan memunculkan kebijaksanaan yang sejati, yang bersifat universal pada diri seseorang.

Lantas mengapa suwung ini menjadi tahapan yang tertinggi? Jawabannya terkait dengan falsafah leluhur kita yang berbunyi: “Pengeran iku biso ngawohi kahanan opo wae tan keno kinoyo ngopo” atau yang berarti bahwa Tuhan itu bisa mengubah/menciptakan segalanya tanpa mungkin dapat diperkirakan lagi. Jadi DIA itu adalah yang “Tan keno kinoyo ngopo” atau yang berarti tak bisa lagi dijangkau dan diperkirakan oleh siapa pun. Sebab Diri-Nya memang di luar batas akal pikiran dan imajinasi. Tak ada yang dapat memahami kesejatian-Nya kecuali sedikit, dan itu pun hanya atas izin dan kehendak-Nya pula.

Makanya bisa disimpulkan bahwa bagi seorang makhluk, Tuhan itu bisa dicapai (dipahami) hanya dengan mendekati sifat-sifat-Nya. 

Nah, di antara sifat-Nya itu adalah “Tan keno kinoyo ngopo“, yang akhirnya berujung pada ke-suwung-an diri seseorang. 

Artinya, untuk dapat mengenali Tuhan yang sejati, maka siapa pun itu harus terlebih dulu bisa mencapai keadaan suwung (kekosongan/hilangnya ke-aku-an diri). 

Dan suwung yang dimaksudkan di sini tentunya harus bisa terlepas dari segala keterikatan materi dan keduniawian, bahkan akal dan pikiran. Tidak berarti harus meninggalkan keduanya (materi dan keduniawian, akal dan pikiran) itu, tetapi lebih kepada memahami secara mendalam tentang letak dan hakikat dari keduanya (materi dan keduniawian, akal dan pikiran) itu secara tepat. 

Ditambah lagi dengan memahami apa makna dari falsafah leluhur kita yang berbunyi: “Sangkan Paraning Dumadi“, atau yang berarti pengetahuan tentang “dari mana manusia berasal dan kemanakah ia akan kembali”. Dan dalam hal ini tidak terlepas dari hubungan antara seorang hamba dengan Tuhannya.

Artinya, falsafah “Sangkan Paraning Dumadi” itu sendiri bermaksud mengajarkan bahwa tujuan akhir dari kehidupan manusia adalah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga dalam menjalani kehidupan ini ia pun harus memiliki nilai-nilai luhur ke-Tuhan-an. Dan di antara nilai-nilai luhur ke-Tuhan-an itu adalah bersikap jujur, adil, tanggungjawab, setia, tulus-ikhlas, tepo saliro (tenggang rasa), peduli, sederhana, rendah hati, ramah, penuh cinta, disiplin dan berkomitmen. 

Dengan memiliki sifat ke-Tuhan-an itulah seseorang akan bisa kembali kepada-Nya dalam keadaan selamat dan diridhai. Makanya dalam falsafah “Sangkan Paraning Dumadi” ini tersirat makna yang sangat mendalam bahwa kita sebagai makhluk pada hakikatnya akan berpulang ke “rumah sejati” kita.

Nah, dalam upaya agar bisa kembali ke “rumah sejati” tersebut, maka tidak ada pilihan lain bagi seseorang kecuali bisa terlebih dulu mengenal siapakah diri sejatinya sendiri. Inilah kunci yang dapat membuatnya sadar diri dan mengabdi dengan tulus murni hanya kepada YANG ILAHI, Sang Tujuan. Sebab, barangsiapa yang bisa mengenali dirinya sendiri – dalam arti yang sesungguhnya – niscaya ia baru akan bisa mengenali siapakah Tuhannya. Dan setelah bisa mengenali Tuhannya dengan benar, barulah ia bisa memiliki iman dan takwa yang sejati.

مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهArtinya: “Barang siapa yang mengenal dirinya, niscaya ia (akan lebih mudah) mengenali Tuhannya.

Untuk itu, hanya dengan cara bisa mencapai keadaan suwung-lah kita dapat menemukan Tuhan yang sejati. Sebab keadaan tersebut memiliki makna telah kembalinya diri seseorang kepada asal kehidupan setiap makhluk. 

Dari situ pulalah akan terbuka jalan untuk sampai kepada-Nya dengan benar dan selamat. Sehingga inilah yang menjadi alasan utama mengapa para leluhur kita dulu sangat akrab dengan apa yang disebut tapa brata. Dan memang itulah cara yang paling jitu untuk bisa sampai pada keadaan suwung. Sebab tapa brata itu berarti tindakan untuk “mematikan” keinginan ragawi agar bisa menemukan titik ketenangan ruhani yang paling inti. Atau dengan kata lain, tapa brata itu adalah sesuatu yang dilakukan untuk bisa meningkatkan kualitas kemanusiaan seseorang ke tingkat yang tertinggi.

Makanya, seorang yang melaksanakan tapa brata akan memperoleh penyucian diri dan pencerahan batin. Tapi sebelumnya harus dilandasi dengan niat yang tulus dan keimanan yang mantap. Dengan begitu, keberadaan Hyang Aruta (Tuhan YME) yang sejati baru akan bisa dirasakan dengan nyata. Dan inilah tujuan sebenarnya dari tapa brata, bukan untuk kekuatan dan tidak pula untuk kesaktian.

EH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *