Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 03 July 2016

KHAS—Ragam Tradisi Mudik dari Betawi sampai Korea


IslamIndonesia.id—Ragam Tradisi Mudik dari Betawi sampai Korea

Mudik ala Betawi

Mudik dalam keseharian masyarakat Betawi berarti pulang. Kata ini berlawanan dengan kata “milir” yang merupakan turunan dari kata “belilir” yang berarti pergi, atau tepatnya pergi ke Utara. Belilir mengacu pada tempat usaha yang banyak berada di wilayah Utara. Maka sebaliknya mudik, lalu diartikan pulang ke Selatan.

Seperti halnya Jakarta zaman sekarang, yang menjadi tempat favorit tujuan para pendatang mengadu nasib dan peruntungan, demikian pula halnya dengan Betawi atau Sunda Kelapa di masa lalu (tepatnya sejak abad pertengahan), telah menjadi tujuan kedatangan kaum urban. Mereka, orang-orang dari luar Jawa yang sengaja datang ke Betawi untuk mengais nafkah ini menetap sementara untuk bekerja dan baru pulang kembali ke kampung halamannya menjelang Hari Raya Idulfitri tiba. Dari tradisi pulang kampung kaum urban inilah kata “mudik” dalam istilah Betawi juga diartikan sebagai “menuju udik”.

Mudik ala Primordial Jawa

Konon mudik juga merupakan tradisi primordial masyarakat petani Jawa, bahkan jauh sebelum berdirinya Kerajaan Majapahit. Mudik bagi kaum tani Jawa, biasanya dimaksudkan untuk membersihkan pekuburan leluhur dan keluarga, disertai doa bersama untuk memohon keselamatan kampung halaman. Kegiatan ini rutin dilakukan sekali dalam setahun. Saat ini, tradisi bebersih pekuburan itu dikenal dengan istilah “nyadran” atau “nyekar”. Sementara acara doa bersama untuk keselamatan desa atau kampung halaman disebut dengan “slametan”, “kenduren” atau “rasulan”.

Mudik ala Nenek Moyang Nusantara

Menurut para ahli, tradisi mudik sudah sejak lama ada karena masyarakat Nusantara merupakan keturunan Melanesia yang berasal dari Yunan. Merekalah kaum pengembara yang menyebar ke berbagai tempat untuk mencari sumber penghidupan, yang pada bulan-bulan tertentu yang dianggap baik, akan rutin mengunjungi sanak keluarga di daerah asalnya di Cina sana sekaligus untuk melakukan ritual keagamaan.

Mudik ala Arab

Kata “udik” mirip sebutan bangsa Arab untuk kaum “Badui”, yakni suatu kaum yang tempat tinggalnya berada di perkampungan pinggiran kota. Maka kata mudik pun identik dengan acara kembali ke kampung halaman.

Ada juga yang menyebut kata mudik terkait dengan akar kata “adhoo-a” yang berarti “yang memberikan cahaya atau menerangi”. Artinya, para pemudik yang pulang kampung itu dapat diibaratkan sebagai pemberi cahaya yang akan menerangi kampung-kampung halaman mereka.

Pendapat lain menyebutkan bahwa kata mudik berhubungan dengan kata “adhoo-‘a” yang bermakna “yang menghilangkan.” Artinya, para pemudik atau kaum perantauan yang melakukan mudik itu semata-mata karena didorong oleh penuhnya beban rasa kerinduan dan kesedihan karena jauh dari orangtua, keluarga atau kampung halamannya. Maka dengan aktivitas mudik itulah semua beban kerinduan dan kesedihan itu menjadi hilang.

Selain itu, ada juga yang mengatakan bahwa mudik ibarat “adzaa-qo” yang berarti “yang merasakan atau mencicipi”.  Artinya, orang yang mudik ke kampung halaman pastilah karena mereka ingin kembali “merasakan dan mencicipi” suasana khas kampung tempat kelahiran.

Lalu bagaimana halnya dengan tradisi Mudik ala Korea?

Mudik di Korea berkaitan dengan tradisi budaya yang sejak ribuan tahun lalu dilakukan secara turun-temurun dalam setiap hari raya. Mudik bukan sekadar pulang kampung dan berkumpul dengan keluarga, melainkan ada dimensi kultural yang sudah melekat menjadi sistem nilai masyarakatnya. Tidak ada sanksi sosial bagi seseorang yang tidak melakukan mudik. Tidak pula dianggap berdosa dan kelak akan masuk neraka. Tetapi, ada nilai sakral, ada orientasi yang jelas berkaitan dengan kehidupan di dunia, ada usaha menjaga harmoni dalam menjaga kebahagiaan segenap anggota keluarga.

Maka, mudik menjadi sebuah keniscayaan agar hidup punya orientasi, lebih optimistik, meningkatkan keakraban dalam hubungan keluarga, dan diharapkan di masa mendatang keberuntungan, karier, dan apa pun yang dilakukan bisa menjadi lebih baik lagi dibandingkan dengan masa sebelumnya. Jadi, mudik merupakan tindak pulang kampung lantaran di sana menunggu ritual yang diyakini bakal menjanjikan kehidupan lebih baik.

Mudik bagi masyarakat Korea, seperti telah disebutkan, berkaitan dengan hari raya penting. Ada tiga hari raya penting, yaitu dua peringatan tahun baru: Pertama, tahun baru Masehi yang dikenal dengan istilah Shinjeong. Kedua, tahun baru lunar (Imlek) yang dikenal dengan istilah Solnal atau Gujeong, serta hari raya Chuseok. Meski begitu, yang terpenting dari hari raya itu adalah Tahun Baru Imlek dan hari raya Chuseok. Sehingga pada kedua hari raya itu, penduduk Korea akan berkumpul dengan seluruh keluarga di rumah nenek dan kakek. Mereka bersenang-senang di sana dan mengadakan upacara untuk nenek moyang, berziarah ke makam para leluhur sambil menyajikan makanan yang disukai para leluhur itu sewaktu mereka masih hidup.

Bagi warga Korea, tahun baru Imlek mempunyai makna sangat khusus yang wajib diperingati setiap tahun. Bagaimanapun, sukses dalam menjalani kehidupan ini hanya mungkin dilakukan jika orang mempunyai kesadaran untuk selalu memperbaharui diri. Maka, pada tahun baru Imlek itulah momentum terbaik untuk menyiapkan cara bekerja, berpikir, dan bertindak ke arah yang lebih baik. Perlu ada keinginan dan harapan. Di samping itu, perlu juga selalu membina hubungan baik dengan keluarga, sanak famili dan handai taulan. Bersamaan dengan itu, segenap anggota keluarga tidak pula melupakan rasa syukur dan terima kasih kepada para leluhur. Di sana pelaksanaan upacara penghormatan pada arwah leluhur merupakan bagian penting dalam hari raya Imlek.

Tahun baru Imlek sebagai hari Solnal, konon sudah menjadi tradisi yang turun-temurun sebagai warisan kerajaan Silla sejak ribuan tahun yang lalu. Istilah Solnal berasal dari kata kerja sol-da atau nat-sol-da yang berarti tidak terkenal atau tidak akrab. Kata itu secara tidak langsung menunjukkan sikap hati-hati nenek moyang bangsa Korea dengan datangnya tahun baru. Untuk sesuatu yang asing dan baru, nenek moyang bangsa Korea selalu berhati-hati menyikapinya. Jadi hari raya Solnal atau tahun baru Imlek adalah waktu yang tepat untuk merenung, introspeksi, mengevaluasi kehidupan masa lalu, menyucikan diri, dan sekaligus menatap masa depan dengan penuh kepercayaan diri.

Begitulah pada hari raya Chuseok dan Imlek, segenap anggota keluarga berkumpul dan bersama-sama melaksanakan upacara penghormatan kepada para leluhur dan roh nenek moyang. Mereka juga melakukan se bae atau memberi hormat kepada yang lebih tua dan leluhur mereka dan dengan tulus menyampaikan salam hormat kepada kakek—nenek, orang tua, mertua, dan handai taulan sambil menikmati berbagai macam hidangan, mengobrol, tertawa, membangun kebersamaan dan kehangatan sesama anggota keluarga, menciptakan kebahagiaan bersama.

Itulah tujuan berkumpul di tanah leluhur, di kampung halaman. Jika berbagai ritual itu sudah dilaksanakan, ada harapan menatap masa depan lebih optimis, lahir sugesti, dan keyakinan untuk melanjutkan kehidupan menjadi lebih baik lagi. Dengan begitu, segala aktivitas di kampung halaman itu, seolah-olah sebagai jaminan spiritual, bahwa nenek moyang dan para leluhur akan mengawal jalan menempuh masa depan lebih cerah menuju kehidupan lebih bahagia dan sejahtera.

 

EH/IslamIndonesia

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *