Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 19 October 2016

Lewat Syi’ir Jawa Ngudi Susilo, Mbah Bisri Wariskan Ajaran Cinta Kepada Pahlawan


IslamIndonesia.id—Lewat Syi’ir Jawa Ngudi Susilo, Mbah Bisri Wariskan Ajaran Cinta Kepada Pahlawan

 

Nama KH Ahmad Mustofa Bisri, bisa dikata sudah tak asing lagi di telinga kita. Pimpinan Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Rembang, Jawa Tengah inilah yang selama ini lebih kita kenal dengan sapaan Gus Mus. Tapi bagaimana halnya dengan nama KH Bisri Mustofa? Apakah keduanya orang yang sama?

KH Bisri Mustofa tak lain adalah ayahanda Gus Mus, yang biasa dipanggil dengan sapaan Mbah Bisri. Beliau merupakan salah satu ulama Nusantara yang lahir di Kampung Sawahan Gang Palen Rembang Jawa Tengah pada tahun 1915. Ayahnya adalah pedagang kaya bernama H Zainal Mustofa (Djojo Mustopo) bin H Yahya (Podjojo) yang dikenal tekun dalam beragama dan sangat mencintai Kiai. Ibunya bernama Hj Chodijah binti E. Zajjadi bin E. Sjamsuddin yang berdarah Makassar.

Nama Bisri Mustofa dipakainya sejak pulang dari ibadah haji. Sebelumnya ia bernama Mashadi. Seperti diketahui, pernikahan H Zainal Mustofa dengan Hj Chodijah melahirkan empat anak: Mashadi (Bisri), Salamah (Aminah), Misbach dan Ma’shum.

Pendidikan Mbah Bisri dimulai dengan mengaji kepada KH Cholil Kasingan dan H Zuhdi (kakak tiri). Mbah Bisri juga menjalankan Sekolah Jawa (Sekolah Ongko 2) selama tiga tahun dan dinyatakan lulus dengan mendapat sertifikat atau ijazah.

Mbah Bisri sempat mondok di Pesantren KH Chasbullah Kajen Pati. Waktu belajar banyak dihabiskan di Pondok Kasingan Rembang belajar dengan Kiai Suja’i (Kitab Alfiyyah) dan KH Cholil (Kitab Alfiyyah, Fathul Mu’in, Fathul Wahhab, Iqna’, Jam’ul Jawami’, Uqudun Juman dan lain lain).

Sempat pula beliau berniat mengaji di Pondok Pesantren Termas di bawah asuhan KH Dimyati, tapi niat itu gagal karena tidak mendapat restu KH Cholil.

Beliau juga pernah mengikuti khataman Kitab Bukhori Muslim yang dimulai pada 21 Sya’ban 1354 H bersama KH Hasyim Asya’ri di Tebuireng Jombang. Di tengah pengajian itu, tepatnya 10 Ramadan 1354 H, KH Hasyim Asy’ari jatuh sakit dan digantikan oleh KH Ilyas (Kitab Muslim) dan KH Baidlawi (Kitab Tajrid Bukhari).

Sebagai santri, beliau juga memiliki dua guru dari sistem mengaji candak kulak (musyawarah kitab dan hasilnya dipakai mengajar) dengan Kiai Kamil dan Kiai Fadlali di Karanggeneng Rembang. Proses belajar tetap ia jalankan karena merasa haus ilmu, salah satunya dengan memilih mukim di Makkah setelah menunaikan ibadah haji tahun 1936. Di Makkah, Mbah Bisri berguru kepada Syaikh Bakir, Syaikh Umar Chamdan Al Maghrabi, Syaikh Maliki, Sayyid Amin, Syaikh Hasan Masysyath, Sayyid Alawie dan Syaikh Abdul Muhaimin.

Berbekal keilmuan itulah, Mbah Bisri kemudian berkembang menjadi figur ulama Nusantara yang dikenal sangat ‘alim. Rasa sayang KH Cholil, salah seorang guru dari Mbah Bisri ditunjukkan dengan menjadikannya sebagai menantu. Mbah Bisri dinikahkan dengan putri KH Cholil bernama Ma’rufah pada 17 Rajab 1354 H/Juni 1935 M.

Dari pernikahannya ini, Mbah Bisri memiliki anak: Cholil (lahir 1941), Mustofa (Gus Mus, lahir 1943), Adieb (lahir 1950), Faridah (lahir 1952), Najichah (lahir 1955), Labib (1956), Nihayah (lahir 1958) dan Atikah (lahir 1964).

Pada tahun 1967, Mbah Bisri menikah dengan Hj Umi Atiyah yang berasal dari Tegal dan melahirkan seorang anak bernama Maemun.

Ilmu yang dimiliki Mbah Bisri diajarkan di Pondok Kasingan dan Pondok Rembang yang kemudian diberi nama Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin (Taman Pelajar Islam).

Mbah Bisri dikenal memiliki tiga kemampuan: articulation, documentation dan organizing. Artikulasi dikuasai Mbah Bisri dalam teknik orasi dan pidato dengan bahasa yang mudah dipahami masyarakat. Kemampuan dokumentasi ditunjukkan dengan hasil karya tulisnya yang sangat banyak (276 kitab dan buku). Dan semangat organisasi dijalankan sebagai wadah perjuangan, baik di tingkat lokal hingga nasional.

Sebagai ulama pejuang, beliau pun sadar bahwa Indonesia memiliki banyak pahlawan yang berjuang gigih meraih kemerdekaan. Dalam pandangannya, perjuangan itu bukanlah hal yang sederhana. Dalam perjuangan, para pahlawan rela mengorbankan nyawa, jiwa, raga dan harta demi kemerdekaan bangsanya. Maka, mencintai para pahlawan merupakan satu hal yang penting ditanamkan. Tak heran jika salah satu pemikiran yang seringkali disampaikan oleh KH Bisri Mustofa adalah tentang pentingnya menanankan rasa cinta dan penghormatan kepada para pahlawan.

Itu sebabnya, di antara pokok pemikiran Mbah Bisri dalam mencintai pahlawan, beliau abadikan dalam bentuk syi’iran Bahasa Jawa berjudul “Ngudi Susilo” dengan menggunakan tulisan pegon.

Berikut ini syi’ir Ngudi Susilo dalam bahasa Jawa:

Ngagem blangkon serban sarung dadi gujeng * Jare ora kebangsaan ingkang majeng
Sawang iku Pangeran Diponegoro * Imam Bonjol Tengku Umar kang kuncoro
Kabeh podo belo bongso lan negoro * Podo ngagem destar pantes yen perwiro
Gujeng serban sasat gujeng Imam Bonjol * Sak kancane he anakku aja tolol
Timbang gundul apa ora luweh bagus * Ngagem tutup sirah koyo Raden Bagus

Yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kurang lebih artinya sebagai berikut:

Memakai blangkon, surban dan sarung jadi pembicaraan. Dianggap tidak memiliki jiwa kebangsaan yang maju.
Lihatlah Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol dan Tengku Umar yang sudah terkenal.
Semuanya dari mereka nyata-nyata membela bangsa dan negara dengan menggunakan pakaian kebesaran, nampak seperti Perwira.
Memakai surban sebagaimana Imam Bonjol. Dan janganlah menjadi orang bodoh.
Daripada tidak memakai penutup kepala, nampak kurang bagus. Maka pakailah penutup kepala agar seperti Raden Bagus (priyayi).

Dari pemaknaan syi’ir Jawa ini dapat diambil pemahaman bahwa mencintai para pahlawan itu dapat dilakukan dan ditempuh dengan empat pola: pertama, mengikuti jejak cinta para pahlawan kepada bangsa dan negara; kedua, memakai pakaian yang bagus dan berwibawa; ketiga, berilmu pengetahuan, dan keempat, tidak sombong. Empat makna cinta terhadap perjuangan para pahlawan bangsa ini menjadi sangat penting bagi generasi sekarang.

Bagaimana penjelasan lebih lanjut terkait empat pola yang dimaksud?

Pertama, mengikuti jejak cinta bangsa dan negara. Para pahlawan yang telah gugur dalam medan perang benar-benar merasakan perjuangan nyata. Berbeda dengan generasi sekarang yang sudah secara instan menikmati kemerdekaan dan kenyamanan hidup di Indonesia. Maka cinta terhadap tanah air menjadi salah satu bagian dari menghormati para pahlawan pendahulu.

Kedua, memakai pakaian yang bagus dan berwibawa. Wibawa seseorang, salah satunya memang dapat dilihat dari cara berpakaian. Oleh sebab itu, nasehat Mbah Bisri yang ditulis ini menjadi tauladan bahwa orang yang berpakaian rapi, maka nampak gagah dan siap menjadi pemimpin. Termasuk jenis pakaian yang berbeda seperti beskap, blangkon, surban, sarung atau lainnya tidak menjadi pemisah rasa persatuan. Keanekaragaman pakaian itu menandakan potensi lokal yang harus dihargai. Yang paling penting adalah tidak merendahkan pakaian kebesaran yang dimiliki oleh orang lain.

Ketiga, berilmu pengetahuan menjadi salah satu bagian dari mencintai para pahlawan. Sebab tanpa ilmu pengetahuan, maka manusia akan menjadi bodoh. Maka Mbah Bisri berpesan: “Jangan jadi orang tolol atau bodoh”. Sebab dengan kebodohan, orang akan gampang ditipu. Dan salah satu alasan penjajah Indonesia mampu berkuasa ratusan tahun karena penduduknya saat itu tidak memiliki ilmu pengetahuan. Penderitaan bangsa kita jangan sampai terulang lagi hanya karena banyak orang bodoh di Indonesia.

Dan keempat, tidak sombong. Setelah mengenang para pahlawan dan menambah ilmu pengetahuan, maka rasa kebangsaan harusnya semakin kuat. Jangan sampai perilaku itu berubah menjadi sombong (tidak menutup kepala).

Kesombongan yang dimiliki oleh bangsa ini juga akan melahirkan ego-sektoral dengan melemahkan kelompok lain. Maka pesan tidak sombong ini menjadi penting agar hidup bersama-sama dengan penuh kerukunan mudah tercapai.

Pesan-pesan ulama Nusantara yang demikian ini memang perlu sekali dipahami secara baik. Dengan kekuatan bahasa sastra yang indah dan dapat dilagukan ini, menjadikan kita paham siapa sebenarnya KH Bisri Mustofa. Beliau tak lain adalah figur Kiai multitalenta dengan segudang nasihat penuh hikmah bagi kita semua, khususnya generasi muda.

Kitab Ngudi Susilo inilah yang sampai sekarang masih dipelajari di sebagian Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah sebagai buku pegangan pembelajaran akhlak bagi para santri.

 

EH / Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *