Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 26 March 2014

Kiprah Nasyid di Nusantara


foto:dokumentasi SMA Santo Josef Lahat

Bermula dari media propaganda, berkembang menjadi musik yang digandrungi masyarakat umum termasuk kalangan non Muslim

 

SUARA  nyanyian mirip acapella yang datang dari panggung di sebelah masjid itu terdengar harmonis. Alunan nada yang dinyanyikan oleh beberapa anak muda tersebut bergerak naik turun dalam ritme yang teratur dan indah. Wajar, begitu usai, tepuk tangan dan sorak sorai pun membahana  di lingkungan yang masuk ke wilayah Depok tersebut.

Berbeda dengan awal-awal perkembangannya di tahun 1980-an dan 1990-an, kini nasyid menjadi salah satu jenis musik yang digandrungi kalangan muda. Begitu populernya jenis musik ini, hingga tak aneh saat menjelang hari-hari besar Islam datang, kerap diadakan perlombaan nasyid bahkan hingga tingkat Rukun Tetangga (RT). ” Kami bahkan memiliki kelompok nasyid sendiri-sendiri di setiap keertean,” ujar Roni, salah seorang anak muda asal Beiji, Depok.

Padahal hingga tahun 1990-an, nasyid hanya terbatas digandrungi oleh para ikhwan (istilah Arab yang selalu dipakai orang-orang jamaah tarbiyah/.cikal bakal Partai Keadilan Sejahtera untuk teman atau saudara laki-laki).  Tercatat di Universitas Indonesia (UI) saat itu banyak mahasiswanya secara serempak membuat  kelompok nasyid. “ Pada waktu itu kami menganggap ini jenis musik islami. Jauh dari hingar bingar musik jahiliyah yang penuh maksiyat. Isinya nasehat dan motivasi supaya kita tetap menjaga ruhul jihad,”kata Dede Suryadi, salah seorang mantan personil Ngek, salah satu kelompok nasyid yang ada di UI kala itu.

Dan memang, sejak awal nasyid (yang artinya senandung) ditujukan sebagai media propaganda. Bahkan menurut almarhum Ustadz Rahmat Abdullah, nasyid merupakan sebuah bentuk perlawanan terhadap tekanan sistem tertentu (misalnya sistem kapitalisme Barat). “Nasyid itu doktrin. Dalam arti sebuah doktrin yang dikemas dalam sebuah bentuk yang indah. Ya sebuah bentuk perlawanan yang sangat indah,”ujarnya.

Pendapat Ustadz Rahmat diamini oleh Afwan Riyadi. Praktisi nasyid dari kelompok Izzatul Islam tersebut mengatakan bahwa nasyid adalah budaya tanding untuk seni-seni musik yang berasal dari Barat. Ia bahkan percaya melantunkan nasyid sama dengan berjihad lewat panggung seni. “Bagi kami, nasyid adalah sarana efektif untuk menandingi sekaligus menentang setiap pemikiran dan budaya Barat yang destruktif itu,”ujar alumni FMIPA UI tersebut.

Pernyataan Ustadz Rahmat dan Afwan memang bukan tanpa dasar. Kendati dipercaya sudah ada sejak era Nabi Muhammad Saw., di  dunia Arab sendiri, nasyid baru dikenal sejak berdirinya Ikhwanul Muslimun Mesir pada 1928. Saat itu nasyid sering dilantunkan dalam setiap kegiatan-kegiatan organisasi yang dituduh oleh kalangan Barat sebagai cikal bakal fundamentalisme Islam itu. Menurut Yohana Fijriah (yang pernah meneliti secara khusus soal nasyid), pada 1948 saat menentang penjajahan Inggris, ribuan demonstran Ikhwanul Muslimun meneriakan yel-yel kemenangan Islam dengan bernasyid.

Begitu pula pada saat konflik Mesir-Israel pada 1972, nasyid berjudul “Allahu Akbar” yang dilantunkan oleh munsyid (pelantun nasyid) Mesir, Abdullah Syamsuddin dan nasyid berjudul “Arrubah” dari sastrawan Mushrafa Shadiq Rai’I, menjadi pemicu semangat jihad pemuda-pemuda Arab di garis depan. ”Nasyid menjadi propaganda politik paling efektif bagi negara-negara Arab saat itu,”ujar mantan staf RAHIMA (sebuah lembaga swadaya masyarakat  di Indonesia yang bergerak di sektor pemberdayaan perempuan Islam) itu.

Di Palestina, tentu saja nasyid  dijadikan penyulut api perlawanan intifadah  para pejuang Harokatul Muqqowomah Al Islamiyah (Gerakan Pertahanan Islam atau lebih dikenal sebagai HAMAS). “Khaibar ya Yahud” adalah salah satu nasyid paling popular dan hingga kini masih dilantunkan dalam setiap aksi perlawanan melawan tentara Israel. Judul itu mengacu kepada Peristiwa Khaibar, saat tentara Islam pimpinan Nabi Muhammad menghancurkan perlawanan para pemberontak Yahudi di Khaibar, Madinah. Lalu bagaimana di Indonesia?

Seiring konflik Palestina-Israel yang kian menghebat, nasyid sebagai bentuk perlawanan datang ke Indonesia pada era 1980-an. Penyebarannya dilakukan oleh para mahasiswa Indonesia yang bersekolah di Timur Tengah. Salah satunya adalah Abdi Sumiati atau lebih dikenal di kalangan PKS sebagai Abu Ridho. Ia membenarkan bahwa mahasiswa-mahasiswa yang studi di Arab adalah “penanggungjawab” munculnya nasyid di Indonesia.

“Waktu itu kami merasa menyebarkan nasyid sama dengan berdakwah. Berdakwah tidak harus diartikan dalam pengertian sempit sebatas pendidikan dan ekonomi saja tapi juga budaya dan seni,”kata mantan Ketua Majelis Pertimbangan Partai (MPP) Partai Keadilan itu.

 Nasyid lantas berkembang di kampus-kampus besar Indonesia. Penyebarannya terjadi seiring dengan berdirinya sel-sel jamaah tarbiyah. Selain jamaah tarbiyah, kelompok keagamaan yang sempat menjadikan nasyid sebagai media dakwah adalah Darul Arqam. Kelompok keagamaan yang berkembang dan layu di Malaysia itu bahkan sempat menampilkan grup nasyid Raihan yang sempat populer di blantika musik Indonesia.

Nasyid  lantas kian berkibar saat  dalam setiap kampanye politik atau demonstrasi yang dilakukan oleh PKS, musik ini  menjadi sejenis penyemangat oleh para mantan aktivis masjid kampus itu. Penyebarannya pun kian luas tidak hanya sebatas di kalangan PKS semata, namun juga sudah merambah kalangan umum di Nusantara.

Bahkan beberapa waktu lalu, sebuah kelompok nasyid anak-anak muda Katholik asal SMA Santo Yosef Lahat, Sumatera Selatan diberitakan telah tampil sebagai juara pertama dalam lomba nasyid di kota tersebut.

 

Sumber: Islam Indonesia 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *