Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 11 March 2014

Kegigihan Jafar Panahi


foto:whitecitycinema.com

Seorang sineas yang tak pernah menyerah melahirkan karya kendati dalam situasi terpenjara.


Ide itu punya kaki, kata Soedjatmoko. Sineas Iran Jafar Panahi membuktikan kata-kata intelektual ternama Indonesia sekaligus mantan rektor Universitas PBB di Tokyo, Jepang tersebut. Panahi memang luar biasa. Kala ia dijatuhi hukuman 6 tahun penjara dan 20 tahun pencekalan (termasuk tak boleh membuat film) keluar negeri ia masih bisa membuat dua film. Saat pemerintah Iran memutuskan untuk menahan dirinya, kontan berbagai protes bermunculan dari berbagai penjuru dunia, termasuk  dari Seann Penn dan Steven Spielberg.

Tulisan ini bukan hendak membela posisi politik Jafar Panahi yang memang secara terang-terangan  menentang pemerintah Iran  dengan  aktif dalam ‘Green Movement’ (sebuah gerakan hijau yang menuntut presiden Mahmoud Ahmadinejad turun dari kursi kepemimpinan). Tapi tujuan artikel ini hendak mengedepankan bagaimana ide, idealisme, dan semangat berkarya seorang pembuat film tak bisa dibendung hanya dengan cara dirumahkan.

Bagi yang belum familiar dengan Jafar Panahi, film pertamanya, The White Balloon (1995) mendapatkan penghargaan tertinggi Cannes, Camera d’Or tahun  1996. Film lainnya adalah The Mirror (1997, meraih Golden Leopard Award di Locarno Film Festival dan Golden Tulip di Istanbul Film Festival), dan The Circle (2000, menang Golden lion award, Venice Film Festival), serta Crimson Gold (2003, mendapat Gold Hugo, Chicago Film Festival)dan Offside (2006, juara Silver Berlin Bear, Berlin Film Festival). Pada 2002, ia sempat menjadi tamu Jakarta International Film Festival.

Pada 1  Maret 2010, Jafar Panahi digerebek di rumahnya saat ia menghadiri sebuah ada penjamuan makan malam. Bersama istri, anaknya serta 15 tamu pribadinya (di antaranya sutradara Mohammad Rasoulaf), ia lantas dikirim ke Evin Prison. Mereka dituduh terlibat dalam suatu rapat pembuatan film propaganda yang mendukung oposisi Mir Hossein Mousavi—sebuah tuduhan yang disanggah oleh Panahi yang menyatakan hendak membicarakan proyek film seputar nasib sebuah keluarga pasca-pemilu. Sebagian besar dibebaskan 48 jam kemudian. Setelah ditahan 17 hari, Rasoulof dan Mehdi Pourmussa dibebaskan, sedangkan Panahi baru keluar dari penjara itu 25 hari kemudian dengan jaminan, tanpa ada vonis hukuman yang jelas.

Setelah melalui proses hukum, pada 14 April 2010, Kementrian Budaya dan Panduan Islam Iran menyatakan bahwa ia bersalah karena berusaha “membuat dokumenter tentang perselisihan seputar terpilihnya kembali Presiden Mahmoud Ahmadijenad. Ia dianggap “berkumpul dan bekerja sama ingin menghancurkan sistem keamanan Negara dan membuat karya propaganda melawan Republik Islam Iran”.  Barulah 8 bulan kemudian, pada 20 Desember 2010, Panahi dinyatakan dihukum 6 tahun penjara dan 20 tahun tidak boleh membuat film, menulis skenario, memberikan wawancara dengan bentuk apa pun kepada pers Iran dan asing, dan dicekal ke luar negeri kecuali haji dan alasan kesehatan. Walau Panahi melakukan banding, dan banyak tekanan dari aktivis film luar negeri, pada 15 Oktober 2011, pengadilan memperkuat keputusan hukuman dan pencekalan itu.

Tidak sedikit tokoh perfilman asing yang membela Jafar dengan alasan membela kebebasan berkreasi dan berpendapat. Di antaranya sutradara Ken Loach, Walter Saller, Olivier Assayas, Abbar Kiarostami,  serta kritikus film Roger Ebert dan Jonathan Rosenbaum.

Institusi besar yang ikut mendukung dibebaskannya Panahi, di antaranya,  adalah  Federation of European Film DirectorsEuropean Film Academy, Asia Pacific Screen AwardsNetwork for the Promotion of Asian Cinema,International Film Festival Rotterdam, National Society of Film Critics,  tentu saja sineas lokal adalah yang paling pertama memprotes penahanan itu.

Di Hollywood, pada 30 April 2010, sutradara dan aktor menandatangani surat yang meminta pembebasan Panahi, di antaranya Paul Thomas Anderson, Joel dan Ethan Coen, Francis Ford Coppola,Jonathan DemmeRobert De NiroJim JarmuschAng LeeRichard LinklaterTerrence MalickMichael MooreRobert RedfordMartin ScorseseSteven SoderberghSteven Spielberg, dan Oliver Stone. Pada 23 Desember 2010, Amnesty International memobilisasi petisi online yang digawangi Paul Haggis dan Nazanin Boniaga dan ditandatangani banyak tokoh seperti Sean Penn, Susan Sarandon, Martin Scorsese, dan produser Harvey Weinstein.

Hukuman dan pencekalan itu tak mampu meredam ide dan semangat Jafar untuk membuat film. Maka, sambil menunggu keputusan banding, ia pun, bersama Mojtaba Mirtahmasb (Kepala Asosiasi Sutradara Dokumenter Iran) membuat film dokumenter in Film Nist (Ini Bukan Film). Film  ini dibuat dengan modal 3200 Euro dan disyut dengan kamera digital dan, sebagian, dengan IPhone.  Judulnya terinspirasi dari lukisan Rene Magritte, The Treachery of Images. Isinya begitu “sederhana”: Panahi berinteraksi dengan tetangga, berbicara soal film-film yang ia pernah buat, merawat iguana, dan membahas film yang sedang ia buat waktu dirinya ditangkap.  Pada Mei 2011, Festival Film Cannes mendukung Jafar, dan Rasoulof, dengan memutar film ini pada 9 Mei. Film ini diselundupkan diam-diam dalam bentuk flash-drive yang disembunyikan dalam sebuah kue, ke Cannes. Pihak Festival Cannes baru mengumumkan bahwa film ini akan putar di festival bergengsi itu, 10 hari sebelum festival berlangsung sebagai surprise film. Adalah aktris Prancis Juliette Binoche yang pertama kali menyerukan upaya pembebasan Jafar Panahi di Cannes 2010, yang mendapat banyak dukungan.

Film kedua pasca pencekalan adalah Closed Curtain, yang ia buat secara rahasia bersama Kambuzia Partovi—dan hanya lima kru. Ini adalah kolaborasi kelima mereka setelah The Secon Look, The Fish, The Circle dan Border Cafe. Panahi tidak saja bisa berhasil menyelesaikan film ini–walau diawali dengan depresi–, dan menyelundupkan di Berlin Film Festival 2013, tapi juga menyabet penghargaan skenario terbaik. Tentu saja hal ini mendapat protes keras dari Iran. Javad Shamaqdari, kepada organisasi film Iran menyatakan bahwa penghargaan itu tidak pantas karena sang pembuatnya sedang dilarang membuat film di Iran, dan tentunya film itu menjadi illegal—mengingat pembuatan film harus melewati izin resmi Negara.  Dieter Kosslick, sang direktur festival, adalah pendukung Jafar, dan meminta pemerintah Iran mengizinkannya untuk hadir ke Berlin, dan tentu saja ditolak. Yang menarik, walau Pemerintah Iran akhirnya juga mencekal Partovi dan bintang film Maryam Moqadam untuk mempromosikan film ini, khususnya di festival film  Karlovy Vary di Chechnya, tapi putri Jafar, Solmaz hadir mewakili Closed Curtain, bahkan Jafar berhasil ”ditampilkan” di sana via Skype.

Lepas dari posisi politik Jafar, yang layak direnungkan adalah: Jafar Panahi terus berjuang dan bergulat dengan ide-ide dan semangatnya membuat film, dan mengongkretkannya. Hal ini lebih baik dan produktif dari pada sekadar berkeluh kesah, serta menyalahkan orang lain (atau diri sendiri). Dan kegigihannya—tentu dengan bahan bakar keberanian dan sifat keras kepalanya–berbuah karya nyata, bergema lebih luas, dan menggerakkan banyak orang (besar) bersimpati padanya, melewati batas-batas geografis dan, barangkali, ideologis. Persis seperti kata Bung Koko: Ide itu punya kaki.

*) Ekky Imanjaya adalah dosen tetap School of Media and Communication, BINUS Internasional, Universitas Bina Nusantara, Jakarta. Salah satu pendiri  sekaligus redaktur rumahfilm.org  itu kini sedang menempuh studi S3 di bidang Kajian Film di University of East Anglia, Norwich, Inggris Raya

 

Sumber: Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *