Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 21 October 2015

Konya, Kota Modern Bernuansa Spritual


Lepas berbagi pengalaman di Istanbul, Haidar Bagir menuturkan pengalamannya berkunjung ke kota Konya, selatan Turki. Seperti di Istanbul, cendikiawan Muslim asal Solo ini mengamati cerminan ekspresi budaya di kota berpopulasi sekitar 700 ribu jiwa itu.

“Atmosfer Konya beda dengan Istanbul. [Kotanya] ‘hidup’, tapi tak seramai [Istanbul]. Boleh jadi 70 persen perempuannya berkerudung. Tapi tetap ‘fashionable’ juga,” ujar Haidar Bagir di akun Twitter @haidar_bagir kemarin.

Haidar jarang menyaksikan perempuan Konya yang berhijab lumayan ketat. “Saya hampir-hampir tak lihat apa yg disebut ‘hijab syar’i. Paling banter abaya,” katanya. Abaya adalah sejenis pakaian seperti gaun atau jubah yang cukup longgar, umumnya  hitam, dan sering dipakai perempuan Timur Tengah.

Di Konya, alumni Universitas Indonesia ini menyempatkan diri mengunjungi makam sufi fenomenal, Maula Jalaluddin Rumi. Makam penulis kitab “Masnawi” itu, menurut Haidar, merupakan situs sejarah berpengaruh yang membentuk atmosfer kota Konya.  “Konya, dengan adanya Rumi & makamnya, merupakan kota yang secara tradisional religius. Lebih [religius] dari kota-kota lain. [Kota ini] modern tapi juga kental dengan nuansa spiritual” katanya.

Menurut dosen Filsafat dan Tasawuf ini,  tak heran jika Konya jadi basis kemenangan Erdogan, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang mempromosikan kebebasan menjalankan Islam di Turki.

Meski AKP dikenal sebagai partai berhaluan kanan, Haidar menolak menyamakan partai ini dengan partai yang condong pada salafisme. “Orang Turki cendrung anti Wahabisme, yang dianggap bersekongkol meruntuhkan Utsmaniyah,” katanya.

Islam di Turki khususnya di Konya, bagi praktisi pendidikan ini, cenderung pada ‘ke-sufi-sufi-an’. Para pendiri AKP termasuk Erdogan punya latar belakang tasawuf. “Meski secara ideologis dekat dengan Ikhwanul Muslimin, pengaruh Rumi, juga Badiuzzaman Said Nursi, seorang sufi pejuang, amatlah kuat,” katanya.

Selain makam Rumi yang selalu ramai dengan peziarah — sebagaimana makam Wali Songo –- ada juga makam yang diduga makam Syamsuddin Tabrizi. Syams Tabrizi, demikian orang biasa menyebutnya, dikenal sebagai guru spritual (mursyid) Jalaluddin Rumi. Dengan santai dan tertib, orang shalat, bertawassul dan membaca doa atau Yasin di area makam dua ketokoh tasawwuf itu.

“Laki-laki dan perempuan antri dan berkerumun di sekitar makam bersama-sama. Ada juga pancuran di luar, tempat orang melempar koin uang pengantar doa,” ujar CEO group Mizan ini kala menggambarkan suasana ziarah di makam Rumi dan gurunya.

Seperti di sekitar masjid Biru Istanbul, anjing-anjing juga berkeliaran di Konya, bahkan ada yang tidur di halaman masjid dengan damai tanpa diganggu. “Kunjungan saya ke Konya dipuncaki nonton sema’ (tari sufi ala Mawlawiyah), yang para penarinya ‘trance’ sambil menggasing tanpa henti,” kenang Haidar lepas mengunjungi program budaya pemerintah di sana.

Program mingguan itu disaksikan oleh seribu lebih pasang mata. Konon, tambah pria 57 tahun ini, “Tari Darwis Menggasing dirancang putra Rumi, Sultan Walad, diilhami tarian Rumi yang mengekspresikan kegembiraan bertemu Syams Tabrizi, mursyidnya.”

Setelah mengunjungi negeri yang terletak di persilangan benua Eropa dan Asia itu, penulis buku ‘Belajar Hidup dari Rumi’ ini berharap Turki terus berkembang menjadi contoh negara Muslim modern yang tetap memelihara nilai-nilai spiritual tradisional.

Edy/ Islam Indonesia/ Foto: panoramio.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *