Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 19 October 2016

Membaca Tabiat Zaman Lewat Syair-Syair Kehidupan KH. Wahid Hasyim


IslamIndonesia.id—Membaca Tabiat Zaman Lewat Syair-Syair Kehidupan KH. Wahid Hasyim

 

Wahid Hasyim adalah salah seorang ulama sekaligus Pahlawan Nasional. Ayah dari mendiang Presiden Republik Indonesia ke 4, KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ini merupakan seorang ulama yang dikenal moderat, substantif dan inklusif. Rumusan teks Pancasila sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” merupakan bagian dari buah pemikirannya untuk menggantikan kalimat “Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya”.

Sejarah mencatat, Abdul Wahid Hasyim lahir di Jombang Jawa Timur pada 1 Juni 1914, dari pasangan KH. Hasyim Asy`ari d an Nyai Nafiqah binti Kiai Ilyas. Ayahnya merupakan pendiri dari organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama (NU).

Kecerdasan Wahid Hasyim sudah nampak sejak usianya masih sangat belia. Pada usia 7 tahun ia sudah khatam Al-Qur`an dengan mendapat bimbingan langsung dari ayahnya. Pendidikan lainnya ia peroleh di Pesantren Tebu Ireng. Pada usia 15 tahun ia sudah mengenal huruf latin, menguasai bahasa Belanda dan Inggris tanpa pernah mengenyam pendidikan dari sekolah kolonial sedikitpun. Pada usia 18 tahun ia menunaikan ibadah Haji sekaligus bermukim selama 2 tahun di Makkah untuk memperdalam ilmu agama.

Sepulang dari tanah suci, putra kelima dari KH. Hasyim Asy`ari ini aktif di organisasi yang didirikan oleh Ayahnya. Pada tahun 1938 ia menjadi pengurus NU Ranting Cukir. Pada tahun 1940 menjadi pengurus tingkat pusat PBNU dengan memimpin Departemen Ma`arif yang membidangi pendidikan.

Dia juga seorang tokoh agama yang berpikiran luas jauh kedepan melintasi batas formal keagamaan. Kepemimpinannya terus terasah, dan terbukti dipercayanya beliau untuk menjadi Ketua Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) pada 24 Oktober 1943. Pada bidang pendidikan, beliau mendirikan sekolah Tinggi Islam di Jakarta pada tahun 1944 yang pengelolaannya diserahkan kepada KH. A Kahar Muzakkir. Menjelang kemerdekaan pada tahun 1945, beliau menjadi anggota BPUPKI dan PPKI.

Betapa pada usia yang masih muda, beliau memiliki wawasan yang sangat luas mengenai pemikiran agama, kenegaraan, pendidikan, politik, kemasyarakatan dan tentunya pula tentang pesantren yang menjadi basis dari NU.

Begitulah ketokohan KH Abdul Wahid Hasyim yang tak mungkin diingkari. Dalam usia 21 tahun, Wahid muda sudah membuat terobosan-terobosan cemerlang di dunia pendidikan, utamanya pesantren.

Ketika bergabung di Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), usianya baru genap 25 tahun. Namun setahun kemudian, Wahid justru mengetuai federasi organisasi massa dan partai Islam ini.

Karir perjuangannya menanjak cepat. Wahid turut memimpin PBNU, menjadi anggota BPUPKI, dan akhirnya ditunjuk sebagai Menteri Agama. Artinya, selain berjihad menumpas kaum penjajah, Wahid terlibat aktif dalam segenap tahapan paling menentukan dalam proses pendirian negara.

Masa-masa hidup Wahid hampir dihabiskan seluruhnya dengan penuh manfaat. Ulama dan tokoh nasional ini tutup usia pada 19 April 1953, sebelum ulang tahunnya yang ke-38 diperingati.

Berikut ini adalah sejumlah syair inspiratif pegangannya, yang sarat pesan perjuangan, kerja keras, penghargaan atas waktu, cita-cita, serta keinsafan tentang dinamika hidup.

KH Abdul Wahid Hasyim termasuk tokoh yang gemar mencatat. Tak heran, sejumlah pantun dan sajak kesukaannya dalam berbagai bahasa tetap tersimpan rapi hingga sekarang. Beberapa syair hikmah berbahasa Arab berikut adalah sebagain warisan berharga dari ulama dan pahlawan nasional ini.
وَلَا شَيْءٌ يَدُوْمُ فَكُنْ حَدِيْثاً # جَمِيْلَ الذّكْرِ فَالدُّنْيَا حَدِيْثُ
Tak ada satu pun di dunia ini yang kekal. Maka, ukirlah cerita indah sebagai kenangan. Karena dunia memang sebuah cerita

أَلَا لِيَقُلْ مَا شَاءَ مَنْ شَاءَ إِنّماَ # يُلاَمُ الفَتىَ فِيْمَا اسْتَطَاعَ مِنَ اْلأَمْرِ
Ungkapkanlah apa yang ingin diungkapkan. (Jangan ragu) pemuda memang selalu dicemooh lantaran kecakapannya.

ذَرِيْنِيْ أَنَالُ مَا لَا يُناَلُ مِنَ اْلعُلَى # فَصَعْبُ العُلىَ فِي الصَّعْبِ وَالسَّهْلُ فِي السَّهْلِ
تُرِيْدِيْنَ إِدْرَاكَ المَعَالِي رَخِيْصَةً # فَلَا بُدَّ دُوْنَ الشَّهْدِ مِنْ إِبْرِ النَّحْلِ
Biarkan aku meraih kemuliaan yang belum tergapai. Derajat kemuliaan itu mengikuti kadar kemudahan dan kesulitannya. Engkau kerap ingin mendapatkan kemuliaan itu secara murah. Padahal pengambil madu harus merasakan sengatan lebah.

سَتُبْدِيْ لَكَ الأَيَّامُ مَا كُنْتَ جاَهِلاً # وَيَأْتِيْكَ بِاْلأَخْبَارِ مَا لَمْ تُزَوِّدِ
Kelak waktu akan memperlihatkan dirimu sebagai orang yang bodoh, dan membawakan kabar untukmu tentang perbekalan yang kosong.

لَقَدْ غَرَسُوْا حَتَّى أَكَلْناَ وَإِنَّناَ # لَنَغْرَسُوْا حَتَّى يَأْكُلَ النَّاسُ بَعْدَنَا
Para pendahulu telah menanam sehingga kita memakan buahnya. Sekarang kita juga menanam agar generasi mendatang memakan hasilnya.

إِذَا فَاتَنِيْ يَوْمٌ وَلَمْ أَصْطَنِعْ يَدًا # وَلَمْ أَكْتَسِبْ عِلْماً فَمَاذَاكَ مِنْ عُمْرِيْ
Tatkala waktuku habis tanpa karya dan pengetahuan, lantas apa makna umurku ini?

وَلَمْ أَجِدِ الْإِنْسَانَ إِلاَّ ابْنَ سَعْيِهِ # فَمَنْ كَانَ أَسْعَى كَانَ بِالْمَجْدِ أَجْدَرَا
وَبِاْلهِمَّةِ العُلْيَا تَرَقَّى إِلَى العُلىَ # فَمَنْ كَانَ أَعْلَى هِمَّةً كَانَ أَظْهَرَا
وَلَمْ يَتَأَخَّرْ مَنْ أَرَادَ تَقَدُّماً # وَلَمْ يَتَقَدَّمْ مَنْ أَرَادَ تَأَخُّرَا

Setiap manusia adalah anak dari jerih payahnya. Semakin keras berusaha, semakin pantas ia jaya. Cita-cita yang tinggi dapat mengangkatnya ke derajat yang tinggi. Semakin keras berkemauan, semakin terang derajat itu. Tak ada langkah mundur bagi orang yang ingin maju. Tak ada kemajuan bagi orang yang menghendaki mundur.

وَلَا تَحْتَقِرْ كَيْدَ الضَّعِيْفِ وَرُبَّمَا # تَمُوْتُ الأَفَاعِي مِنْ سُمُومِ العَقَارِبِ
وَقَدْ هَدَّ قِدْماً عَرْشَ بُلْقِيْسَ هُدْهُدٌ # وَخَرَّبَ حَفْرُ الفَأْرِ سَدَّ الْمَأرِبِ

Jangan remehkan siasat sesuatu yang (tampak) lemah. Terkadang, ular ganas mati oleh racun kalajengking. Ternyata, burung Hudhud sanggup menumbangkan singgasana Ratu Bulqis, dan liang tikus mampu meruntuhkan bangunan kokoh.

وَمِنْ عَادَةِ اْلأَيَّامِ أَنَّ خُطُوْبَهَا # إِذَا سُرَّ مِنْهَا جَانِبٌ سَاءَ جَانِبُ

Sudah menjadi tabiat waktu, membahagiakan satu pihak akan menyedihkan pihak lainnya.

بِذَا قَضَتِ الْأَيَّامُ مَا بَيْنَ أَهْلِهَا # مَصَائِبُ قَوْمٍ عِنْدَ قَوْمٍ فَوَائِدُ
عَرَفْتُ سَجَايَا الدَّهْرِ أَمَّا شُرَوْرُهُ # فَنَقْدٌ وَأَمَّا خَيْرُهُ فَوعُوْدُ

Begitulah waktu menentukan takdir untuk penghuninya (manusia). Musibah bagi sekelompok orang adalah keberuntungan bagi kelompok lain. Aku sudah mafhum dengan kelakuan zaman yang sekilas ini: keburukannya merupakan kritik, sedangkan kebaikannya hanyalah janji.

فَإِنَّ غُبَارَ الصَّافِنَاتِ إِذَا عَلاَ # نَشَقْتُ لَهُ رِيْحاً ألَذُّ مِنَ النَّدِّ
وَرَيْحَانَتِي سَيْفِيْ وَكَأْسَاتُ مَجْلِسِيْ # جَماَجِمُ سَادَاتٍ حِرَاصٍ عَلَى الْمَجْدِ

Ketika debu kavaleri berhamburan, aku justru menghirup keharuman yang melampaui wangi kemenyan. Semir mata pedang dan gelas-gelas di meja rapatku pun menjelma tengkorak para pembesar (musuh) yang rakus kejayaan.

جَزَى اللهُ خَيْراً كُلَّ مَنْ لَيْسَ بَيْنَنَا # وَلَا بَيْنَهُ وُدٌّ وَلَا مُتَعَرِّفُ
فَمَا نَالَنِي ضَيْمٌ وَلَا مَسَّنِي أَذَى # مِنَ النَّاسِ إِلاَّ مِنْ فَتَى كُنْتُ أَعْرِفُ

Semoga Allah melimpahkan kebaikan pada setiap manusia yang belum saling sayang dan saling kenal. Tak pernah aku mengeluh dan diterpa kesulitan kecuali dari orang yang sudah aku kenal.

وَلَدَتْكَ أُمُّكَ يَابْنَ آدَمَ بَاكِياً # وَالنَّاسُ حَوْلَكَ يَضْحَكُوْنَ سُرُوْرًا
فَاجْهَدْ لِنَفْسِكَ أَنْ تَكُوْنَ إِذَا بَكَواْ # فِيْ يَوْمِ مَوْتِكَ ضَاحِكاً مَسْرُوْراً

Saat bunda melahirkanmu, engkau menangis, sementara orang-orang sekeliling menyambutmu dengan tawa gembira. Berjuanglah, hingga saat mautmu tiba, mereka manangis, sementara engkau tertawa ria.

 

EH / Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *